3. Apakah Keputusanku ini benar?

21.4K 1.1K 22
                                    


****

“Pokoknya aku nggak mau, Ran.”

Seusai jam kerja, aku mengajak Rani ke kontarakanku dan menceritakan semuanya. Mengenai pertemuanku dan Rizal beberapa hari lalu di kafe. Rani tak berhenti terbahak dan mengatakan itu kebetulan yang sangat pas. Dia juga bilang mungkin saja aku dan Rizal di takdirkan untuk melupakan masa lalu dan berjodoh di masa depan.

Beberapa hari lalu pertemuanku kembali denga Rizal tidak bisa dibilang berjalan lancar. Setelah aku mengenali Rizal sebagai orang yang pernah mempermalukanku di masa lalu, aku jadi malas bertemu lagi dengannya.

Aku berusaha meyakinkan Rizal kalau aku adalah perempuan yang pernah dipermalukannya di depan umum saat SMA, Rizal malah tertawa sambil berkata, “ Perempuan yang pernah saya tolak itu banyak. Jadi saya nggak mungkin ingat satu per satu wajah perempuan kurang beruntung itu.”

Sombong. Kata pertama yang terlintas di otakku setelah mendengar jawaban Rizal. Dari dulu sampai sekarang dia tidak berubah. Tetap Rizal yang angkuh dan menganggap dia laki-laki paling tampan sejagat raya. Memangnya ada laki-laki tampan dan mapan yang repot-repot cari jodoh dan minta di comblangkan. Aneh.

“Kalau kamu emang laki-laki bekarisma dan digilai perempuan, kenapa kamu malah mintak Rani cariin jodoh buat kamu?” tanyaku telak.

Rizal diam setelah aku tanya begitu. Dia menghela napas, tatapan matanya tampak menerawang. Raut mukanya juga berubah. Satu menit, dua menit, seakan mencari jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaanku.

“Kenapa diam? Oh ya saya tau, pasti kenyataanya nggak ada perempuan yang mau sama—

“Karena saya nggak butuh pacar ataupun calon istri beneran. Saya cuma butuh perempuan yang mau jadi pasangan pura-pura saya.” Potongnya cepat.

Aku menatap Rizal dengan pandangan aneh. Antara bingung dan ingin tertawa. Pasangan pura-pura katanya? Memang dia pikir ini dunia sinetron atau film. Orang mencari pasangan beneran. Eh, ini manusia satu malah cari pasangan bohongan. Baut apa coba?

“Kamu kalau jadi pelawak mungkin lucu,” jawabku sambil menahan tawa.

“Saya serius!”

“Kalau serius harusnya cari calon istri, bukannya pacar bohongan.”

“Saya cuma butuh perempuan buat di ajak ke pesta pernikahan mantan pacar saya. Jadi pacar pura-pura maksudnya. Cuma itu. saya malas terikat lagi dengan makhluk sejenis perempuan.”

Sekarang aku benar-benar tertawa. Jadi laki-laki ini sedang patah hati di tinggal nikah mantan pacarnya. Astaga, sampai mau bawa pacar bohongan segala. Sangkin frustasinya atau bagaimana.

“Kenapa ketawa? Memangnya ada yang lucu?”

Aku menutup mulutku dengan tangan, lalu menggeleng.

“Atau begini saja, kita lupakan masa lalu dan berteman. Saya punya penawaran, gimana kalau kamu nemenin saya ke nikahan mantan saya? Jadi pacar pura-pura. Tenang, saya akan bayar kamu, gimana?”

Aku sontak menghentikan tawa. Maksud Rizal apa berkata seperti itu. tak butuh waktu lama, aku berdiri dari kursi. Sebelum pergi aku tatap Rizal tajam dan berkata, “Tiga belas tahun lalu kamu rendahkan harga diri saya di depan umum, dan sekarang kamu rendahkan harga diri saya dengan uang?! Kamu pikir saya perempuan sewaan. Meskipun itu cuma nemenin kamu ke acara nikahan. Saya nggak sudi!”

“Hey!”

Aku menoleh cepat. “Apa?”

“Tas kamu ketinggalan.”

Aku menepuk jidat. Tergesa-gesa aku mengambil tas, lalu pergi tanpa menoleh lagi.

Aku menandaskan satu gelas air putih di meja. Menceritakan apa yang dikatakan Rizal sukses membuatku kesal sekaligus lelah. Rani yang sepertinya tidak mengerti kekesalanku hanya geleng-geleng kepala.

Bukan Perawan Tua! [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang