Kehilangan

2.3K 78 4
  • Didedikasikan kepada Danu Prasetyo
                                    

        Saat sedang memancing hayalan mereka, terdengar suara tawa dari belakang yang sangat bahagia. Sontak semuanya menengok ke arah belakang. Putri Es dan Ricky Pangeran Negri Angin. Entah apa yang mereka bicarakan, itu membuat Theresa tertawa terbahak-bahak dan Ricky tertunduk malu.

          Wajah ceria yang dulu sempat aku lihat sebelum dia tahu aku pangeran. Sedikit cemburu, karena dialah satu-satunya wanita yang benci (karena kalau gak suka aja, tidak mungkin karena melihat wajahku moodnya langsung hancur. Bukan sinis lagi, tapi langsung pergi) padaku. Dan saat dia memergokki aku sedang menatapnya, senyum dan tawa bahagianya menguap seketika. Bahkan Ricky yang sedang melucupun tidak di hiraukannya. Dia dengan cepat memalingkan wajahnya menatap langit.

          Rumahku dari sekolah agak jauh, karena itu kami ke halte untuk menunggu mobil pribadiku datang. Setelah 15 menit menunggu, limosin putih milikku akhirnya tiba. Semuanya telah masuk, kecuali Putri Es. Aku menyadarinya saat mobil berjarak 10 meter dari halte tadi. Dengan cepat aku turun dan berlari mencarinya. Jika ditanya, aku bisa berdalih ‘karena aku ketua grup’. Dan sampai di halte, aku melihat dia sedang bertelepon dengan seseorang, wajahnya sangat muram, seperti mendengar berita buruk.

          Aku ingin memanggilnya, tetapi mulutku bisu. Dia berjalan ke tengah-tengah jalan, seperti ingin bunuh diri. Aku pikir ‘tidak mungkin dia bunuh diri. Dia kan bukan orang yang segila itu.’ Ternyata pikiranku salah. Dia benar-benar akan bunuh diri. Masih tidak percaya dan kaget, lalu tanpa perintah, kakiku berlari untuk menyelamatkannya. Walau dia membenciku, aku masih tidak tahu kenapa.’

          Seharusnya, aku membiarkan dia mati, itu lebih baik bagiku. Karena hanya dia satu-satunya wanita yang membenciku. Tetapi rasa kemanusiaanku lebih tinggi dari ego ku. Dengan cepat aku berlari dan menarik tangannya kepelukanku. Dan langsung membawanya ke pinggir trotoar. Dia mendongakkan wajahnya dan menatap wajahku. Matanya sangat dekat, itu pertama kalinya aku dengannya sedekat ini.

          Aku bisa merasakan matanya menyelidiki hati dan otakku. Rasanya dia masuk dan membaca dengan leluasa isi otakku. Selama 1 menit dia meatapku dalam pelukanku dan tidak keberatan –dipeluk–. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Sangat keras. Mungkin dia mendengarnya juga. Dia menunduk dan menyenderkan kepalanya ke dada yang tegap dan cukup bidang milikku. Seakan-akan beban fikirannya dia tumpahkan ke dadaku.

          “Jika, alasan lo menolong gua karena lo ketua grup, aku berterima kasih untuk itu.” Ucap Theresa dingin.

          “Sebagai balasannya, tolong jawab pertanyaan gua dengan jujur.” Ucapku sambil menatap matanya, menyelidiki hati dan fikirannya. Dan hasilnya nihil. Dia seperti mempunyai berlapis-lapis benteng di wajah bahkan matanya. Satu hal yang sempat aku lihat di matanya, dia menderita.

          “Tergantung dari pertanyaan lo.” Raut wajah Theresa tenang tetapi hawa sekitar tubuhnya sangat dingin dan mematikan.

          “Kenapa saat pertama kali tahu gua pangeran, lo benci sama gua? Kenapa cuman gua? Pas tau Ricky sama Edward pangeran juga, elo masih bisa main dan bercanda bareng. Apa salah gua sampai elo segitu bencinya ngeliat gua?” mendengar pertanyaan itu, tubuh Theresa menegang. Matanya terbelalak, sangat terkejut. Seperti akan ada bom waktu yang meledak jika dia menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba dia tertunduk sebentar, anehnya dia tersenyum kepadaku.

          “Maaf, pangeran selatan. Itu rahasia.” Bukan senyum manis atau sopan santun. Senyuman ini mempunyai arti yang sangat mendalam. Seakan-akan ini adalah semua kebenciannya. –mungkin– Senyuman selamat tinggal.

My Sweetest Experience LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang