Penyesalan memang selalu berada di akhir, penyesalan memang selalu mengakhiri semuanya, dan penyesalan selalu membuat sang perasa menjadi double thinking untuk melakukan sesuatu.
Rasanya memang benar, ego selalu menjadikan manusia berada di titik terbawah. Ego selalu berhasil mengalahkan segalanya. Ingin menyalahkan ego, tetapi tidak akan ada untungnya. Ingin menyalahkan keadaan, tetapi sama saja, lari dari kenyataan tidak akan membawa dampak yang baik.
Aku benar - benar menjauh dari kebiasaan ku yang biasanya spam chat dia, yang biasanya nelfonin dia dan yang biasanya selalu ngerusihin dia, kini semua menghilang untuk saat ini. Untuk saat ini, biarlah dia tau bagaimana rasanya menjadi aku.
Aku hanya terdiam di kamar dengan ponsel yang menemani diriku, hingga suara ketukan pintu membuyarkan aktivitasku. Dengan malas, aku melangkah untuk menemui siapa yang datang.
Lelaki dengan jaket hitam yang melekat di tubuhnya sedang berdiri dengan wajah lelahnya. Aku hanya memintanya masuk tanpa mengucapkan apapun. Perasaanku campur aduk, tak tau harus ngapain. Rasa kecewa itu tiba - tiba kembali muncul kala aku menatap dirinya.
Sungguh, aku membenci ini. Ini hati rasanya sudah benar - benar retak. Kepercayaan ini enggak tau kemana perginya. Yang ada di fikiranku hanya keraguan akan dirinya. Aku sulit mengatakan apapun, aku sulit untuk menjelaskan semuanya.
"Loh Chan? Sudah lama?" ucap Ayah sepulang dari kondangan dengan mama. Aku menghembuskan nafas lega, Ayah berhasil mengalihkan keterdiaman kami berdua.
"Barusan aja kok Pak," jawab Chandra sembari memberi salam kepada ayah dan mama.
"Mau keluar?"
Chandra menatapku sejenak dan aku hanya mengangkat bahuku.
"Kalau Bapak dan ibu mengizinkan," jawabnya.
"Jangan malam - malam."
Setelah mendapat izin dari Ayah, aku dan Chandra pergi entah kemana. Berjalan ke depan, mobil Brio hitam terparkir di depan gang rumahku.
Aku menatapnya bingung, tumben sekali ia membawa mobil, biasanya kalau enggak perjalannan jauh dia paling males bawa mobil.
"Punya Bang Rio, di tinggal di Mess," ucapnya seperti mengerti apa yang aku fikirkan.
Dia melajukan mobilnya tanpa ada percakapan sama sekali. Dia sibuk mengendarai mobil dan entah apa yang ada difikirannya, sedangkan aku sibuk dengan fikiranku sendiri, yang bahkan aku tak menemukan titik terang dari setiap apa yang masuk di fikiranku.
Aku enggak tau kemana dia mau membawaku, hingga ia menepikan mobilnya. Alun - Alun kota, yang benar saja?
Tak ada yang turun, dia sama sekali enggak merubah tempat duduknya. Hingga aku benar - benar merasa jengah dengan keadaan ini. Bungkam tak menyelesaikan masalah. Aku yang akan membuka pintu mobil, dengan cepat di tahan sama dia.
"Sekarang kamu maunya gimana?" ucap Chandra akhirnya.
Aku hanya diam menatap lurus jalan di depan. Sungguh, aku benar - benar gak tau harus memberi respond seperti apa. Fikiranku kalut, kalau bisa aku ingin menangis saat ini juga.
"Rin aku kurang ap sih!" ucapnya dengan memukul setir mobilnya pelan. "Aku gak ngerti jalan fikiran kamu gimana, 6 bulan 11 bulan keknya gak ada artinya buat kamu."
Aku menatapnya marah. Dia? Ahh aku gak ngerti lagi dengan sikap dia.
"Kamu tanya tentang arti? Kalau aku gak menghargai hubungan ini aku udah ngelepas kamu dari sejak kamu terus - terusan bahas masa lalu, dari kamu yang terus - terusan marah gara - gara hal sepele, dari kamu yang gak pernah berubah buat ngebahas berkali - kali masalah yang bahkan udah selesai. Masih mau tanya soal aku anggep apa hubungan ini?" jawabku sembari kembali menyandarkan tubuhku di jok mobil.
"10 bulan loh aku nunggu kamu. Jangan kira aku diem aja itu aku gak tau apa - apa soal kamu dan yang di belakang kamu. Balesin DM cewek? Aku diem aja, soalnya aku percaya sama kamu. Mantan kamu yang kembali ngehubungi, aku juga diem aja karena aku tau itu masa lalu kamu. Waktu kamu bilang jalan sama Bang Rio?"
Aku menjeda kalimat panjang yang keluar dari mulutku, menghirup nafas panjang, berusaha menahan air mata yang sudah siap untuk menetes. Aku bahkan sampe mengalihkan pandanganku menatap ke luar jendela pintu mobil.
"Aku tau kalau di sana bukan cuma Bang Rio, tapi ada ceweknya juga, iya kan?" Saat itu juga air mataku menetes, di depan dia.
Dia menarik nafasnya panjang, meletakkan kepalanya di atas setir mobil. Diam sejenak. "Aku ... aku benar - benar minta maaf atas semua itu. A-aku selalu buat air mata itu jatuh, aku sumbernya. Jangan nangis Rin, mending kamu pukul aku, mending kamu omelin aku, tapi please, jangan nangis." Ucapnya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.
"Sekarang aku gak mau maksa kamu buat stay sama aku, apapun keputusanmu aku terima semuanya."
Aku menundukkan kepalaku. Rasanya itu sakit tapi tak berdarah. Hubungan yang di bentuk harus berakhir seperti ini. Rasa sakit itu menajalar kemana - mana. Kepalaku rasanya berat sekali. I wanna hug him, but I can't.
"Maaf Bang," ucapku lirih.
Dia mengangkat kepalaku untuk memghadap ke arahnya. Menghapus air mata yang masih menggantung di sana. Dia menggeleng pelan, "Bukan kamu yang seharusnya minta maaf, aku yang salah, aku yang selalu ngecewain kamu. Satu yang harus kamu inget, aku masih terbuka buat kamu. Aku bakal tetep jadi abang kamu. Kapanpun kamu butuh teman curhat, hubungi aku. Jangan nangis, dek."
Dek? Oh astaga panggilan awal dulu. Aku benar - benar akan menangis lagi sepertinya. Hubungan ini benar - benar selesai. Hubungan jarak jauh kami selama ini benar - benar menjadi jauh. Jauh dalam segala hal, jauh dari dianya, jauh dari kebiasaannya.
Selama apapun kita menjalin hubungan, ketika Tuhan tidak menakdirkan untuk bersama, pasti akan berakhir juga. Sekuat apapun kita menggenggam, pasti akan terlepas ketika memang bukan yang seharusnya menggenggam. Yakinlah kalau suatu saat memang dia jodoh yang Tuhan takdirkan, sejauh apapun dia pasti kembali.
"Jangan nangis lagi ya, jelek. Ayo turun," ucapnya sembari menarik hidungku. Dia keluar terlebih dahulu dan berlari ke sisi tempat dudukku.
Sikapnya astaga... Apa benar kalau sudah mantan sikapnya akan jauh lebih manis dari status sebelumnya?
Tak ada yang tau, bagaimana akhir dari sebuah hubungan yang kita jalin. Kebersaan tidak menjanjikan, bahkan kepercayaan yang ditanam juga sama sekali tak menjanjikan. Sekuat apapun kita berusaha, ketika Tuhan berkata lain, mau berbuat apa?
Manusia hanya bisa berusaha untuk mendapatkan dan mempertahankan. Urusan akhirnya bagaimana, hanya Tuhan yang tau.
Walaupun rasa sedih dan sakit itu tidak bisa di bohongi. Siapa sih yang senang akan berakhirnya sebuah hubungan? Enggak, semuanya ingin kalau hubungan yang kita jalin itu menemukan titik terang. Tapi seendaknya, kita sudah belajar akan semua itu. Berjuang, mempertahankan, kepercayaan, semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Far ?
Teen Fiction[END] "Aku tidak dapat menjanjikan untuk terus bersamamu. Tetapi aku akan selalu berusaha pulang. Dan kamulah alasannya" Mencintai Abdi negara bukan perkara yang mudah. Butuh extra kesabaran dan kepercayaan. Mencintai Abdi Negara adalah suatu kebang...