Sensitif

5.2K 254 10
                                    

Setelah menghabiskan waktu dengan Arga semalam, Kalista semakin bulat tekadnya untuk mengikhlaskan hati dan mengobatinya dengan cara mengisi hati. Arga.

Hari ini sekolah, biasanya Kalista dijemput oleh Arga. Tapi sekarang sudah jam tujuh kurang sepuluh menit. Biasanya Arga menjemputnya setengah jam sebelum jam tujuh. Beberapa kali Kalista mencoba mengirim pesan dan menelpon Arga, tapi tak ada respon.

"Kal," suara Mama Kalista membuyarkan lamunannya.

"Kenapa Ma?"

"Kok belum berangkat? Arga mana?"

"Kalista juga gatau, mending Kalista berangkat pake bus aja ya?"

"Yaudah, hati hati ya."

Kalista menyalami Mamanya. Lalu, menuju halte menunggu bus berhenti. Di dalam bus, Kalista beberapa kali mencoba menelpon serta mengirim pesan untuk Arga. Berharap cowok merespon jika ia baik baik saja.

                                  • • •

"Ngelamun aja Neng?"

"Apasih Al?" Kalista sensi. Sedari tadi ia cemas memikirkan Arga. Saat istirahat, ia mencoba bertanya kepada teman sekelas cowok itu. Katanya ia sakit. Lantas, mengapa teman sekelasnya lebih tahu daripada Kalista? Bukankah Kalista adalah pacarnya? Lalu, mengapa telpon dan pesannya sama sekali tak di respon?
Banyak sekali pertanyaan yang muncul begitu saja di benak Kalista. Apa benar dia bukan prioritas Arga.

"Berantem lo ya? Sensi amat." Ucap Alisa. Orlin hanya mengangguk setuju.

"Apasih maunya Arga?!" ucap Kalista gusar.

"Emang kenapa si kalian berdua?" tanya Orlin penuh selidik.

"Au ah." Kalista berdiri dari duduknya. Lalu, menuju toilet. Elisa yang ingin mengejar, malah ditarik Orlin duduk kembali. Kalista butuh sendiri.

Perlahan pikirannya mulai netral setelah membasuh mukanya dengan air yang kebetulan dingin. Kalista memandangi dirinya di cermin. Juga, memikirkan dimana Arga.

Brukk!

Dua kali. Kalista bertubrukan dengan badan yang sama. Jangkung serta kokoh. Namun, seperti amnesia. Ia lupa bahwa itu adalah Arga.

"Kalo jalan pake mata bisa gak?!" bentak Kalista meniup lebam di lututnya. Belum melihat pelaku penubruknya.

"Sorry Babe," ucap cowok itu.

Arga?

"Arga?!" ucap Kalista histeris.

"Sorry. Tadi kamu jalan liat kebawah, bukan kedepan."

"Oh, jadi aku yang salah?! Aku? Iya aku?! Setelah kamu hilang, gaada kabar. Kamu malah nyalahin aku? Apasih susahnya kabarin kalo sakit?!"

"Udah jangan ngomel, berdiri dulu." Arga tertawa geli.

"Malah ketawa!" bentak Kalista.

Arga membawa Kalista ke UKS. Sudah dua kali ia membuat lebam pada lutut gadis itu. Perlahan, Arga merasa bersalah. Dia tak mengabari pacarnya itu, lalu membuat lebam di lutut gadis itu.

"Maaf Kal. Aku gak sengaja," ucap cowok itu seraya melekatkan plester obat.

"Gapapa," sahut Kalista.

Arga memakai kaos hitam. Jeans hitam, juga sepatu putih bersih. Berbeda dengan Kalista yang memakai seragam sekolah.

"Katanya sakit, kok ke sekolah? Harusnya kamu itu istirahat di rumah."

"Di rumah, sakitnya malah nambah. Kan obatnya lagi sekolah?"

"Emang obat bisa sekolah?" tanya Kalista polos. Arga tersenyum gemas.

"Bisa laaah."

Arga merapikan duduknya agar lebih mudah meneliti setiap titik wajah gadis di depannya itu. Sejak itu, jantung Kalista mulai tak karuan. Apalagi jika cowok itu sesekali mengembangkan senyum. Benar benar membuat jantung Kalista keluar dari tempatnya.

"Gausah grogi kali, aku gabakal gigit."

"Apaansih?!" Kalista salting.

"Jadi kamu kenapa ke sekolah?"

"Susah banget buat nahan rindu. Kalo bisa dipenuhin kenapa enggak?"

POSSESSIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang