Berjuta Tanya

852 28 2
                                    

Part 16

"Aku.. Dimana?" bibirku bergerak pelan seraya menatap sekeliling. Mataku mengerjap, Kulihat ada beberapa orang mengerumuni termasuk Hani.

"Sa! Ya Allah! Alhamdulillah kamu udah sadar, Ini minum dulu!" Hani terlihat cemas saat memberikan teh manis hangat padaku.

Setelah yakin aku baik-baik saja mereka yang mengerumuniku tadi keluar meninggalkan kami berdua.

"Aku kenapa Han? terus sekarang dimana?"

Seingatku tadi aku dan Hani sedang mengantre untuk bersalaman dengan Reni.

"Tadi kamu pingsan dan sekarang di kamar adiknya Reni, Untung aja tempat pernikahan Reni dekat dengan rumahnya.

Aku mengingat-ingat, tadi sebelum tak sadarkan diri ada pesan dari Ibu Rio yang sangat mengejutkan dan melukai hati hingga aku tak kuasa lagi mengendalikan diri.

"Terus resepsi Reni gimana? Aduh aku pengacau banget ya?"

"Alhamdulillah gak apa-apa kok, tadi cuma agak rame aja tapi setelah itu lancar lagi. Udah deh, kamu gak usah banyak fikiran. Ini makan dulu aja ya supaya gak lemes" Hani menyodorkan sepiring nasi beserta lauknya

Aku tak menggubris makanan itu, aku hanya menangis dalam diam karena terluka begitu dalam. Di tangisku yang terisak aku merasa sesak. Hatiku kini menjelma menjadi serpihan puing yang tak berarti. Aku merasa seperti sampah menjijikkan yang dibuang dengan penuh benci. Hati kecilku menjerit lemah,
"Ya Rabb, sungguh kini aku tak tahu harus bagaimana? Bolehkah aku menyerah?"

"Sa, kamu kenapa?" Hani bertanya hati-hati sambil menaruh piring ke meja.

Aku tak kuasa menjawab, mataku menatap kosong lalu menghamburkan diri ini ke pelukannya. Aku menangis lagi, kali ini dengan perasaan yang teramat perih. Sungguh sakit sekali rasanya. Kucubit lenganku dengan keras tapi sakit di hati ini masih terasa jauh lebih sakit. Harus kah aku menyakiti diriku lebih dari ini?

Hani mengusap punggungku dan berkata, "Istighfar Sha.. Ada apa sebenarnya?"

Tangisku semakin menggema, memantul ke sudut-sudut dinding. Beruntung semua orang sedang berada di pernikahan Reni sehingga hanya Hani yang melihatku seperti ini. Setelah tangisku mereda dan aku bisa menguasai diri, aku tunjukkan pesan dari Ibu Rio pada Hani.

Hani membacanya dengan suara pelan,

"Jangan hubungi Rio lagi. Dia sudah gak mau sama kamu"

"Subhanallah" Mata Hani masih menatap layar ponselku sambil menutup mulutnya yang menganga.

Sedetik kemudian Hani memelukku dan berkata,"Allah Maha Penyayang dari semua yang penyayang sa" Suaranya bergetar menahan tangis.

"Kenapa jadi begini Han? Terlalu banyak kah dosaku hingga harus dihukum sedemikian berat? Katanya Allah tidak akan memberikan ujian di luar kesanggupan HambaNya, tapi kenapa Allah berikan ini padaku? Bukankah Allah Maha Penyayang tapi kenapa yang kurasakan sebaliknya Han?" Bulir air mataku terjatuh lagi

"Astaghfirullah Sasha.. Cukup Sha.. Istighfar! jangan merasa menjadi orang paling menderita di dunia hanya karena apa yang kamu inginkan tidak diberi olehNya. Jika memang Allah gak kasih, mungkin itu bukan yang terbaik untukmu. Ingat kan Sa, ayat al-qur'an yang bilang "Boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal buruk bagimu dan boleh jadi kamu membenci sesuatu namun baik bagimu."

Kami terdiam sejenak, lalu Hani melanjutkan, "Hmm mungkin kita belum ngerasain kasih sayangNya sekarang tapi nanti insya allah kita pasti akan faham kenapa Allah menakdirkan itu. Pada akhirnya kita akan tersenyum dan meyakini bahwa benarlah Allah Maha Penyayang. Bahkan kelak kita akan bersyukur atas semua takdirNya. Oh iya Sha, aku pernah dengar ceramah ustadz bahwa setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Jika sekarang belum menemukannya mungkin besok, lusa atau beberapa tahun lagi" Hani menasehatiku panjang lebar

"Astaghfirullah" Aku duduk memeluk kedua lutut dan menenggelamkan kepalaku di atasnya.

"Kamu orang terpilih Sha, kalau aku di posisi kamu juga belum tentu kuat tapi Allah memilihmu berati Dia tahu kamu sanggup menjalaninya. Yakinlah bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Aku tahu ini berat dan menyakitkan maka mintalah kekuatan pada Allah."

"Iya Han, terimakasih nasehatnya. Doakan aku kuat"

"Iya insya allah, ya udah sekarang tenangin diri kamu dulu, banyak dzikir ya hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang" Hani mengusap pelan air mataku

Hani memegang erat tanganku dan berkata, "Nanti kalau sudah tenang coba kamu telepon Ibunya Rio untuk tabayyun (cek dan ricek-red). Mudah-mudahan ada penjelasan yang menenangkan. Sekarang aku ke Reni dulu ya, Kamu gak apa-apa kan ditinggal?"

Aku mengangguk, lalu Hani pun beranjak pergi.

---

Aku mencoba menyentuh makanan yang diberikan Hani tapi seleraku menghilang saat ingat pesan Ibu Rio tadi. Aku masih tak menyangka dengan apa yang terjadi hari ini. Berjuta tanya memenuhi kepalaku, kenapa beliau tiba-tiba mengirimkan pesan itu, apa salahku? sedemikian besar kah sehingga beliau tega melakukannya?

Aku mencoba memejamkan mata, namun lagi-lagi aku gagal. Aku merasa harus menyelesaikan ini dan mendapatkan penjelasan. Lebih baik aku telepon Ibu Rio sekarang agar semuanya menjadi jelas. Segera ku mengambil ponsel dan menelponnya,

Tuuut.. Tuuut.. Tuut....

"Nomor yang anda tuju tidak menjawab."

Hanya terdengar suara operator di ujung sana.

Aku menarik nafas, menguatkan diriku untuk kemungkinan terburuk.
Kucoba telepon sekali lagi, namun masih tak ada jawaban. Bahkan kali ini telpon ku ditolak.

Aku terus saja menguatkan diri supaya tetap tenang.

Baiklah ini yang terakhir, jika beliau masih tidak menjawab aku tidak akan menghubungi lagi.

Tuut..tutt...tuuut..

Ternyata diangkat, aku pun menyapanya

"Assalamu'alaykum bu.."

"Kamu udah baca pesan dari saya kan? Udah ya cukup! Jangan hubungi kami lagi. Rio sudah gak mau sama kamu!" suara penuh kebencian terdengar darinya.

Tut tut tut.

Telepon di tutup.

Astaghfirullah.. Kukira dengan menelpon akan mendapat penjelasan yang menenangkan namun kenyataannya beliau semakin menyakitiku. Sungguh aku tak bisa menerima perlakuannya. Jika memang aku ada salah tak bisa kah ditegur terlebih dahulu? Mengapa harus seperti ini caranya? Tidak kah beliau merasa ini adalah sesuatu yang sangat menyakitkan bagiku?? Atau mungkin memang beliau tak peduli lagi padaku dan keluargaku?

Apa yang harus ku katakan pada orang tua ku nanti?
Tidak kah mereka juga pasti akan merasa sedih dan terhina?
Lalu bagaimana dengan undangan yang sudah disebar? Akan ditaruh dimana mukaku nanti?? Ya Allah aku malu jika memang semuanya harus batal.

Argh!! Aku menenggelamkan wajahku di atas bantal agar tangisan histerisku tak terdengar. Aku menangis dan terus menangis hingga tak lagi memiliki kekuatan untuk melakukannya. Aku lelah, sungguh teramat lelah, saking lelahnya mataku pun terpejam dan tertidur.

------

BERSAMBUNG

Jodohku (Sudah Terbit!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang