9. Dasar laki-laki

21.3K 1.1K 23
                                    

Aku memperhatikan laki-laki yang terlelap disampingku. Tidurnya nampak pulas, dengkuran halus keluar dari bibirnya yang sedikit terbuka.

Wajahnya begitu damai, tidak seperti saat membuka mata, menyebalkan dan menguras kesabaran. Aku menggeser pososiku mendekat, mengambil tissue, lalu mengelap bulir-bulir keringat yang jatuh di sekitar pelipisnya. Sepertinya Rizal sangat kelelahan. Aku kembali menggeser posisiku menjauh, tak mau Rizal bangun dan melihatku begitu perhatian padanya.

Aku merenung di tempat. Masih kurang percaya kalau sekarang aku dan Rizal merupakan sepasang suami-istri. Meskipun aku sudah mencubiti lenganku berkali-kali tak akan merubah kalau laki-laki yang tertidur pulas ini adalah suamiku. Kami sah melakukan apapun, termasuk...,

Aku menelan ludah cepat-cepat.

Ya, kami bebas melakukan hubungan yang memang seharusnya dilakukan oleh suami-istri setelah menikah,

Tapi?

Aku kembali menoleh. Rizal masih tidur, namun tubuhnya bergerak kecil mendekatiku, mencari posisi nyaman. Aku membiarkanya dan berharap dia tidak terbangun karena mendengar debaran jantungku. Tangan Rizal mulai melingkar perutku tanpa dia sadari, aku menggigit bibir kuat-kuat. Posisiku yang berada di pojok, tidak memungkinkanku untuk menghindar.

Aku gugup.

Eitss, jangan berpikir macam-macam dulu, saat ini aku dan Rizal tidak sedang berada di kamar, melainkan duduk di bangku pesawat dalam perjalanan kembali ke Jakarta.

Padahal ini baru lima belas menit perjalanan, tapi Rizal sudah tidur tanpa sadar sekitar. Posisi Rizal yang memelukku dari samping, membuat beberapa penumpang lain sesekali menatap kami sambil berbisik-bisik. Norak, mungkin begitu pikirnya, karena mengumbar kemesraan seperti tidak punya tempat privasi saja.

Aku berusaha mendorong tubuh Rizal menjauh sambil berbisik ke telingannya. Biar saja dia bangun, aku sudah tidak peduli.

"Psst, Zal, Zal... "

Rizal menggeliat kecil tapi tidak merubah posisinya.

"Zal... "

"Hm," gumamnya.

"Geseran!" bisikku tertahan.

"Hm."

"Ishh, Zal!"

"Ck, apaan sih?" tanyanya tanpa membuka mata.

"Geseran, ih! Malu diliatin orang."

"Ngantuk."

"Zal!"

"Hm."

Bukannya bergeser, Rizal malah semakin mempererat pelukannya. Karena kesal, kudorong tubuhnya kuat hingga dia hampir terjungkal dari tempat duduk. Aku membekap mulut, kini kami semakin menjadi pusat perhatian.

Rizal tersadar penuh, lalu menatapku geram. Aku meringis pelan.

"Apa-apaan sih, Nin?!"

Aku mengusap rambutku kebelakang telinga, lalu menarik tubuh Rizal dan berusaha menenangkannya. Aku berkata lirih sambil menceritakan apa yang terjadi.

"Tapi nggak perlu dorong juga kali. Kaget. Tadi dalam mimpi, kirain aku jatuh dari pohon kelapa," ujarnya kesal.

Ya, benar, sejak diprotes Mbak Shela waktu itu, aku dan Rizal sepakat merubah cara panggil dari saya-kamu menjadi aku-kamu. Agar lebih akrab kata Rizal, juga agar tidak terlihat kaku di depan orangtua.

"Iya-iya maaf, refleks tadi. Abisnya kamu nggak bangun-bangun."

"Ngantuk! Aku kira kamu guling, makanya aku peluk," katanya sambil mengucek mata.

Bukan Perawan Tua! [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang