Jogjakarta.
Aku tidak sedang mimpi. Ini benar-benar terjadi. Dua hari pasca pertemuanku terakhir dengan Rizal dan sekarang disinilah aku, menatap getir pagar rumah tingkat dua, yang tak lain adalah rumah orangtua Rizal.
Aku menatap kesal Rizal yang sedang mengeluarkan koper dari bagasi taksi. Dia sih enak, bos kantor penerbitan, jadi bisa libur kapan dia mau, tidak ada batasan waktu. Sedangkan aku? Harus mati-matian minta izin pada atasanku.
Awalnya bos menolak dan tidak mengizinkanku cuti, karena kantor sedang sibuk-sibuknya. Tapi atas bantuan Rani akhirnya aku di izinkan. Aku hanya di berikan kelonggaran waktu tiga hari, setelah itu aku sudah harus kembali bekerja dan lembur sampai malam selama tiga hari juga untuk menggantikan jatah liburku tersebut.
Tak aku sangaka, rumah orangtua Rizal dan rumah orangtuaku hanya berjarak sekitar dua kilo meter kalau tidak salah, tidak terlalu jauh pokoknya. Maklum saja, dulu aku dan Rizal memang satu SMA, jadi wajar kalau rumah kami masih ada di satu kawasan yang sama. Meski begitu, aku harus menunggu hari esok jika ingin pulang ke rumah dan bertemu keluargaku, itupun aku harus menemani Rizal ke acara nikahan mantan terindahnya dulu. Dasar laki-laki gagal move on.
Aku menyeret koper yang berisi pakaian tidak seberapa, lantas mengikuti Rizal yang berjalan membuka pintu pagar. Langkahku terasa berat, kenapa aku jadi gugup seperti akan bertemu calon mertua. Walaupun dalam artian bisa dibilang begitu, tapi sesungguhnya ini hanya pura-pura, sementara, dan tidak nyata. Aku harus tetap tenang dan tidak boleh terbawa perasaan. Satu harapanku, semoga saja orangtua Rizal adalah tipe orang yang menyenangkan dan tidak banyak tanya. Sehingga aku tidak harus banyak berbohong dan menambah dosa.
“Nggak usah gugup gitu, biasa aja, kebetulan keluarga saya bukan singa.”
Aku hanya menghela napas dan diam, mempersiapkan jawaban yang nantinya akan aku berikan pada orangtua Rizal agar tidak terlihat seperti sandiwara. Setelah memencet bel, wanita seumuran ibuku membuka pintu. Wanita yang aku tebak ibunya Rizal itu menukar pandang antara aku dan Rizal sebelum tersenyum sumringah dan mempersilahkan kami masuk.
“Kamu pasti Kanin ya?” tanyanya antusias begitu aku melangkah melewati pintu. Aku menoleh, Rizal mengangguk, aku mengerti. Mungkin sebelum kesini Rizal sudah menelfon ibunya dan memberitahu perihal diriku.
“I-iya, Tan—
“Nama saya Kemala, tapi kamu panggil aja bunda. Lagipula kan sebentar lagi kamu jadi mantu disini, jadi anggap aja bunda ini ibu kandung kamu sendiri.”
Aku kembali menatap Rizal, laki-laki itu mengangkat kedua tangan. aku jadi heran, apa saja yang sudah dikatakan Rizal pada ibunya. Ibu Rizal manarik koper yang kupegang, tapi aku menahannya.
“Nggak apa-apa, biar bunda bawain, kamu pasti capek.”
Kesan pertama yang aku dapat, ibu Rizal orang yang baik. Tutur katanya lembut. Tatapan matanya pun tulus, senyum tak lepas dari wajanya yang mulai keruput di beberapa tempat. Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dengan laki-laki yang mengaku anaknya itu. atau jangan-jangan dia anak yang di pungut di pinggir jalan? Tapi kalau dari raut wajah mirip sih. Ah sudahalah, kenapa aku jadi repot-repot memikirkan ini.
“Nggak apa Tan—eh bunda, aku bawa sendiri aja, nggak capek kok,” Tolakku berusaha sesopan mungkin.
“Yaudah sih, Bun, biarin aja Kanin bawa kopernya sendiri kalau emang dia nggak capek. Bawain punya aku aja ya. Aku capek banget, mau langsung tidur ini.”
Ibu Riz—maksudku bunda, menatap Rizal malas sambil mengait lengaku, mengajakku pergi. “Bawa aja sendiri, kamu kan laki-laki, Kanin aja yang perempuan nggak manja. Ayok, Nin, bunda mau cerita-cerita sama calon mantu bunda.”
“Lah, emang bunda nggak kangen sama aku?”
“Ngapain?” bunda melengos.
Aku mengikuti kemana bunda melangkah sambil tertawa pelan. Sepertinya setelah ini aku bisa mengajak bunda berkomplot.
*****
Tidak membutuhkan waktu lama untuk akrab dengan bunda. Ibu Rizal itu tipe orang yang supel, pembawaanya santai dan lumayan humoris. Dia bercerita banyak hal padaku, orang yang notabenya baru dikenal. Seperti masa kecil Rizal, kegemaran Rizal, dan segalanya tentang Rizal, bahkan bunda memperlihatkan foto Rizal kecil yang ternyata kurus dan sering sakit-sakitan. Bunda banyak tertawa, meskipun terkadang raut mukanya murung saat mengingat Rizal yang hampir meninggal kerena sakit tifus.
Rizal merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Dia punya kakak perempuan bernama Shela yang berjarak dua tahun darinya, sudah menikah, dan tinggal bersama suaminya di Semarang. Sedangkan adik perempuanya—Fania—saat ini masih menempuh pendidikan semester empat jurusan ilmu komunikasi di Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Fania masih tinggal di rumah, tapi terkadang dia tidak pulang. Seperti sekarang, kata bunda, Fania sedang menginap di rumah temannya untuk mengerjakan projek kelompok.
Oh iya, daritadi ada satu orang yang belum aku singgung sama sekali. Yap, ayah Rizal. Sebenarnya aku agak sedih untuk menceritakan ini. Ayah Rizal sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu karena penyakit jantung. Otomatis Rizal mengambil alih kewajiban sebagai kepala dan tulang punggung keluarga. Tapi tidak sepenuhnya, karena bunda juga punya dua cabang toko bakery yang di rintis sejak enam tahun lalu bersama suaminya. Setidaknya penghasilanya cukup untuk menggaji pembantu dan kuliah Fania, meski begitu Rizal tetap mengirim uang setiap bulan.
Ketika bercerita tentang suaminya, mata bunda berkaca. Dulu Pak Proto—ayah Rizal sangat ingin melihat putranya menikah, namun sayang ajal lebih dulu menjemputnya. Bunda sempat memperlihatkan foto ayah Rizal di album keluarga. Postor tubuhnya sangat mirip dengan Rizal, tinggi dan tegap. Meski secara wajah, Rizal lebih mirip ibunya.
Tadi bunda juga sempat menyinggung soal mantanya Rizal yang akan menikah, namanya Leni. Hanya sedikit, entahlah, mungkin bunda tidak ingin melukai perasaaku. Bunda menghargaiku sebagai colon istri Rizal. Dia mengira aku benar-benar akan menikah dengan Rizal. Perasaan bersalah hinggap di hatiku, andai bunda tau ini hanya sandiwara, hatinya pasti terluka. Semangatnya begitu menggebu, nampak dari cara bunda menceritakan segalanya padaku.
Makan malam kami berlansung lancar. Hanya aku, Rizal, dan bunda di meja makan. Aku juga baru tau kalau Rizal sangat menyukai tumis kangkung dan telur puyuh balado. Makanan favorit katanya. Dan kebetulan bunda hari masak menu itu untuk menyabut kedatangan Rizal. Biasanya yang masak pembantu, tapi khusus malam ini bunda memasakanya sendiri. Masakan bunda enak, meski menunya terbilang sederhana, tetapi aku suka. Walau begitu, tetap saja aku tidak nyaman saat bunda menanyakan kapan aku dan Rizal akan menikah. Secepatnya, itu yang selalu di jawab Rizal, sedangkan aku hanya mengangguk-angguk.
“Bunda senang kamu cepat move on,” kata bunda di sela kunyahanya.
Rizal menggaruk tengkuk. “Ah, Bunda, sekarang bahasanya gaul, tau move on segala.”
“Iyalah, Bunda ini meskipun sudah tua, tapi di dalam jiwanya masih muda.”
“Nah gitu dong, kan aku tambah sayang.” Rizal memonyongkan bibirnya, memberi bunda ciuman jarak jauh.
Bunda menatapku sambil geleng-geleng kepala. “Begitulah, Nin, walau umurnya udah banyak tapi kelakuanya masih kayak anak kecil.”
“Namanya juga ketemu ibunya. Walaupun umurnya udah tua, tapi pengennya tetep di manja. Bunda sehat terus ya sampai liat aku gendong cucu.”
Bunda tertawa. "Makanya kalian cepet nikah, biar cepet punya anak, terus punya cucu. Jadi punya punya cicit deh," kata bunda riang.
Aku dan Rizal saling tatap sebelum sama-sama memalingkan muka. Aku menunduk, entah kenapa pipiku terasa memanas.
"Bun, Fania ngerjain apasih di rumah temennya?"
Aku tau Rizal sedang mengalihkan pembicaraan. Bahkan aku tidak yakin dia sudah melupakan mantan pacarnya. Aku jadi penasaran, seperti apa perempuan bernama Leni itu sehingga membuat Rizal yang dulu kukenal playboy dan sering berganti pacar, sepertinya tidak bisa melupakan hubungan mereka.
Dan aku akan tau besok.
****
Next
Apa cerita ini menarik?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Perawan Tua! [selesai]
Romance[17+] (Terbit) Aku adalah perempuan matang berusia 30 tahun. Dan belum menikah. Tapi aku merasa tidak apa-apa dan santai dengan kesendirianku. Bagiku jodoh sudah ada yang mengatur, dan aku hanya tinggal menunggu waktu kapan jodoh itu datang padaku...