{CERITA INI TERINSPIRASI DARI LAGU ANAK-ANAK BUJANG SAYANG. SEVENTEEN HIPHOP TEAM--TRAUMA}
Titiplah mimpimu pada mega. Jika beruntung ia akan terbang ke langit untuk menyapa Tuhan. Jika tidak, setidaknya ia masih melayang bersama awan.
~Kisah Dari Mega~Kutorehkan lewat tinta tentang mimpi juga cerita, pada buku bersampul biru seperti mega di atas sana. Kutitip pada dia, sebuah angan melayang berharap kelak dapat menyapa Tuhan. Aku dan mimpiku, entah kapan dapat bertemu di puncak mega. Menunjukkan pada dunia bahwa mimpi bukan untuk orang kaya saja. Anak miskin sepertiku berhak mendapatkannya.
Semua orang bebas bermimpi, setinggi apa pun itu. Aku dan mimpiku tak akan dapat dipisahkan. Kecuali, Tuhan tak memberiku kesempatan berjuang.
Ah, sebab terlalu asyik menulis, aku sampai lupa mengenalkan nama. Aku Mega Khatulistiwa. Aneh? Ha ha ha, percayalah, semua orang yang mengenalku, juga mengatakannya. Tak mengapa. Kata orang nama adalah doa. Layaknya mega di atas sana, kuharap kelak namaku akan setinggi itu.
Aku berdecak, menutup buku bersampul biru milikku. Menghirup dalam-dalam udara pagi yang sepertinya tak pernah kurasakan seperti apa rasanya kesegaran. Kota metropolitan tempat tinggalku tidaklah seindah namanya. Sebab, kotaku hanya menyimpan manusia-manusia gila yang haus akan dunia.
Lihat saja sekarang, sampai pagi menjelang kotaku tak juga beristirahat tenang. Ada saja kegiatan, entah suara pabrik, atau bahkan deruman bising kendaraan. Kurasa, hanya kiamat yang dapat membuat kotaku benar-benar beristirahat. Mungkin pula, karena pandemi yang mampu menghentikan aktivitas seluruh negeri. Corona, misalnya.
"Mega, bangun salat subuh?!"
Nah, itu ... suara memekakkan telinga itu, tak lain dan tak bukan adalah Ibuku. Kalau dia sudah bertanya seperti itu, jangan sampai tidak menyahut. Sebab, aku yakin kau tak akan sanggup mendengar petuahnya yang sepanjang rambut kunti dan setajam gigi kelinci. Misalnya begini, "Iris saja telingamu, Nakku. Percuma Tuhan memberimu telinga. Panggilan-Nya saja kamu abaikan, apalagi cuma panggilan Ibu".
"Sudah, Bu," balasku terlampau cepat.
"Kalau sudah, ke sini!"
"Iya, Bu."
Buru-buru aku bangkit. Biasanya Ibu memintaku untuk mengantarkan nasi uduk pesanan tetangga sebelum ia pergi berjualan di depan pabrik.
Kusisir singkat rambut sebahu yang tergerai berantakan, merapikan seragam sekolah yang kukenakan. Lantas, mendesah lega setelahnya.
Jangan tanya mengapa aku sudah memakai seragam sekolah sedangkan mentari di langit belum sepenuhnya menyinari dunia. Aku sudah biasa melakukannya. Sebab, mengelilingi kompleks perumahan untuk mengantar pesanan nasi uduk bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan dalam waktu singkat. Apalagi, hanya dengan berjalan kaki. Jadi, untuk menghemat waktu, aku langsung berangkat sekolah setelahnya. Sekalian saja.
Omong-omong, ini tahun keduaku sekolah di SMA Seventeen, sebagai murid beasiswa pintar dengan catatan tetap mempertahankan nilai di atas rata-rata.
Menghampiri Ibu, aku mencomot pisang goreng di atas meja sambil sesekali bersenandung. Aku sampai tak jadi mengunyah pisang goreng yang telah mendarat di dalam mulut, saat mendapati Ibu mendelik tajam. Aku bahkan sempat tertegun karenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Dari Mega
Genç Kurgu"Mimpi itu cuma buat orang kaya, Ga. Mau kita sepintar apa pun, kalau kita nggak ada uang, kita nggak bisa jadi 'orang'." "Jangan terlalu bermimpi, Nak. Tundukkan kepalamu dan tatap kakimu. Jangan pernah kamu tatap langit di atas sana." Mega Khatuli...