Bab 8🍃

390 31 0
                                    

Mario tak pernah menyangka bahwa di jaman modern seperti ini masih saja ada siswi yang diperlakukan tidak layak oleh sesama temannya.

Belum selesai umpatan kasar yang ia dengar di kantin barusan, kini kembali ia mendapat tatapan penuh tanya yang lebih tepatnya ditujukan pada gadis di sampingnya.

"Duh, gue kira dia cuma ngincer Om-Om berduit, ternyata sama yang seumuran doyan juga." Sharena tidak melihat siapapun saat mengucapkan hal itu. Ia terlihat sibuk bercermin di bangkunya, namun seisi kelas pasti tahu siapa orang yang dimaksud.

Vigo baru saja masuk melewati mereka dengan pandangan meneliti. Ia duduk di kursinya sambil menatap Gisell. "Lo bayar berapa tuh cewek sampe lengket gitu? Bongkar celengan? Atau malah minta ke bokap nyokap lo?"

Mario meradang dan ingin segera menghajar mulut laki-laki itu. Namun Gisell memegang tangan Mario, seakan berkata bahwa itu tak perlu dilakukan.

Gisell berjalan mendekati Vigo yang terlihat bersandar santai di kursinya. Gadis itu membungkukkan tubuhnya sedikit lalu kedua tangannya terulur ke bagian belakang leher laki-laki itu.

Sesaat Vigo merasa nafasnya tercekat. Ia memang sering menyindir gadis ini, namun melihatnya dari jarak sedekat ini membuatnya jadi salah tingkah. Gisell memang bukan gadis tercantik di kelas ini, namun wajah dinginnya di rawat begitu sempurna begitu juga dengan rambut dan tubuhnya. Tidak seperti anak SMA kebanyakan.

"Kerah seragam lo kurang rapi." Ucap Gisell pelan namun bisa didengar jelas oleh Vigo. Gadis itu mengangkat sedikit ujung bibirnya karena berhasil memberi sedikit pelajaran pada Vigo.

Tentu saja tindakan Gisell yang diluar perkiraan itu membuat seisi kelas terkejut, tak terkecuali Mario.

Laki-laki itu memandangnya dengan tatapan tak suka.

Kejadian itu tak berlanjut karena guru mata pelajaran selanjutnya sudah memasuki kelas mereka.

"Gue nggak suka." Ucap Mario dingin saat mengingat kejadian barusan.

"Nggak suka kenapa?"  Tanya Gisell polos.

Mario berdeham. "Maksudnya gue nggak suka lo di bully mereka terus."

Gisell tak membalas ucapan Mario. Ia kembali memperhatikan guru yang sedang menjelaskan di depan kelas. Ia harus sadar bahwa tujuannya kesini adalah untuk belajar, bukan meladeni teman-temannya yang kebanyakan sakit jiwa itu.

Ia tidak ingin menyia-nyiakan uang yang sudah ia bayarkan untuk mengenyam bangku SMA ini. Gisell memang lumayan pintar, namun tidak cukup pintar untuk mendapatkan beasiswa. Untuk itulah ia tak akan membuat keluarganya kecewa.

***

Setelah pulang sekolah, Mario benar-benar membawa Gisell ke cafe milik Ibunya. Cafe yang didominasi warna coklat dengan banyak bunga mawar di bagian luarnya.

Tidak ada maksud khusus kenapa ia membawa gadis itu kemari, hanya kebetulan saja hari ini ia ingin membuat minumannya sendiri untuk dibawa pulang dan diberikan pada adik perempuannya.

"Cafe lo keren." Puji gadis itu tulus. Ia bisa merasakan kenyamanan saat duduk di salah satu sofa cafe ini. Masih siang saja cafe ini sudah ramai pengunjung.

"Iya, dulunya ini cuma gerobak buat jual cemilan sama es kopi biasa. Terus lama-lama bisa sewa tempat dan bisa renovasi jadi cafe ini." Mario terlihat menerawang. Ia mengingat kerja keras Ibunya saat membangun usahanya seorang diri.

"Emang bagus sih punya usaha sendiri. Semuanya di kerjain sendiri, diatur sendiri, hasilnya pun dibagi sendiri." Mata Gisell ikut membayangkan kalau saja ia juga bisa membangun usaha kecil-kecilan.

"Iya, kalau rugi juga ditanggung sendiri, Sel. Kerja kantoran atau usaha sendiri sama-sama ada untung ruginya. Kembali ke orangnya masing-masing sih."

Suara dering ponsel Gisell membuat obrolan mereka terhenti. Gisell merogoh saku tasnya dan mengangkat ponselnya.

"Iya Om?"

Deg!

Entah kenapa mendengar Gisell mengucapkan kalimat itu membuat perasaan Mario tidak karuan. Seharusnya kalimat itu terdengar biasa, namun berbeda halnya jika Gisell yang mengucapkan.

Kedua alis gadis itu bertautan. Ia juga tidak berusaha menjauh saat menjawab telepon itu. "Sekarang?"

Gisell menatap Mario sebentar lalu melanjutkan ucapannya. "Oke Om. Jemput Gisell di depan minimarket deket kontrakan aja ya."

Mario tak tahu harus berkata apa setelah Gisell mengakhiri panggilannya. Ia terlihat kikuk.

"Sorry, gue masih ada urusan"

Urusan apa? Bathin Mario tapi ia tak berani menanyakannya langsung.

"Kalau lo nggak sibuk, bisa anterin gue ke minimarket deket jalan rumah kita?" Pinta gadis itu hati-hati.

"Bisa lah. Lo tunggu disini bentar ya." Mario berlari kecil menuju bagian belakang kasir. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan sebuah paper bag berisi serbuk coffee late beserta cookies di dalamnya.

Untuk pertama kalinya gadis itu terharu menerima bingkisan itu. Selama ini tak pernah ada teman yang sudi memberikannya apapun.

"Lo kenapa?" Mario menyentuh pundak gadis itu saat melihat Gisell berkaca-kaca.

"Makasih" Ucapnya tulus.

Mario langsung mengantar Gisell ke tempat yang ia minta. Namun setelah meninggalkan gadis itu seorang diri di depan minimarket itu, ada sesuatu di dalam dirinya yang memaksanya untuk mengikuti kemana gadis itu akan pergi.

Ia tahu ia kelewatan, belum genap dua hari berkenalan sudah ingin tahu segala urusan gadis itu.

Namun rasa penasaran mengalahkan segalanya. Motor matic-nya perlahan mengikuti laju mobil Alphard sama yang dilihatnya tempo hari.

Sampai akhirnya mobil itu berbelok dan berhenti tepat di sebuah hotel bintang lima.

Ia berusaha menghalau prasangka buruknya, hanya saja melihat kenyataan bahwa siswi SMA itu datang ke hotel dengan dijemput pria paruh baya, membuat perasaannya campur aduk.

Apakah kini ia merasa kecewa?

Love UnconditionallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang