10. Bulan Merah

20.6K 1.2K 27
                                    

Beberapa hari ini aku sudah kembali bekerja. Aku berada di bidang administrasi lebih tepatnya pada bagian entry data. Siang ini aku sedang sibuk merekap laporan yang masuk dari berbagai devisi. Aku harus cermat dan teliti, tak boleh satupun yang terlewat, tapi sedari tadi Rani tak membiarkanku bekerja dengan tenang.

"Cie Kanin sekarang udah nikah..., cie!"

Aku memutar bola mata, melihat Rani yang berulang kali memunculkan kepalanya dari balik bilik yang memisahkan kami. Sejak tau aku menikah dengan Rizal, tak henti-hentinya Rani menggoda.

"Ran," aku mengeluh.

"Cie-cie yang udah bukan perawan tua lagi." Rani terkikik geli.

"Ish, Ran, Diem! Kalau ketahuan Pak Bos, bisa-bisa kita dikasih gaji lebih awal."

"Aihh, ya lumayan lah kalau gajian awal, bisa gue beliin sepatu yang kemarin gue liat di online Shop."

"Maksudnya kita dipecat, Dodol!"

"Iya-iya, sensi amat pengantin baru," kamudian Rani kembali menjulurkan kepalanya. Bibirnya tersungging lebar. "Btw, gimana malam pertama lo? Servisnya memuaskan nggak? Pastinya mantab dong, secara Rizal kan ganteng, badannya bagus, pasti anunya juga-

Aku beranjak cepat membekap mulut Rani sebelum dia mengucapkan kata yang tidak sepatutnya didengar. Beberapa karyawan lain memperhatiakan aku dan Rani yang terlihat paling berisik sendiri. Aku mengumpat tanpa suara.

"Ehem!" Mbak Shanti, kepala HRD yang terkenal galak dan ketus menegur kami. Aku langsung melepaskan tanganku dari bibir Rani.

"Ada apa ini?" tanyanya tegas. Sorot matanya seperti biasa, tajam dan mengintimidasi.

Aku menusap tengkuk. "Nggak pa-pa, Mbak. Tadi ada keributan kecil sama Rani. Biasa lah, Mbak, dia agak meluber mulutnya, hehehe!"

Tapi sepertinya Mbak Shanti tidak menangkap maksud candaan yang aku lontarkan, terbukti dari sorot matanya yang tidak berubah. "Ini kantor, tempatnya kerja, bukan bercanda. Dan kamu Rani, saya nggak tau apa hubungan kamu sama Bos hingga kamu masih ada disini meski berulang kali menyepelekan kedisiplinan. Lalu kamu Kanin, beberapa hari lalu kamu mengajukan cuti secara mendadak, dan lagi-lagi disetujui karena bantuan Rani," dia melirik Rani sebelum melanjutkan, "Saya harap kamu lebih bisa profesional bekerja setelah ini."

Aku mengangguk. Mbak Shanti hendak berlalu pergi, tapi Rani menjawab, "Sebentar, kok saya agak tersinggung ya. Maksudnya, Mbak nuduh saya ada main sama Bos gitu? Tolong ya, Mbak, jangan nuduh sembarangan. Kebetulan saya udah punya pacar, namanya Tio, catet! Jadi saya nggak mungkin punya hubungan spesial sama Bos selain dia kakak tingkat sekaligus teman baik saya waktu kuliah."

Lalu terjadilah perang argumen antar keduanya. Aku menghembuskan napas, lalu beranjak ke kamar mandi meninggalkan dua perempuan keras kepala yang mulai jadi pusat perhatian itu. setidaknya mereka sudah dewasa, bisa berpikir, dan tidak mungkin menambahkan aksi jambak rambut seusai adu mulut.

Aku membasuh wajah di wastafel. Dari pantulan kaca tertera jelas gurat lelah disana. Terhitung empat hari ini aku bekerja dan lembur sampai malam, memenuhi janjiku pada atasan. Tidak banyak waktu yang tersisa untuk mengurus rumah dan...suamiku.

Yah, meskipun Rizal kerap bertingkah menyebalkan, tapi dia tetap suami yang wajib kupenuhi segala kebutuhanya. Anehnya dia tidak banyak protes meski aku tidak selalu membuatkan sarapan pagi atau makan siang untuknya. Mungkin karena Rizal sudah terbiasa menyiapkan segala sesuatunya sendiri.

Dan ngomong-ngomong soal malam pertama. Aku dan Rizal bahkan belum pernah melakukannya sampai detik ini. Akhir-akhir ini aku pulang malam kisaran jam sepuluh atau lebih. Biasanya Rizal yang menjemput, sampai rumah aku kelelahan dan langsung tidur. Lagi-lagi Rizal tidak protes.

Bukan Perawan Tua! [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang