Bab 17🍃

190 14 0
                                    

"Eh cewek stres!"

Vigo menarik lengan Gisell dengan cepat hingga tubuh gadis itu menghantam Vigo.

"Lo gila apa?! Lo nyari mati?!"

Belum sempat Vigo mendapat jawaban dari gadis yang terlihat linglung di hadapannya, suara klakson mobil pun mengganggu kedua telingannya.

TINN!!!

"Woi bangs*t! Kalau mau bunuh diri jangan disini!" Seorang pria brewokan menengokan kepalanya dari balik jendela sambil mengumpat kasar.

Ia bahkan masih sempat-sempatnya turun dan meminta ganti rugi-padahal tidak ada lecet sedikitpun di mobilnya.

Sayangnya gadis disampingnya kini sedang tidak baik-baik saja. Kalau tidak, Vigo pasti sudah menghajar pria yang berani berkata kasar kepadanya.

"Nih! Pergi," ucap Vigo menahan emosi sembari memberikan lima lembar uang seratus ribuan.

Pria yang tadinya berwajah masam itu langsung berbinar sambil menepuk pundak Vigo. "Urusin tuh cewek lo, bang," ucapnya sok akrab.

Vigo menggedikan bahu dan memberi isyarat tangan untuk mengusir pria itu.

Setelah pria itu pergi, barulah ia menarik lengan Gisell perlahan agar gadis itu mengikutinya masuk ke dalam mobilnya. Ia risih dengan tatapan orang ke Gisell-yang kondisinya 'kacau' seperti sekarang ini.

"Lo mau gue anter kemana?" tanya Vigo perlahan saat sudah di dalam mobil. Ia tidak mau bertanya hal lain lagi. Apalagi ia baru sadar gadis ini menenteng koper berukuran besar.

Dan Vigo memang kebetulan sedang berada di jalan ini-dan kebetulan juga melihat Gisell menyebrang tak karuan dari kejauhan.

"Gue-"

Tring..tring..

Sering ponsel Gisell yang berbunyi membuat ucapan Gisell terpotong. Vigo pun melirik sekilas nama yang tertera di layar.

Mario.

Entah kenapa ada hal yang membuat Vigo tidak suka saat melihat nama itu muncul di ponsel milik Gisell.

Ia juga tidak tahu kenapa harus repot-repot membantu orang yang jelas-jelas berbeda level dengannya dan orang yang paling ia hindari di sekolah.

Namun, ada satu hal yang baru Vigo tahu-bahwa gadis di sampingnya ini memang benar-benar gadis yang kuat.

Bahkan di kondisi seperti ini, ia masih menampakkan wajah datarnya, sesekali tersenyum dan berkata 'tidak apa-apa' pada lawan bicaranya. Saat hampir tertabrak tadi pun, wajahnya tidak terlihat sedih atau terkejut. Seolah ia sudah biasa melewati hal-hal semacam ini.

"Iya, sampai ketemu besok." Gisel pun mengakhiri panggilan itu. Raut wajahnya tak terbaca. Ia baru akan memegang handle pintu mobil, namun suara Vigo membuat tangannya terhenti.

"Lo mau kemana?"

"Ke suatu tempat," jawabnya samar.

"Gue anter."

Melihat Gisell memicingkan mata saat mendapat penawaran seperti itu, Vigo langsung paham. "Gue ga maksud apa-apa, Lo bisa jamin gue nggak akan nyebarin ini ke sekolah. Gue cuma pengen bantu. That's it,"

"Tapi, ngapain lo bantuin gue?" Gisell masih belum paham.

"Sama kayak gue bully lo di sekolah, gue bantu lo pun nggak mesti punya alasan kan?"

Vigo sudah malas berbasa-basi, iapun menghidupkan mesin mobilnya dan mulai menyetir menuju jalan raya.

"Sky Club."

What?

Ucapan Gisell membuat Vigo bertanya-tanya. Sebenarnya, iapun hanya ikut-ikutan membully dia di sekolah tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, malam ini. Dari sekian banyak tempat yang mungkin bisa dituju, mengapa harus ke tempat seperti itu? Sky Club adalah diskotik terkenal di pusat Kota Denpasar yang isinya hanya untuk mencari kesenangan seperti diskotik lainnya. Bedanya, Sky Club ini lebih ditujukan untuk para kelas atas.

"Makasih," ucap Gisell saat ia telah sampai di tempat yang dimaksud. Namun ia minta diturunkan di pintu belakang gedung itu.

Hingga gadis itu lenyap di balik pintu pun, Vigo masih tidak membuka suara, walaupun banyak hal yang ingin ia tanyakan. Mungkin kelak ia akan tahu jawaban dari semua pertanyaannya.

***

Tidak seperti biasanya, jam baru menunjukkan pukul 06.30 namun di kelas XI IPS E sudah terlihat 3 penampakan.

Yang satu jelas si siswa rajin, satunya lagi Mario yang memang suka datang pagi. Namun mahkluk satunya lagi yang membuat bingung.

Vigo.

Ya, Vigo yang itu.

Biasanya ia adalah siswa yang paling sering telat dan juga bolos tentunya. Entah ada angin apa yang membuat Vigo datang sepagi ini.

Vigo melirik Mario yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Ia jelas tahu siapa yang pria itu coba hubungi berkali-kali.

Sedangkan Mario mulai terlihat panik saat jam pelajaran pertama sudah hampir dimulai, namun Gisell belum kunjung datang.

Pukul 07.40.

Seorang gadis kuncir satu akhirnya memasuki kelas itu. Seperti biasa, wajah datar, tatapan kosong, dengan langkah pelan yang pasti. Ia sampai di meja dan langsung menaruh tasnya diatas meja sebagai alas untuk tidur.

"Yo, kalau ada guru, bangunin ya," ucap Gisell tanpa peduli bahwa wajah teman sebangkunya itu sudah penuh akan tanda tanya. Namun Mario mengurungkan niatnya-melihat Gisell yang terlihat kelelahan.

Di ujung bangku belakang, Vigo menatap gadis yang kini tertidur di kelas itu hingga beberapa detik lamanya. Seulas senyum pun terukir di bibirnya.

She's ok.

Love UnconditionallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang