“Kamu pulang ke rumah kok ndak ngabarin Ibuk to, Ndok?”
Aku menghela napasku. Tadi setelah pertengkaran kecil dengan Rizal, aku langsung mencari taksi dan pulang ke rumah orangtuaku. Biar saja, rasanya aku kesal sekali mengingat dia masih saja terkesan membela mantan pacarnya itu. padahal disana aku berniat membantunya, tapi malah aku yang dipermalukan.
Entah apa yang ada di pikiran Rizal. Barangkali dia masih mencintai Leni yang jelas-jelas sudah jadi milik laki-laki lain. Melihatnya Rizal terdiam di akhir percakapan kami, aku langsung pergi tanpa menoleh lagi. kekesalanku benar-benar memuncak, aku sudah tidak butuh dia untuk membantuku. Aku tidak terlalu buruk, pasti ada laki-laki baik yang benar-benar mau menikahiku dan menerimaku apa adanya.
“Hehehe, tadi aku abis dari nikahan temen jadi sekalian pulang ke rumah. Lagipula aku juga kangen sama Ibuk, udah dua dua bulan aku nggak pulang,” jawabku sembari merangkul Ibu yang duduk di sampingku.
“Temen kamu yang mana? Kok Ibuk nggak tau?”
“Engg—“ aku gelagapan. “Adalah pokoknya, Ibuk nggak kenal.”
“Oh. Tetep aja kalo telfon dulu Ibuk bisa masakin sambel teri kesukaan kamu. Emangnya kamu berapa hari disini?”
Aku tersenyum tipis. “Besok aku udah balik ke Jakarta lagi, Buk. Soalnya Pak Bos nggak kasih cuti lama.”
Raut wajah Ibu tampak kecewa. “Lah, baru aja sampai hari ini, udah pulang aja kesana.”
“Ya abis gimana, namanya juga kerja. ”
“Iya, Ibuk ngerti kok kalo sekarang kamu itu orang sibuk.” Ibu mencebikkan bibir.
“Sesibuk-sibuknya, kan aku tetep pulang kalo ada libur panjang. Masalahnya Bosku itu orangnya disiplin, nggak bisa aku ambil cuti sebarangan kalau emang nggak bener-bener penting.”
“Bos kamu itu genteng ndak orangnya?” tanya Ibu.
Aku terkekeh kecil. “Percaya deh, Buk, tetep Bapak laki-laki paling ganteng di dunia.”
Ibu tertawa. “Bisa aja kamu. Tapi nanti kalo udah punya suami, pasti kamu anggepnya dia laki-laki paling ganteng.”
Aku merapatkan bibir membentuk garis lurus.
“Oh iya, Nin, gimana tadi adek kamu? Udah ketemu kan?”
Aku menghembuskan napas. Menunduk sambil mengangguk lesu. “Salsa ngambek sama aku gara-gara aku belum bawa calon suamiku.”
Ibu menatapku dalam diam, kemudian tangannya bergerak mengelus punggungku. “Ibuk ngerti perasaan kamu. Tapi seperti yang dibilang bapak, ini sebagai alat untuk menguji Ferdi, apa dia bener-bener sayang sama adekmu itu.”
Seketika aku ingat ancaman Salsa. Mengenai dia yang mau bunuh diri jika ditinggal Ferdi. Tapi aku tidak mungkin mengatakan hal tersebut pada Ibu. Aku kenal Ibu, aku kenal Salsa, mereka dua orang yang sama-sama keras kepala. Aku tidak mau mereka bertengkar. Belum lagi kalau Bapak tau, bisa-bisa Salsa dimarahi habis-habisan.
Aku mendongkak. “Apa nggak sebaiknya kita izinin aja Salsa ngelangkahin aku. Aku nggak masalah kok, Buk. Sekarang udah zaman modern, nggak harus yang paling tua yang nikah duluan.”
“Tapi Ibuk sama Bapak pengennya kamu yang nikah dulu, Nin. Umur kamu udah hampir kepala tiga, apa ndak ada calon yang siap kamu kenalkan?”
Aku menggigit bibir, tidak menjawab.
“Yowes Ibuk ke belakang dulu. Bicara sama adekmu, dia pasti ngerti.” Ibu menepuk bahuku seraya berjalan menuju pintu, kemudian keluar dari kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Perawan Tua! [selesai]
Romance[17+] (Terbit) Aku adalah perempuan matang berusia 30 tahun. Dan belum menikah. Tapi aku merasa tidak apa-apa dan santai dengan kesendirianku. Bagiku jodoh sudah ada yang mengatur, dan aku hanya tinggal menunggu waktu kapan jodoh itu datang padaku...