8. Sah

19.3K 1.2K 20
                                    

Jodoh memang takdir Tuhan. Kamu tidak akan tahu dengan siapa kamu berjodoh di masa depan. Semua masih menjadi rahasiaNya. Disimpan rapat dan dipertemukan di waktu yang tepat.

Bisa saja orang yang saat ini berada di sisimu dan kamu cintai mati-matian bukanlah jodohmu yang asli. Bisa juga orang pernah menolakmu dan mengolok-olokmu di masa lalu adalah jodoh yang ditakdirkan Tuhan untukmu.

Tidak usah jauh-jauh, contohnya saja aku. Siapa sangka bila orang yang dulu tak suka dan begitu enggan menerimaku adalah orang yang saat ini sedang menjabat tangan dan mengucapkan namaku di hadapan penghulu dan ayahku.

"Saya terima nikah dan kawinnya Kanin Alfareza binti Reza Hugroho dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!"

"Sah?"

"Sah!"

"Sah!"

Semua orang menyuarakan nada dan kata yang sama. Aku menyeka air mata yang tidak tahu malunya turun di pipi. Pernikahan ini sungguh sederhana. Hanya mengurus berkas-berkas di KUA untuk pencatatan sipil dan sisanya acara syukuran kecil-kecil di rumah, tapi mampu membuatku terharu.

Untuk apa yang luar biasa bila yang sederhana saja dapat membuat bahagia.

Hatiku menghangat kala melihat wajah-wajah bahagia itu terpampang dimana-mana. Semua perasaan berkecamuk jadi satu, marah, kesal, haru, juga lega. Aku mencubit lengan, memastikan kalau suasana ini bukan mimpi dan aku akan terbangun esok pagi.

Aww, aku meringis pelan. Ini benar-benar nyata.

Aku menoleh, memperhatikan laki-laki yang duduk disampingku. Sudut matanya berair, dia berhambur ke pelukan ibunya sembari beberapa kali menggumamkan kata ayah. Aku mengerti apa yang saat ini tengah dia rasakan. Anak mana yang tidak sedih ketika di hari bahagia ayah yang paling dicinta tidak hadir mendampingi, karena sudah berpulang ke lain dimensi.

Walaupun aku tidak tau pasti apakan Rizal benar-benar bahagia dengan pernikahan kami.

Bunda membisikkan sesuatu ke telinga Rizal sebelum laki-laki yang resmi menjadi suamiku beberapa saat lalu itu melepas pelukan ibunya dan membalas tatapanku.

Aku terpaku sebentar, kemudian perlahan mengambil tangan Rizal dan menempelkannya di keningku. Kembali air mata menetes. Kenapa diri ini cengeng sekali, aku merutuk dalam hati.

Tiba-tiba tanpa terduga Rizal menarik dan mencuim keningku. Hawa panas menjalar ke sekujur tubuh. Aku menahan napas dalam-dalam. Derap jantungku tak menentu. Kembali aku mencubit lenganku. Tapi kali ini salah sasaran, karena Rizal yang mengaduh keskitan.

"Kenapa, Mas?" tanya Fania kaget.

"Tadi digigit semut rang-rang, Fan," kata Rizal sembari melirikku.

Beberapa orang berjingkat. Memeriksa di sekitar tempat duduknya, barangkali ada semut hitam legam yang siap menggigit mereka. Padahal tanpa mereka ketahui aku-lah semut itu sebenarnya.

Sampai disitu momen romantis pun berlalu.

Tetapi, aku kembali dibuat menegang ketika Rizal mengangkat tanganku dan menyematkan cincin platinum bermata satu di jari manisku. Kelopak mataku tertutup, tak kuasa menatap Rizal yang membuat pipiku semakin bersemu.

Begitu cincin tepasang, aku membuka mata. Dengan tangan sedikit gemetar, aku mengambil cincin satu lagi dan menyematkanya di jemari Rizal. Tepuk tangan saling bersahutan riang, lalu perlahan hilang, tergantikan doa-doa yang dipanjatkan pada Tuhan.

*****

Sedikit demi sedikit aku mulai mengenal keluarga Rizal. Mulai dari Fania yang ternyata tidak seburuk yang kukira sampai Mbak Shela, kakak pertama Rizal yang hari ini datang ke rumahku-menyaksikkan ijab kabul-bersama suami dan anak perempuannya yang berusia dua tahun.

Aku mulai akrab dengan Mbak Shela meski tidak terlalu. Kesan pertama, dia punya kebribadian yang ramah dan humoris. Bisa dibilang kakak perempuan Rizal a.k.a-ehem-kakak iparku itu mewarisi sifat Bunda. Aku tidak berniat membandingkan, tapi Mbak Shela dan Fania memang berbeda. Fania juga baik, hanya saja dia agak ketus saat pertemuan pertama, sedangkan Mbak Shela baru kenal saja sudah menganggapku saudara.

"Rizal itu walaupun laki-laki tapi takut banget sama cicak. Hehehe, bisa dibilang pobia," kata Mbak Shela. Benar kan dia seperti Bunda. Suka membuka aib Rizal di depanku.

"Nggak pa-pa, Nin. Kan sekarang kamu istrinya, jadi wajar kalau kamu tau. " Mbak Shela mengerlingkan mata setelah Rizal memprotes ucapnnya. Aku tersenyum geli membayangkan Rizal yang ketakutan hanya karena melihat seekor cicak.

"Ngapain kamu senyum-senyum, mau ngetawain saya?" tanya Rizal.

"Siapa bilang? Nggak usah geer jadi orang!"

"Ehh, ngomong-ngomong saya ini suami kamu loh sekarang. Hormat dan hargai saya!"

Emangnya dia bendera merah putih, suruh kasih hormat, batinku. Aku melengos.

"Bentar-bentar, kok kalian cara ngomongnya gitu?" Mbak Shela yang sedari tadi diam mengamati bertanya.

"Gitu gimana?" tanya Rizal.

"Ya gitu, pake saya-kamu. Formal banget, katanya pacaran sebelumnya. Kok ngomongnya kaku. Emang kayak gitu bahasa kalian sehari-hari, kayak bos sama pegawai aja."

Aku dan Rizal saling berpandangan, bingung harus memberi alasan. kenapa aku bodoh sekali dan lupa kalau ada Mbak Shela disini. Pasti dia curiga pada hubunganku dan Rizal.

"Hehehe, udah kebiasaan, Mbak," jawabku nyengir.

"Jangan dibiasaain dong! Mbak aja sama mas Ridho panggilannya Ammi-Appi. Dulu malah waktu pacaran panggilannya Ayah-Bunda, hahaha!" Mbak Shela, perempuan yang lebih tua tiga tahun dariku itu, tertawa di ujung kalimatnya. Pipinya bersemu merah.

"Kalian itu harus belajar besikap romantis, biar menambah keharmonisan dalan rumah tangga. Nggak masalah alay kalau sama istri atau suami sendiri. Kalau perlu panggilan kalian itu diubah, Bubbly dan Bunny misalnya, hahaha!" Mbak Shela kembali tertawa meledek.

"Apaan sih, Mbak? Norak!" kesal Rizal.

"Hahaha. Uchh, uchhh, pengantin baru marah."

Rizal menatap kakaknya tajam, lalu melenggang pergi.

"Hahaha! Biarin aja, dia emeng kayak gitu orangnya."

Mbak Shela baru akan membuka mulut lagi ketika Fania datang dari arah pintu ruang tamu bersama Kesha-anak Mbak Shela-dalam gendongannya. "Nih loh, Mbak, Kesha daritadi nyariin Mbak melulu," kata Fania sambil menyerahkan Kesha pada ibunya.

Aku mencubiti pipi Kesha yang gembul dan putih. Tangan Kesha bergerak, berusaha menepis tanganku dari pipinya, tapi aku tertawa dan tetap melakukannya. Kesha imut, rambutnya yang ikal di kuncir dua dan diberi penjepit pita. Bocah cilik itu memakai terusan pink salem yang membuatnya semakin menggemaskan. Aku beberapa kali bertanya mengenai Kesha pada Mbak Shela. Setidaknya dengan begitu aku sedikit terbebas dari pembahasan tadi. Hehehe!

"Gemesin banget, sih. Pengen punya satu yang kayak gini."

"Makanya cepet bikinin Mbak keponakan ya, Nin. Biar Kesha ada temennya," kata Mbak Shela kemudian.

Aku merapatkan bibir.

Keluar dari kandang singa, masuk ke kandang beruang, keluar lagi, masuk lagi ke kandang macan, dan berakhir di kandang harimau.

Sial-sial!

*****

Up juga akhirnya. Kanin dan Rizal nikah, yeayy!!

Hehehe.

Tunggu part selanjutnya ya...

By










Bukan Perawan Tua! [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang