Sudah lama aku tidak membuka buku akuntansi. Rasanya berat sekali saat pertama melihat rentetan angka dan jurnal jurnal itu. Setahun belakang, otakku aku isi dengan kata kata bahasa inggris untuk memenuhi target vocab.
"Makanya ta mbak enggak usah pindah, Akuntansi tak semudah yang dibayangkan," ucap Azizah tetangga rumahku.
Belajar dengan bukunya dan bukuku. Mencoba mengulik kenangan dengan angka angka sialan itu. Aku membolak balikkan buku dan mengutak atik kalkulator yang sama sekali tak lepas dari hadapanku. Angka di atas kertas itu bagaikan puisi yang melekat di kepala. Ribuan demi ribuan, jutaan demi jutaan tertulis di atas kertas bergaris itu.
Kalau kata anak akuntansi, 'jangankan kamu, 50 rupiah aja aku cari, 50 rupiah aja aku bela belain begadang, apa lagi kamu?'
Ahh itu hanyalah penyemangat diri. Menghitung angka tak semudah yang terlihat, menjadi anak akuntansi tak sesantai yang terlihat di depannya, namun sejatinya, anak akuntasi rela tidak tidur demi satu rupiah, rela tidak tidur demi rentetan jurnal yang panjang, rela tidak tidur demi mencorat coret kertas.
"Tutup aja mbak, toh Akuntansi juga udah melekat sama otak kamu." ucap Anis, adik dari Azizah sembari tertawa.
Begitulah temanku, sedikit menyesatkan, tapi banyak ku turuti juga. Begitulah kehidupan mahasiswa, kalau lelah, yasudah tutup aja. Hehehe
"Enggak balance mulu, kayak e wes rontok satu persatu deh rumus rumus akuntansiku. " Ucapku yang akhirnya menutup buku dan merapikan kertas kertas tadi dan ikut duduk di atas tempat tidur kamar Azizah.
"Sudahlah mbak Rin, jangan dipaksakan, yakinlah, sesuk ajari aku matematika ya. Sama translatin tugasku."
"Kok sedikit anjir ya?"
Obrolan malam yang tak penting memang. Beginilah, niat awalnya sih belajar bareng, endingnya pasti curhat. Buku sudah seperti barang antik kalau sudah memasuki waktu curhat.
"Lah yang ketemu kemarin apa kabar loh mbak?"
"Siapa?"
"Itu loh, yang katamu ketemu di bawah pohon minggu lalu."
"Eh anjir, kunti dong." Sahut Anis yang membuat semuanya tertawa.
"Chandra? Enggak tau, orang gak punya contact nya juga. Lagian gak penting juga sih. Hehehe" jawabku apa adanya. Memang, aku bertemu Chandra ya hanya sebatas bertemu tak menanyakan contact person apapun atau sebatas social mediapun tidak.
"Stalking ig dong Rin, ah dasar kek hidup di zaman batu ae elu." sahut Azizah yang sedari tadi asik dengan ponselnya.
"Masalahnya Zah, aku gak tau nama ig nya apa, aku gak tau nama lengkapnya siapa."
"Aelah, kenapa bahas dia sih? Gak kenal juga aku."
Keesokan harinya, seperti kata ayah kemarin, kami sekeluarga akan menghadiri acara di brigif. Tumben sekali si ayah mengajakku yang memang sudah sebesar ini. Biasanya yang ikut hanya mama selaku ibu Jalasenantri dan kedua adikku, nah kali ini sangat tumben sekali mengajakku.
"Acara apa sih ya? Tumben banget."
"Ngasih kerjaan kamu biar gak diem mulu di rumah. Buat selingan selagi nyiapin bekal Akuntansimu," jelas ayah.
Lah kita aku di rumah nganggur apa ya? Padahal iya sih, kerjaannya cuma tidur, mandi, makan, buka buku dan gak pindah tempat dari kamar.
Sepanjang jalan aku hanya diam, jalanannya padat cuy, bisa apa coba. Aku hanya membuang nafas kasar. Membuka instagram, membuka insta story milik teman-temanku yang sedikit tak penting itu. Lampu merah demi lampu merah telah terlalui, jalanan padat kini beralih dengan banyaknya kendaraan yang terpakir, ditambah banyaknya manusia berbaju doreng yang berkeliaran bebas, mulai dari yang masih muda hingga yang sudah berumur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Far ?
Teen Fiction[END] "Aku tidak dapat menjanjikan untuk terus bersamamu. Tetapi aku akan selalu berusaha pulang. Dan kamulah alasannya" Mencintai Abdi negara bukan perkara yang mudah. Butuh extra kesabaran dan kepercayaan. Mencintai Abdi Negara adalah suatu kebang...