EPISODE 10

1.4K 88 8
                                    


Hari ini Ibu, ayah dan ayah Kotoko akan pergi ke acara pernikahan temannya di Kyushu. Waktu berlalu cukup cepat dan sekarang sudah masuk musim dingin saja. Rasa-rasanya aku harus mempersiapkan banyak hal karena tinggal sendiri.
“Pelayan!”
“Ya!” hari ini seperti biasanya aku bekerja di restoran. Pelanggan sedang banyak dan masing-masing dari kami cukup sibuk. Belum apa-apa aku mulai merasa lelah. Hingga menjelang, malam tiba-tiba seseorang masuk dengan berteriak memanggil namaku.
“IRIE NAOKI!” Sontak aku mendongak. Kinoshuke? Sedang apa dia? Huh menyebalkan. Apa lagi sekarang. “Apa yang membuatmu datang ke sini?” tanyaku sebal.
Dengan kehabisan nafas ia menjawab,” Kau harus ikut aku.”
“Hah?”
“Adikmu sakit. Dia dan Kotoko sedang ada di rumah sakit sekarang,” jelasnya. Yuuki sakit? Kemudian dengan segera aku berbicara pada pekerja di dapur. “ Maaf, aku ijin keluar karena ada urusan.” Ia mengijinkan kemudian aku dan Kinoshuke segera menuju rumah sakit tempat Yuuki di rawat. Saat itu pikiranku sangat kacau karena cemas. Bagaimana bisa Yuuki bisa masuk rumah sakit? Apa dia baik-baik saja? Ibu dan ayah sedang pergi. Kotoko? Bagaimana dengan dia? Dia pasti panik sekali.
Sesampainya di sana Kotoko nampak lega ketika aku masuk ke dalam kamar, tempat Yuuki di rawat .
“Irie-kun!” serunya lega. Ia segera menghampiriku.
“Syukurlah kamu datang. Yuki harus dioperasi tapi harus ada persetujuan dari pihak keluarga,” jelasnya panik.
“Aku yang akan mengurusnya. Jadi jangan kawatir,” dengan segera aku menghampiri Yuuki yang terbaring kesakitan.
“Sekarang sudah tidak apa-apa. Maaf sudah membuatmu menunggu lama,” aku mencoba menenangkan Yuuki. Ia nampak menahan sakit dan matanya berkaca-kaca. “Apakah aku akan mati?” tanyanya.
“Tidak, tentu saja tidak,” kataku dengan senyum kecil membuat Yuuki tenang, “ Hanya operasi kecil. Tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Aku yakin kamu bisa melakukannya.”
Yuuki mengangguk dan tersenyum. Aku membalas senyumnya meyakinkan jika operasi nanti bukan apa-apa.
“Kami sudah siap,” kata seorang dokter sembari berlalu menghampiri kami. “ Jadi kami akan memindahkannya ke ruang operasi,” lanjutnya.  Ketika Yuuki di bawa ke ruang operasi, Kotoko nampak bingung dan cemas. Sejujurnya juga sama cemasnya hanya saja aku harus tenang, karena jika tidak Yuuki maupun Kotoko akan lebih cemas lagi.
Kamipun menunggu di ruang tunggu.
“Sekarang kamu sudah bisa tenang, Kotoko,” kata Kinoshuke menghela nafas lega. “Aku harus pergi karena hanya Odawara-san yang bekerja di restoran. Dia pasti sangat sibuk.”
“ Terima kasih banyak. Bilang pada Odawara-san jika aku sangat berterima kasih juga,” jawab Kotoko tersenyum lega.
“Aku senang semua sudah beres. Kalau begitu sampai jumpa,” pamit Kinoshuke.
Sejujurnya aku tidak suka melihat ini. Melihat Kotoko menatap dan tersenyum lega padanya. Namun dia sudah sangat baik mau mencariku hingga mengorbankan pekerjaanya. Bagaimapun aku berhutang budi padanya.
“Ikezawa.” Panggilku saat ia hendak pergi. Ia berbalik dan menatapku bingung. Aku menghampiri dirinya dan menunduk. “ Terima kasih banyak.”
Kinoshuke menghela nafas, “ Bukankah kau sedikit egois?”
Kata-kata tersebut sangat menusukku. Rasa bersalah yang sedaritadi aku rasakan kembali memuncak hingga membuat kepalaku terasa penuh.
“Aku tidak peduli apa yang kau mau dengan memutuskan untuk tinggal sendiri. Tapi setidaknya kau beritahu keluargamu agar bisa menghubungimu. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan Yuuki. Aku datang dari Osaka ke Tokyo sendirian. Jadi aku mengerti kenapa kau ingin tinggal sendiri. Tapi jika kejadian ini terjadi, bukan hanya kau yang kesakitan tapi semua orang  juga. Jadi sudah terlambat jika itu terjadi.” Tentu saja kata-kata Kinoshuke sangat menohok. Aku memang tidak memberitahukan tempat tinggalku maupun no handphoneku kepada Kotoko dan orang lain, karena bagiku itu sangat merepotkan.
“Seseorang tidak dapat hidup sendiri. Mana yang lebih penting, perasaanmu atau perasaan orang disekitarmu?” tanyanya. Kali ini aku sama sekali tidak bisa membantah. Meski benci mengakuinya, apa yang ia katakan benar. Karena ke egoisanku, aku membuat orang lain repot dan terluka. Seandainya aku tidak pindah,seandainya aku lebih memperhatikan Yuuki. Pastinya, ini tidak akan terjadi. Aku merasa sangat marah pada diriku sendiri.
“Irie-kun?” panggil Kotoko setelah kami terdiam cukup lama. Aku tidak tau harus berkata apa. Aku sangat kalut dan malu.
“Ah aku lupa menghubungi bibi!” serunya panik, “Oh tidak,  banyak panggilan tidak terjawab.”
“Kamu tahu kita sedang ada di rumah sakit bukan?” kataku mengingatkan.
“Oh iya,” katanya kemudian berlalu pergi.
Melihat kepergiannya aku sadar. Apa yang aku lakukan, dan kegoisanku pada keluargaku membuatku sangat buruk. Selama ini tak pernah sekalipun aku menyesali apapun yang aku perbuat dan yakini. Hanya karena aku ingin mencari apa yang ingin aku lakukan, aku melupakan orang-orang di sekitarku. Tanpa memperdulikan perasaan mereka aku terus maju ke depan tanpa melihat ke belakang. Bodoh. Sungguh bodoh.
Aku melihat ke arah Kotoko pergi. Benar, Kotoko.  Ia pasti lebih kalut daripada aku. Mengalami hal seperti ini, ia pasti sangat takut dan sedih. Terlibih lagi, jika tidak ada dia, jika ia tidak bersama Yuuki saat itu pasti semua terlambat.
Akupun melangkah keluar mengukuti Kotoko. Ia sedang menghubungi ibu dan nampaknya tidak berjalan dengan  baik. Ia nampak sangat bingung. Melihatnya seperti itu aku tidak tahan ingin memeluknya. Akupun menarik kepalanya ke dadaku.
“Terima kasih, Kotoko,” kataku tulus. Ia membeku dan perlahan ia mulai menangis.
“aku sangat takut,” katanya. Aku tahu, aku juga. Ia berbalik dan memelukku. Ia mulai menangis lebih keras. “ Irie-kun, aku sangat takut,” isaknya. Maaf, maafkan kebodohan dan ke egoisanku hingga kamu mengalami ini.
“Sekarang sudah tidak apa-apa,” hanya itu yang dapat aku katakan. Aku membiarkan ia menangis di pelukanku. Seandainya aku bisa melepaskan emosiku, meski memalukan, rasanya senang jika bisa menangis. Namun emosi yang meluap ini hanya bisa aku tahan. Maafkan aku, Kotoko, Yuuki.
Kemudian ketika operasi selesai dokter berkata bahwa Yuuki akan di pindahkan ke ruang rawat. Kami tidak dapat di ijinkan untuk menginap maka kami diminta untuk pulang dan kembali besok.
“Kemudian aku sangat bangga dengan gadis  tadi. Ia membuat keputusan dengan cepat dengan membawa adikmu kemari. Ini memang bukan penyakit serius jika dirawat lebih awal, tapi kebanyakan orang akan mengira jika ini hanyalah penyakit sakit perut biasa. Jika terlalu lama dibiarakan bisa berakibat fatal. Terutama jika ini terjadi kepada anak kecil. Adikmu sangat beruntung. Kau harus berterima kasih kepada gadis itu.”
Setelah mendengar penjelasan dokter aku berpikir banyak hal. Perasaan terkejut, senang, bangga, aneh dan tidak nyaman membuatku terdiam cukup lama. Terkejut dengan kesigapan Kotoko dalam mengambil keputusan, senang karena dia telah membantu adikku, bangga karena dia sangat berjasa, aneh dan tidak nyaman melihat ia berperan penting dalam hidupku sekarang.
“ Bagaimana?” tanya Kotoko ketika aku keluar dari ruang dokter.
“Tidak apa-apa. Yuuki akan di pindahkan ke ruang rawat besok pagi.”
“ Kalau begitu aku akan menginap di sini…”
“Itu tidak boleh,” kataku dan Kotoko berbalik menatapku bingung, “Tapi…”
“Serahkan semua pada dokter.Yuuki sementara akan di rawat di rumah sakit. Lagi pula kamu juga butuh istirahat. Ayo, aku akan mengantarmu,” kataku sembari berlalu pergi.
Ketika keluar, salju turun dan udara terasa sangat dingin. Nampaknya kereta api terakhir juga sudah tidak ada melihat waktu yang sudah sangat larut dan juga tidak ada taksi saat turun hujan salju.
“Bagaimana ini, tidak ada nampak mobil satupun,” ujar Kotoko panik.
“Bagaimana kalau kau datang ke tempatku?” tawarku.
“Hah?” katanya terkejut.
“Hanya 10 menit berjalan dari sini,” jelasku kemudian berlalu mendahului Kotoko. Ya, dia pasti mengikutiku. Ia tidak bisa menolak dan juga aku tidak memberinya pilihan lain. Kemudian dengan berlari mengekor di belakangku ia meributkan masalah payung. Kamipun membeli sepasang saat perjalanan pulang ke apartemenku.
Sesampainya di apatermen Kotoko nampak mengagumi tempat di mana aku tinggal. Ia sempat melihat sekeliling sebelum aku bertanya, “Apa yang kau lakukan?”
Sedikit aneh dan tidak nyaman menyadari ada orang lain yang masuk ke apartemnku. Namun, entah kenapa aku merasa senang dan gugup jika itu adalah kau ,Kotoko.
“Apakah Matsumoto-san pernah datang ke sini?” tanyanya denga nada murung.
“Tidak, kau yang pertama,” dan satu-satunya. Hmm… mengingat kita berdua di sini  dan melihat ia yang nampak senang , entah kenapa aku ingin menggodanya.
“Apa kau merasa kedinginan? Mau mandi?” tanyaku. Ia langsung melotot terkejut dan panik.
“T-tidak apa-apa. Irie-kun saja duluan,” katanya gelagapan.
“Aku mandi setelah kau.”
“T-tidak, inikan tempatmu.” Katanya masih gelagapan. Dia menggemaskan sekali. Melihatnya panik ia pasti berpikiran yang aneh-aneh. “ Oh aku harus menghubungi bibi. Bilang kalau operasinya lancar dan juga tidak ada yang bisa menginap di rumah sakit. Kalu tidak mereka akan menyusul kita ke rumah sakit, benarkan? Karena itu Irie-kun duluan silahkan,” ia berbicara dengan cepat dan sedikit gelagapan. Ia mencoba mencari-cari alasan. Sikapnya ini sungguh lucu. Ya jika itu mau dia, baiklah. Akupun meninggalkannya untuk membersihkan diri. Hari ini rasanya cukup melelahkan.
Selesai mandi aku melihat Kotoko duduk di karpet membelakangi pintu. Heran tapi biarlah.
“Ini kau bisa ganti pakai bajuku,” kataku sembari memberikan sepasang baju untuknya. Ia nampak begitu kikuk. Bukan berarti aku merasa biasa saja. Ini sangat berbeda dengan di rumah saat kami  tinggal bersama. Canggung sekali, tentu saja. Aku harus mengalihkan perhatianku daripada memikirkan dia yang mandi di apartemenku. Ah handuk, aku lupa memberitahunya.
“Handuknya ada di dalam. kamu bisa memakainya.” Kataku setelah mengetuk pintu.
“i-iya,” sahutnya.
Ketika aku hendak kembali aku mendengar suara keras dari dalam kamar mandi. Sedang apa dia di sana? Aneh-aneh saja. Ok, aku tidak boleh memikirkan apa yang ia lakukan di dalam. Fokus pada buku.
Selesai ia mandi, kamupun mulai terdiam canggung.
“Aku akan tidur,” Kataku.
“Ya, aku bisa tidur di bawah dan kau di kasur.”
Mendengar itu aku tidak tahan menggodanya, “ benar, memang seharusnya begitu.”
Ia langsung cemberut, “Harusnya kau mengatakan kalau aku akan tidur di bawah, jadi kenapa kau tidak pakai kasur saja?”
Tentu saja, mana tatakaramaku, “Hanya bercanda. Kau bisa tidur di kasur.”
Ia mendadak panik, “Aku jadi merasa tidak enak.”
“Kau bisa tidur di kasur. Ada apa lagi? Ayo cepat tidur.” Selagi aku manata selimut dan karpet di bawah, Kotoko masih saja terdiam di tempat seperti idiot. “Selamat malam.”
Kemudian aku mematikan lampu. Ia segera naik ke kasurku. Aku berbaring di atas karpet dan menyelimuti diriku dengan selimut. Sial, rasanya masih tetap dingin. Setidaknya ini lebih baik daripada harus tidur seranjang dengannya. Memikirkan itu saja membuatku merasa aneh dan gelisah.
“Hei.” Panggil Kotoko tiba-tiba.
“Ada apa?”
“Boleh aku nyalakan lampu kecil,” pintanya. Ck, “Aku tidak bisa tidur jika tidak gelap.”
“Tapi aku tidak bisa tidur jika seperti ini,” keluhnya.
“Ya ampun,” akupun beranjak dengan enggan menyalakan mapu tidur di samping kasurku.
“Sudah puas?” tanyaku jengkel. Ia tersenyum, “Maaf, terima kasih.”
Aku kembali berbaring di karpet, mencoba tidur. Tak lama kemudian ia lagi-lagi memanggil.
“Hei.”
“Ada apa lagi?”
“Apa kau tidak kedinginan, Irie-kun?”
Ck, “Tentu aku kedinginan.”
“Kalau begitu aku tidur di lantai lagipula ini tempatmu,” ujarnya panik.
“Sudalah, cepat tidur,” keluhku.
“Tapi aku merasa tidak enak,” katanya enggan.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan tidur di kasur juga.”
“Apa? T-tidak apa-apa aku tidur di kasur saja,” katanya panik. Bodoh, bagaimana aku bisa membiarkan dia tidur di lantai. Lagipula aku tidak akan melakukan apa-apa, tidak sekarang. Akupun berbaring di sampingnya. Ia terus terusan bergerak gelisah. Ia pasti berfikir aku akan melakukan sesuatu tapi kenyataanya aku tidak melakukan apa-apa. Seandainya saja dia adalah Kotoko, gadis yang aku temudi di kampus dan tidak ada hubungan dengan keluargaku, mungkin akan berbeda certia. Bukan berarti aku tidak merasakan apa-apa. Tentu saja aku tidak bisa tenang. Bagaimana bisa aku bisa tenang sementara seorang gadis  cantik tidur di sebelahku? Apalagi setelah dia mandi ia nampak lebih menggoda hingga membuatku berhati-hati menatapnya.
“Apakah kau merasa kesal?” tanyaku mencoba jujur dan membuat dia mengerti.
“Kau pasti kesal karena aku tidak melakukan apapun padamu,” meskipun aku ingin, aku tidak bisa, “Aku… tidak mau melakukan apa yang ibu harapkan. Dia pasti ingin kau menginap di sini dan sesuatu terjadi. Itu yang ia inginkan, kemudian ia akan mengendalikan seperti keinginannya.”
“Aku rasa aku mengerti,” balas Kotoko tertawa kecil.
“Karena alasan itulah aku tidak memberitahukan alamat apartemenku.”
“Jadi begitu alasannya,” katanya lega.
“Kau tau bagaimana ibuku. Jika aku beritahu ia akan membuat kunci cadangan dan sering datang kemari kemudian masak makanan tiga hari sekali. Jika itu terjadi aku tidak akan merasakan hidup mandiri.”
“Hidup mandiri?”tanyanya bingung.
“Jika aku terus seperti dulu, setelah lulus universitas dan mengambil perushaan ayah, aku bertanya-tanya apakah itu yang aku inginkan.Aku akan mengikuti jejak orang tuaku. Tidak apa-apa jika aku  memang menginginkannya. Tapi aku tidak yakin. Aku memutuskan hidup mandiri dengan harapan dapat mencari apa yang sebenarnya aku inginkan,” kataku panjang lebar. Rasanya beban dalam hatiku terangkat. Membuatku menceritakan hal ini bukanlah diriku, tapi aku ingin dia mengerti. Mengerti dengan alasan egoisku.
“Kalau memang benar begitu, ketika di Odaba, kau bilang kau menyadari bahwa banyak hal menarik dan lebih baik berhadapan dengan masalah daripada harus merasa kesulitan, “ katanya mengingatkan pada kencan pertama kita.
“Jadi kau tidak memulai hidup mandiri karena ingin menghindariku bukan?”tanyanya.
“ Mengapa aku harus melakukan hal itu?” menghindari permen karet sepertimu adalah sia-sia. “ Lagipula hidup sendiri tidak mudah.”
Benar, sejak aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dan hidup mandiri, semua terasa cukup merepotkan untukku. Memasak sendiri, membersihkan rumah sendiri, mencari tambahan uang saku dan juga membagi waktu dengan kuliah, rasanya cukup berat.
“Aku menyadari bahwa aku dimanjakan jika berada di rumah. Inilah alasan aku melakukan ini. Kau memang orang yang menyebabkan aku dalam masalah, tapi hari ini aku malah membuatmu dalam kesulitan,” sesalku. Meski sejujurnya aku senang dan bersyukur karena itu kamu, Kotoko. Orang paling bodoh tapi baik hati dan pantang menyerah.
“Tidak apa-apa,” katanya setelah aku biacara cukup banyak, “ Ini adalah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan. Sementara kau dapat melakukan apapun karena kau jenius. Aku memikirkan hal menarik saat di rumah sakit. Kehidupan seseorang tergantung pada keputusan sepersekian detik. Sesuatu yang kecil dapat menyembuhkan penyakit. Aku menyadari betapa rapuhnya kehidupan manusia itu.” Mendengar dia mengatakan itu mengingatkanku akan ucapan dokter.
“Aku juga merasa takut,”kataku jujur. “Sampai saat itu aku berfikir jika hidup kita di putuskan oleh Tuhan dan tidak ada yang bisa kita perbuat.”
“Tapi aku merasa jika itu Irie-kun pasti bisa. Kau bisa membuat obat baru dan kau bisa menjadi dokter yang menyembuhkan penyakit dalam hitungan detik . Irie-kun punya peluang untuk melakukannya. Kau hidup mandiri untuk menemukan kemungkinan.” Katanya membuatku tersenyum.
“Meskipun ada jutaan kemungkinan, itu tidak berlaku padamu karena kau tidak tau apa yang kau mau. Sampai saat ini aku dapat lakukan apapun yang aku mau. Lebih tepatnya aku merasa bosan. Sekarang hidupku berubah. Yang penting bagiku dan menarik, sedikit demi sedikit aku mulai mencari tau,” meski malu mengakuinya karnamu aku dapat merasakan pengalaman yang menarik hingga membawaku ke titik ini. Tak lama kemudian aku mendengar suaranya mendengkur. Aku bebalik menghadapnya dan benar ia tertidur pulas.Aku menatpnya dan menghela nafas, “Kau selalu seperti ini di saat-saat penting.”
Mengakui perasaanku tidaklah mudah. Hanya kau seorang yang mampu membuatku berbicara sebanyak ini tentangku. Kini kau mendai orang yang penting dalam hidupku. Mendengarmu mengatakan jika aku mampu mengubah takdir seseorang, menjadi seseorang yang sangat berguna, rasa-rasanya aku sangat tersanjung. Menjadi dokter? Bagimana bisa ia membayangkan sampai sana? Bagaimana dia bisa percaya aku bisa melakukannya? Gadis bodoh yang menggemaskan.
Ke esokan paginya aku terbangun dan melihat Kotoko tidak ada di sampingku, sejenak membuatku panik. Apa dia ada di kamar mandi? Ketika aku hendak mencarinya aku melihat memo di atas meja.
Aku lebih dulu berangkat ke rumah sakit. Silahkan minum kopinya jika kamu suka
PS. Kita bicara banyak hal kemarin malam. Terima kasih
Kotoko
Kopi bikinan Kotoko? Hah, bagaimana bisa aku begitu merindukan rasanya. Dari segala hal buruk soal memasak, ia cukup jago membuat kopi.  Rasanya pagi ini perasaanku menjadi ringan dan damai. Bebanku terasa sedikit terangkat.
Sebelum ke rumah sakit aku membelikan buket bunga untuk Yuuki. Sesampainya di kamar rawat seorang suster menemaniku masuk.
“Oh, sepertinya dia kelelahan,” kata suster ketika melihat Kotoko tertidur di samping kasur Yuuki. “Jangan membangunkannya. Ia nampak kelelahan. Pacarmu sangat cantik ya. Mengingatkanku pada diriku yang dulu ”(Si suster adalah Kotoko di versi pertama drama Itazura Na kiss ) kata si suster sebelum pergi.
Pacar? Perutku terasa tergelitik mendengarnya. Namun rasa geli itu menghilang ketika melihat apa yang Kotoko lakukan. Ia membeli banyak banyak keperluan Yuuki, menghias kamar rawat dan membuat bangau dari kertas lipat dan tulisan di dinding dengan tulisan ‘semoga cepat sembuh’.  Bahkan ia masih tersenyum dalam tidurnya. Rasanya dadaku terasa hangat melihat betapa manis semua yang Kotoko lakukan untuk Yuuki. Begitu penuh kasih dan cinta. Dia tidak hanya mencintaiku tapi juga keluargaku. Betapa bodohnya aku terus menghindar dan menghina dia sebagai gadis pembawa sial di hidupku yang ternyata justru sebaliknya. Bagaimana bisa aku tidak menyukai kebaikan hati dan perasaan tulusnya? Kemudian akupun melakukannya. Aku tidak dapat menahan perasaanku. Rasa sayang, bangga, senang dan bahagia di cintai oleh gadis luar biasa sepertinya. Ciuman kami yang ke dua. Ciuman yang menegaskan bahwa rasa ini milikmu.
Kemudian kulihat Yuuki sadar dan menyaksikan apa yang aku perbuat. Dengan senyum malu dan juga senang tentunya aku memintanya menutup mulut. Ssst… ini rahasia kita, Yuuki.

***
Terima kasih para pembaca setia yang bersedia menunggu (setelah sekian lamanya hiatus dari menulis). Mohon maaf atas tulisan saya yang masih Bad EYD.  ITAZURA NA KISS : LOVE IN TOKYO (IRIE NAOKI) ini akan saya lanjutkan lagi. setelah membaca banyaknya para pembaca yang menanti bagaimana perasaan Naoki versi saya. Saya harap pembaca dapat bersabar dengan kelanjutan ceritanya. Terima kasih atas komentar dan vote dari kalian.  

ITAZURA NA KISS : LOVE IN TOKYO (IRIE NAOKI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang