Bab 7🍃

411 27 1
                                    

"Lo ngerjain gue?" Tanya Mario setengah berbisik saat ia kembali ke tempat duduknya. Namun laki-laki itu tak terlihat marah sama sekali.

"Gue cuma bantuin lo biar cepet dikenal sama guru. Lagian bentar lagi kan ujian kenaikan kelas." Ucap Gisell tanpa mengalihkan pandangannya pada buku yang ia beri stabilo.

Bu Winda hanya sebentar di kelas mereka karena ada rapat dadakan. Hal itu membuat Mario lebih leluasa berbicara.

"Kenapa nggak lo aja yang maju?"

Gisell meletakkan stabilonya. "Lo tau kan anak-anak nggak suka sama gue. Kalau gue maju terus jawabannya bener, mereka bakal mikir gue caper, carmuk, and etc..."

Mario memahami situasi Gisell. Ia kemudian menatap lekat gadis di sampingnya itu. Gadis ini memang unik. Pintar tapi tak ingin memamerkannya.

"Lo kayaknya rajin banget belajar, emang lo punya cita-cita khusus?" Tanya Mario lagi. Ia semakin penasaran dengan kepribadian gadis ini.

Gisell tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Mario. Gadis itu memiringkan kepalanya, kemudian menegakkannya lagi.

"Gue rasa gue pengen jadi Jaksa"

Mario menaikkan sebelah alisnya.

"Kenapa? Nggak pantes ya?"

Balasan Gisell membuat Mario salah tingkah. Gadis itu hanya tersenyum samar melihat kelakuan teman barunya itu.

"Bukan gitu Sel. Gue cuma penasaran kenapa lo lebih milih profesi itu."

"Mungkin karena gue sering nonton di TV, banyak banget hukum yang nggak berpihak sama kaum lemah. Gue cuma pengen jadi bagian kecil dari mereka yang berusaha bersikap adil, tanpa ngeliat status. Kadang orang berduit lebih dipermudah, sedangkan yang nggak punya semakin ditindas. Ya, cuma karena itu..." Jelasnya panjang lebar.

Sedetik kemudian Gisell terdiam, ini pertama kalinya ia bicara selama itu pada lawan jenis. Ia juga merasa sangat cepat mengakrabkan diri pada Mario.

"Hebat" Ucap Mario diiringi senyum manisnya.

Baru saja Mario ingin melanjutkan ucapannya, namun Sharena dan Sintya serta beberapa siswi lainnya sudah menuju ke arah bangkunya.

"Lo jangan sampe kena rayuan si cewek bekas itu. Kasihan elo-nya." Sintya kembali melontarkan kata-kata pedasnya. Ia sama sekali tak pernah berpikir sebelum bicara.

Mario baru ingin membuka suara namun gebrakan kecil di sebelahnya membuatnya menoleh.

Gisell mendorong mejanya ke depan agar ia mendapat ruang untuk pergi dari kerumunan itu.

"Kenapa pergi Sel? Nggak kuat ya denger aib sendiri?" Kali ini Sharena yang bicara tanpa rasa bersalah.

Gisell tak menghiraukannya seperti biasa. Diam dan menghindar adalah caranya bertahan selama ini. Gadis itupun melangkahkan kakinya keluar kelas, menuju kantin yang harusnya masih sepi di jam ini.

"Gue baru tau kalau sesama cewek bisa ngomong sekasar itu."

Pernyataan Mario membuat dua gadis di sampingnya tergelak. Beberapa siswa disana menoleh saat mendengar suara bernada tajam dari Mario.

Sintya mendengus kesal. "Rio, lo nggak seharusnya deket sama cewek kayak dia"

"Terus gue harus deket sama cewek kayak lo gitu?"

Mario melanjutkan. "Dan jangan panggil gue Rio lagi."

Panggilan itu adalah panggilan yang paling ia benci. Panggilan yang selalu membangkitkan kenangan buruk dalam dirinya. Ia tak ingin mendengarkannya lagi dari siapapun.

Sintya kehabisan kata-kata. Ia mundur beberapa langkah saat Mario berdiri dari kursi dan berjalan keluar kelas. Sama seperti hari sebelumnya, laki-laki itu kembali mengabaikannya.

Di sisi lain, pesanan makanan Gisell baru saja selesai dan ia berniat untuk membayar. Namun saat merogoh saku seragamnya, ia tak menemukan uang disana. Ia kembali memeriksa di saku roknya, namun hasilnya nihil.

Ia mendecakkan lidah, teringat bahwa tadi ia tak sempat mengambil uangnya di dompet karena gerombolan ganas di kelas menyerbu mejanya tiba-tiba.

Kebingungan Gisell dilihat oleh siswa di kelasnya yang sudah terlebih dahulu duduk-menikmati makanan di kantin.

"Kenapa Sel? Nggak bawa duit? Emang kemaren malem nggak dibayar?" Itu suara Vigo, langganan guru BP yang selalu meluncurkan kalimat sindiran kepadanya. Bahkan sindiran itu terkesan sangat kasar.

"Udah Vig, bayarin dulu sana. Kasihan anak orang nanti jadi kurus. Kalau nggak semok lagi kan nggak ada yang mau booking dia."

Suara lain yang menimpalinya itu disambut gelak tawa heboh dari seluruh orang yang ada di kantin. Kecuali staf kantin tentunya. Mereka malah memandang iba gadis yang selalu menjadi korban bully di sekolahnya ini.

Ini bukan yang pertama kali, tapi tetap saja membuat mata gadis itu memerah, tangannya mengepal kuat berusaha menahan emosinya yang sebentar lagi akan meledak.

Kenapa mereka suka sekali mengganggunya? Ia bahkan merasa tak merugikan orang lain. Tapi kenapa mereka selalu menyudutkannya? Ia hanya tak mengerti bahwa hidup masa mudanya bisa sekejam ini.

Tepukan halus di pundaknya membuat emosi yang berkumpul di dadanya perlahan menguap. Gadis itu mendongakkan kepalanya.

"Ini uangnya mbak, saya juga pesan menu yang sama kayak Gisell ya." Ucap Mario ramah sembari menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan kepada staf kantin.

Momen itu jelas menjadi tontonan menarik bagi para siswa yang ada disana, tak terkecuali Vigo. Laki-laki itu malah tersenyum meremehkan ke arah Mario.

Setelah pesanannya selesai, Mario mencarikan bangku kosong untuk mereka duduki bersama.

"Mario, semua orang ngeliatin kita." Ucap Gisell perlahan. Ia yakin tatapan tajam itu memang benar-benar mengarah padanya.

"Terus?" Ucap Mario santai. Ia malah menikmati tahu yang ada di mangkok baksonya.

"Ya, lo tau kan kalau gue punya reputasi buruk di sekolah ini. Lo murid baru, lo nggak takut dijauhi sama mereka? Mereka bisa ngomong yang nggak-nggak tentang lo."

Kali ini Gisell benar-benar khawatir. Ia takut kalau akan membuat Mario terkena masalah. Namun jawaban laki-laki itu malah membuatnya terdiam untuk kesekian kalinya.

"Gue nggak peduli Sel. Gue hidup, gue sekolah, bukan buat nyenengin mereka. Apapun yang kita lakuin, pasti selalu ada pihak yang nggak suka. Jadi, lo nggak usah pikirin omongan mereka. Jalanin aja hidup ini. Mereka yang ngurusin hidup orang lain, belum tentu juga hidupnya bahagia."

"Cita-cita lo jadi motivator ya?" Gisell mengulum senyum mendengar ucapan Mario. Ia tak tahu kalau laki-laki itu bisa membuat perasaannya lebih tenang.

"Mungkin, kalau itu bisa bikin lo senyum terus"

Love UnconditionallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang