>> Pesta Nikahan mantannya Rizal <<
Aku mematut pantulan bayanganku di cermin. Lumayan juga penampilanku. Hari ini aku memakai kebaya pemberian Bunda semalam. Meskipun klasik, tapi kebaya bewarna hijau toska ini tampak elegan saat dipakai. Tidak ketinggalan jaman. Jangan salah, walau umur Bunda sudah setengah abad lebih, tetapi selerannya tetap kekinian.
Rambutku di gulung rapi dan diberi hiasan bunga kecil di bagian kiri. Bunda sangat telaten dan cekatan bak penata rambut profesional. Bunda bilang dia memang suka merias perempuan, sayangnya Fania tidak pernah mau jika Bunda ikut campur soal penampilannya. Dari cerita Bunda, aku sudah bisa menebak bagaimana karakter adik perempuan Rizal itu, dia perempuan modern dan simpel.
Tangan Bunda mulai bergerak memoles make up ke wajahku. Menggoreskan pensil alis, menambahkan mascara ke bulu mata, serta mengusapkan warna ke bibirku. Padahal aku hanya menghadiri pesta, tapi Bunda mendandaniku seakan aku-lah pengantinya. Aku memejamkan mata, membayangkan saat ini aku sedang duduk berdampingan dengan Riz—
Cukup!
Kenapa aku jadi memikirkan yang bukan-bukan. Aku dan dia hanya pura-pura, seharusnya aku tidak boleh lupa. Jika suatu hari aku benar-benar menikah, pasti bukan Rizal laki-laki yang mendampingiku dihadapan penghulu.
“Udah selesai. Cantik! Rizal nggak salah cari calon istri,” kata Bunda.
Setelah itu, Bunda melangkah ke arah pintu, lantas melolongkan kepala, memanggil nama Rizal beberapa kali.
Langkah kaki terdengar mendekat, aku yakin itu Rizal. Benar saja, beberapa saat kemudian seorang laki-laki berkemeja abu-abu yang dimasukkan ke dalam celana hitam dan berikat pinggang rapi mucul dari balik pintu.Aku menahan napas sejenak, kuakui Rizal lumayan tampan hari ini. Dia layaknya laki-laki dewasa yang berkarisma. Aku menggelengkan kepala, tak boleh aku memandangnya terlalu lama, nanti bisa-bisa aku jatuh cinta.
“Kamu kenapa? Sakit kepala?”
Aku kembali menggelengkan kepala sembari menormalkan detak jantungku yang mulai berulah. Ada apa dengan alat pemompa darahku ini, kenapa rasanya berdebar. Ini tidak boleh dibiarkan, kalau aku kembali menaruh rasa, aku juga harus siap kembali merasakan kecewa. Karena nyatanya aku dan Rizal tidak pernah punya rasa yang sama.
“Gimana, Zal, hasil karya Bunda? Kanin cantik kan?” tanya Bunda.
Rizal memandangku sebentar, kemudian mengangguk kecil. “Cantik,” katanya lirih nyaris tak terdengar.
“Ayok, cepet, keburu siang ini,” Rizal menarik tanganku cepat, membuatku kehilangan keseimbangan. Tapi bukan layaknya adegan FTV yang sering kutonton, karena kali ini yang memenangkap tubuhku bukan Rizal, melainkan Bunda yang tepat berdiri di belakangku.
“Hati-hati dong, Zal. Yang lembut kalau mau narik perempuan!” Bunda menatap Rizal kesal.
Rizal mendengus. “Iya, iya, Bunda. Ayok, Nin.” Dia kembali menarik tanganku pelan, tapi aku melepasnya.
“Nggak usah digandeng, jalan sendiri masih bisa kok.” Aku berlalu keluar terlebih dulu setelah berpamitan dengan Bunda.
Samar-samar aku mendengar Bunda berkata, “Makanya kalau sama perempuan itu yang lembut. Karena perempuan itu hatinya sensitif. Sekarang Kanin jadi marah kan gara-gara kamu, sana kejar terus minta maaf.”
“Iya, Bunda.”
****
“Kamu kenapa pake kebaya itu?”
“Emangnya ada yang salah?”
“Nggak tau.”
“Kok nggak tau?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Perawan Tua! [selesai]
Romance[17+] (Terbit) Aku adalah perempuan matang berusia 30 tahun. Dan belum menikah. Tapi aku merasa tidak apa-apa dan santai dengan kesendirianku. Bagiku jodoh sudah ada yang mengatur, dan aku hanya tinggal menunggu waktu kapan jodoh itu datang padaku...