Selamat membaca
***
Ting!
Suara pesan masuk terdengar. Aku menyibak selimut yang menutupi seluruh tubuhku lantas mengabil ponsel yang kuletakkan di nakas samping tempat tidur. Aku mengerjapkan mata, berusaha menumpulkan kesadaran. Begitu membuka pesan, sebuah foto yang terdiri sepasang suami istri dan satu anak laki-laki berumur sekitar satu tahunan, terpampang di layar ponsenku.
Sedetik kemudian aku mengubah posisi menjadi bersandar di kepala ranjang, lalu membaca caption foto yang di kirimkan Nadya melalui aplikasi whatsapp tersebut. 'Keluarga bahagia. Raka sekarang udah bisa makan sendiri, lho. Kanin kapan mau nyusul punya anak, biar Raka ada temennya. Kalo bisa perempuan ya, Nin. Biar bisa di jodohin anak kita kalo udah besar, hihihi.'
Aku melongo membaca pesan Nadya, temanku semasa SMA dulu. Dia menanyakan anak dariku? Astaga, menikah saja belum. jangankan punya anak, calon bapaknya saja belum ada. Huh! Nadya kutu kupret, pagi-pagi sudah bikin mood anak orang kacau saja. Aku menatap malas layar ponsel, lalu mengirimkan emot ngantuk sebagai balasan.
'Makanya cepet cari calon, umur udah banyak loh, Nin. Satu bulan lagi kamu ulang tahun yang ke 30. Masih betahkah menjadi jomblo?' tulisnya berserta Emot ngakak sampai mengeluarkan air sebanyak lima.
'Ya, Ya, ya.' balasku, lalu beranjak malas dari tempat tidur menuju dapur. Setelah mencuci muka, aku meminum segalas air putih. Itu sudah menjadi kebiasaanku. Dari kecil Ibu selalu membiasakanku minum air putih di pagi hari, buat kesehatan ginjal katanya.
Di Jakarta aku tinggal sendiri. Di kontrakan kecil yang aku sewa seharga 5 juta per tahun. Cukup mahal, tapi tak apa asal aku nyaman tinggal disini. Aku asli orang Jogja, tinggal dan besar disana, tapi terpaksa merantau ke Ibukota untuk mencari peruntungan.
Cukup beruntung, karena sekarang aku bekerja sebagai karyawan salah satu perusahaan swasta di Jakarta.
Hanya satu kendalaku. Di usiaku yang sudah matang, aku belum juga mrndapat pasangan. memangnya kenpa, jika memang belum di takdirkan berjodoh, aku bisa apa. Sebenarnya aku tidak terlalu mempermasahkanya, tapi kadang orang-orang di sekitarku yang menyebalkan. Sebut saja Nadya, sahabatku yang tinggak di Surabaya itu getol sekali menggodaku. Dia sering mengirimkan foto Raka-anaknya yang masih berusia satu tahun. Barangkali Nadya melakukan itu agar aku tergoda untuk memiliki anak dan suami.
***
Rutinitasku seperti biasa setiap hari, bangun tidur, menyelasaikan pekerjaanku, lalu pulang. Di tambah makan dan minum, tentu saja itu termasuk.
Tapi kali ini aku agak suntuk.
Tadi ibu menelfon dan memberitahu kalau, Salsa, adikku yang empat tahun lebih muda dariku baru saja di lamar kekasihnya dan akan melangsungkan pernikahannya dua bulan lagi, jika direstui. Tidak sulit mendapat restu dari orangtuaku, apalagi calon suami Salsa itu pengusaha meubel yang cukup sukses. Setidaknya penghasilannya cukup untuk membiayai kebutuhan anak dan istrinya jika kelak dia menikah.
Tapi masalahnya bukan di ibu, bapak, Salsa, atau Ferdi-calon suami adikku itu, melaikan masalah itu ada di diriku. Bapak dan ibu ingin aku menikah dulu, baru adikku. Lalu bagaimana, calon suami saja aku tidak punya, sementara kasian Salsa dan Ferdi kalau pernikahannya harus di tunda. Mereka sudah menjalin hubungan selama empat tahun ini.
"Gimana dong, Ran, aku bingung ini."
Keluhku pada Rani, sahabat pertamaku di Jakarta sekaligus rekan sesama pekerja. Saat ini aku dan dia sedang berada di warung makan tempat kami berdua biasa makan siang.Setelah menelan mekanannya Rani menjawab, "Lo ngomong sama orang yang tepat. Lo tau kan apa usaha sampingan gue selama ini?"
"Iyo, aku ngerti. Biro jodoh kamu kan?"
Rani punya usaha sampingan biro jodoh. Dia mempromosikan usahanya itu lewat online. Seperti, blog, facebook, twitter, dan berbagai media sosial lain. Rani merupakan seorang yang humble tak heran dia punya kenalan banyak yang memudahkanya untuk promisi.
"Yap."
"Enggak ah, Ran. Nanti kayak waktu itu lagi. Nggak, aku trauma."
Aku bergidik mengingat kejadian enam bulan lalu. Saat itu aku iseng-iseng ikut acara biro jodoh di tempat Rani. Memang benar aku di kenalkan dengan laki-laki dan cukup tampan menurutku.
Tapi, ternyata laki-laki yang bertemu denganku di kafe itu sudah punya istri. Parahnya, istrinya itu membuntuti suaminya dan menuduhku sebagai pelakor a.k.a perebut suami orang. Aku yang notabenya nggak tau apa-apa cuma bisa pasrah di permalukan di depan orang banyak.
Rani malah tertawa terbahak-bahak. "Yang waktu itu gue emang kecolongan, tapi klien gue yang kali ini bener-bener makyus, Nin. Dia temen gue, gue udah lumayan akrab kok. Orangnya baik. Kalo aja gue belum punya Tio, udah gue pacarin sendiri cowok itu."
"Alah, kamu mah emang ngomongnya layak gitu. Sok meyakinkan. Aku sekarang udah gak mudah percaya saya mulut manismu itu." kataku sambil mengigit sate, menu makanku siang ini.
Rani menatapku lurus, matanya melotot sekaan ucapannya benar-benar serius. "Bener, Nin, bener. Gue nggak bohong. Dan.. "
"Apa?" tanyaku agak penasaran.
"Dia berasal dari Jogja sama kayak lo."
"Ah yang bener."
"Gue enggak mungkin bohong sama lo, Nin. Lo sahabat gue, mana mungkin gue tega njerumusin lo."
"Lah yang waktu itu?"
Rani berdecak. "Gue nggak sengaja, Nin. Abisnya doi ngakunya singel. Mana gue tau ternyata istrinya segalak jin tomang."
"Namanya siapa?"
"Hah?" Rani mengerutkan kening. "Yang mana?"
"Klienmu yang sekarang lah."
"Ohh," Rani mengagguk-angguk. "Namanya Rizal."
Rizal? Sepertinya aku nggak asing sama nama itu. Tapi aku lupa.
"Apa aku kenal sama si Rizal itu?"
"Mana gue tau."
"Kok aku agak takut ya, Ran. Nanti ternyata orang itu penjahat atau penculik kayak di TV itu gimana?"
Bola mata Rani berputar malas. "Kan udah gue bilang dia temen gue. Sangka lo gue temenan sama penjahat."
"Bener!"
"Iya, Kanin sayang."
"Yakin?"
"Hm."
Aku mendesah pasrah, sepertinya tidak ada cara lain.
***
NEXT

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Perawan Tua! [selesai]
Romance[17+] (Terbit) Aku adalah perempuan matang berusia 30 tahun. Dan belum menikah. Tapi aku merasa tidak apa-apa dan santai dengan kesendirianku. Bagiku jodoh sudah ada yang mengatur, dan aku hanya tinggal menunggu waktu kapan jodoh itu datang padaku...