#1. Prolog

23 3 0
                                    

Tetaplah menjadi apa yang hati kecilmu katakan.

  Aku hanya yakin kepada diri sendiri. Bahwa keinginanku hanya terus menerus berlayar --aku seperti burung camar yang terbang tanpa ingin hinggap. Akibatnya, nasib memilihku. Bukan aku yang menentukan nasib.

  "Apa kamu ingin hidupmu berjalan seperti ini-ini saja, Ar?"
  "Emang, Arka harus bagaimana, Yah?"
  "Tidak baik berlama-lama hidup dengan status hubunganmu yang saat ini kamu sandang. Mantan istrimu saja sekarang sudah dapat penggantimu! Apa ingin terlihat kalah sama dia? Tidak, kan?!"

  Bungkam, terduduk di samping Ayah dengan benak yang dipenuhi akan tanya --harus bagaimana?
Kehidupanku bukan lagi seperti dulu. Ketika masih berada pada masa puberitas atau remaja yang tidak pernah betah untuk terus berada dalam rumah, masa di mana masih dengan mudahnya bertemu dan bersosialisasi dengan wanita-wanita yang ada di luar sana yang kurasa cukup nyaman untuk di dekati. Akan tetapi, keadaan yang saat ini kujalani tidaklah sama lagi.
  Tidak hanya dari keluargaku saja yang kerap mempertanyakan status yang saat itu kusandang, tetapi teman-temanku pun demikian. Memang, bagiku masih sangat sulit menemukan jawaban dengan pertanyaan yang selalu saja sama mereka tujukan.

  "Lalu, kapan nih kamu nikah? Jangan berlama-lama, buruan cari penggantinya."
  "Nantilah! Untuk saat ini, aku ingin berusaha mengenal Allah lebih dekat lagi dari diriku yang dulu, memperbaiki diri. Karena aku percaya, ketika aku sudah menjadi lebih baik lagi, jodoh itu pasti akan datang menghampiri. Dengan pasangan yang lebih baik lagi pula. Mudah-mudahan."
  "Apa pun harapan dan keinginan, kalau kamu hanya berdiam diri saja dengan menunggu, itu nggak akan datang dengan sendirinya."
  "Tadi, kan, aku udah bilang kalau aku ingin menata pribadiku dulu. Aku merasa, ada sesuatu yang salah dengan pemikiran jalan hidupku."
  "Bukan hanya sesuatu. Tapi sedua, setiga, dan masih panjang lagi, tuh!"
  "Ahh, sialan lo ... Hahaha."

  Salah seorang saudara sepupuku yang usianya tidak begitu jauh berbeda denganku, begitu sering berbagi cerita denganku. Meskipun dirinya saat ini telah berkeluarga, sikapnya tetap saja seperti saat  dirinya belum menikah, tidak ada yang berubah selain rasa tanggung jawabnya yang semakin membuatnya berpikir bijaksana. Dan satu hal yang membuatku merasa nyaman dengannya adalah ketika dirinya menjelaskan sesuatu, diriku cukup mudah memahami maksud dari penjelasannya. Terlebih dirinya mengerti lebih baik dariku tentang pemahaman agama.

    Hidup berjalan di atas waktu
    Terkadang, kita hanya perlu bersabar
    menjalaninya. Karena semua yang
    terikat pada waktu pasti akan berlalu.

  Aku masih percaya. Ada sebuah keinginan di dalam hidup kita yang akan datang dengan sendirinya. Karena Allah SWT tahu ada beberapa dari hamba-hambanya yang tidak pernah berputus asa dalam berdoa. Bukan tidak pernah berusaha. Tetapi mereka tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
  Aku tidak ingin menjadi seseorang yang bukan diriku. Berlaku dan berbuat sesuatu yang tidak pernah hatiku rela melakukannya. Bukan keinginan sendiri, melainkan memaksa melakukan yang bertentangan dengan apa yang hatiku katakan.

Inilah aku ...
Sang penyair tak bertuan
Menanti sang dewi jatuh dalam pelukan
Yang terlelap dalam setiap sentuhan
Dan mati tanpa terkenang.

Sang MusafirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang