Akhir Perjuangan Cinta Tristan

1K 43 0
                                    

        3 hari kemudian, Cindy di eksekusi. Dia di buang ke Negri Petir. 3 hari kemudian, Theresa menyempurnakan pemerintahan kedalam dan kebutuhan masyarakat negrinya yang lain. Dan perjanjian damai dengan Negri Selatan.

        Hari ke 7. Hari ini adalah hari yang di janjikan Theresa untuk memberikan jawaban padaku. Itu yang dia katakan pada saat setelah rapat perdamaian dengan negri ku. Karean pengharapan itu, aku dibuat tidak bisa tidur karena gelisah.

        Aku sudah datang lebih awal. Janji Theresa adalah jam 9.00. Karena gelisah setengah mati, aku datang 30 menit lebih awal. Aku menunggunya di taman kerajaan. Sesungguhnya, aku ingin menghias taman ini sebagus mungkin. Sekali seumur hidup. Tapi, Theresa melarang keras, karena jika saat itu dia menolakku, itu akan sangat menyakitkan.

        Sudah jam 9, tapi belum muncul juga. Mungkin dia telat. Ucapku dalam hati. Aku sempat pede karena di puji adik-adikku sangat tampan. Menggunakan baju kemeja biru tua lengan panjang yang digulung sampai siku dan celana panjang denim dengan sepatu pantofel putih. Aku sempat berfikir dia akan takluk padaku.

        Aku menunggu, 1 jam berlalu, 2 jam berlalu, dia tidak muncul juga, akhirnya 3 jam berlalu. Tidak ada tanda-tanda dia akan datang. Hatiku hancur seketika. Sakit sekali dibuatnya.

        Setangkai bunga mawar merah yang aku bawa, aku remas dan ku buang ke tanah. Ingin menginjak bunga itu untuk melampiaskan emosiku. Tapi saat aku ingin menginjaknya, bunga itu seperti terbuat dari baja. Keras sekali. Lalu aku mengangkat kakiku untuk memastikan apa yang aku injak.

        Sebelum aku melihatnya, tangan putih dan lentik mengambilnya. Aku ingin marah karena dia menggangguku. Tapi, saat aku lihat wajahnya, kemarahan ku menguap seketika. Theresa, orang yang aku tunggu dari 3 jam yang lalu. Mata birunya menatap mataku lekat-lekat. Aku baru menyadari, ternyata matanya punya daya tarik sendiri. Menurutku, itu terlihat sangat indah.

        Dia mengangkat mawar merah -yang ternyata sudah di lindungi kristal esnya- dengan sangat hati-hati. Lalu menatap kagum dengan bunga itu. Dia memeganginya layaknya itu adalah hatinya.

        Aku memandanginya dari kepala sampai ujung kaki. Dia tampak cantik dan dewasa kali ini. Dengan baju terusan berwarna hitam dan sepatu wedges bertali yang sangat sexy di kaki jenjangnya. Aku terpesona, speecless.

        Dia tersenyum tulus kepadaku. Seketika, kepercayaan diriku menguap, pujian adikku hilang entah kemana. Aku yakin, wajahku sekaran memerah. Dan dalam sejarah hidupku, baru kali ini aku di buat sangat grogi. Bahkan, senyum Cindy dulu tidak membuatku se-grogi ini.

        “Elo benar-benar ingin menghancurkan mawar ini ya? Sampai kristal gua retak.” Kata Theresa sambil mengelus retakan di kristal esnya. Aku tidak menanggapi. “Padahal mawar ini cantik lho, sayang kalau di hancurkan.” Lanjut Theresa.

        “Lebih cantik yang memeganggnya sekarang kok.” Pujiku spontan.

        “Raja Vampire bermulut manis tapi mudah menyerah.” Hina Theresa.

     “Siapapun pasti kesal karena di permainkan! Bagaimana bisa lo membiarkan gua menunggu selama 3JAM??” bentakku ke Theresa.

        PLAK!! Tamparan keras dari Theresa mengenai pipi kiri Tristan.

 

        “1 hal yang perlu elo tahu. Suka atau tidak, gua tidak suka teriakan apalagi di bentak.” Kata Theresa dingin. “Dan gua minta maaf kalau sudah mengerjai lo selama 3 jam.” Lanjut Theresa.

        Syok. Itu perasaanku sekarang. Antara sakit hati, kaget dan takut bercampur jadi satu.

        “Memangnya, apa salah gua sampai elo mengerjai gua seperti itu?” tanya Tristan susah payah dan menjaga suaranya –takut di tampar lagi-.

        “Ibu gua selalu bilang, gua adalah bunga mawar. Kecantikan yang menakutkan. Wajah untuk menarik lawan dan duri untuk membunuhnya.” Kata Theresa.

        “Lalu? Gua tidak mengerti.” Kata Tristan bingung dengan perumpamaan Theresa.

        “Gua besar bukan di situasi sepertimu. Jalan hidupku dulu keras. Dan sampai sekarang, gua tidak mudah mempercayai orang lain. Gua harus menngetesnya berkali-kali untuk meyakini diri gua sendiri bahwa dia itu teman bukan musuh.” Cerita Theresa.

        “Keputusan lo?” tanya Tristan final.

        “Maaf, gua tidak bisa..” kata Theresa –sengaja- terputus. Dan benar saja, wajah Tristan langsung mengatakan bahwa dia sakit hati. Theresa menatapnya ragu, dan akhirnya dia menyerah karena wajah Tristan benar-benar ingin membuatnya tertawa.

        “Menolak lo.” Lanjut Theresa setelah lama berfikir.

        “Apa? Maksudlo?” tanya Tristan bingung.

        “Fikirkan sendri. Gua malu mengulangnya.” Kata Theresa sambil membuang muka.

        “Benarkah? Sungguh?!?! Ini bukan mimpi kan?!” tanya Tristan girang.

        “Ini mimpi.” Kata Theresa kesal.

        CUP! Ciuman hangat dari Tristan.

 

        “Terima kasih.” Kata Tristan gembira sambil memeluk erat Theresa.

        “Se..sak.” Kata Theresa terbata-bata.

        “Ah. Maaf.” Sambil melepaskan pelukannya, tapi tersirat dia sangat senang.

        “Maaf, gua harus mengetesmu seperti tadi. Banyak pria yang menembak gua, tapi mudah menyerah. Bahkan 35 menit adalah yang terlama. Elo rekor baru gua.” Puji Theresa.

        “Tidakkah lo berfikir, elo terlalu jahat?!” tanya Tristan.

        “Iih! Gua kan udah minta maaf!” kata Theresa kesal.

       “Sebagai hukumannya, suatu saat elo harus menjadi ratu negri ini.” Kata Tristan keceplosan.

       “Suatu saat kan?” pancing Theresa.

        “Hey! Akan gua bunuh semua lalat yang mendekati lo!” kata Tristan serius.

        “Haha, iya-iya. Gua mau kok. Asal perasaan lo pada gua tidak berubah.” Kata Theresa sambil tersenyum.

        “Lo tahu. Vampire hanya bisa mencintai satu orang seumur hidupnya.” Kata Tristan jujur sambil memeluk Theresa mesra.

        “Ah, ngomong-ngomong soal vampire. Tunjukkan wajahmu yang asli dong!” rajuk Theresa.

        “’Mu’?” tanya Tristan kaget.

        “Gak boleh ya?” tanya Theresa malu.

        “Gak juga. Aku seneng kok” kta Tristan lebay.

        “Mana wajahnya?” tagih Theresa

        “Tidak. Nanti kamu memujaku dengan wajahku.” Kata Tristan serius

        “Terlalu pede.” Hina Theresa.

        “Oke, untuk hadiah karena aku senang.” Kata Tristan.

My Sweetest Experience LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang