Chepter #7

7 1 0
                                    

"Cinta tak butuh bahasa.
Karena, cinta memiliki bahasanya sendiri."
   -- Aku akan menjadikanmu Ratu
      Mencintaimu layaknya Putri.
      Dan mengingatkanmu ...
      Bahwa kau juga seorang Hamba.

     Seseorang bertanya kepadaku: "Apa yang kau tahu tentang cinta?" Dia tak pernah tahu. Karena senyum yang terukir di wajahku bukanlah sayatan yang tersebab rasa yang disebut cinta. Namun sayangnya, apa yang aku yakini saat itu. Sebuah perasaan yang aku yakini sebagai cinta. Itu semua hanya keyakinanku semata. Begitu ironis untuk seseorang yang berjuang tanpa sebuah balasan dari orang yang dicintainya.

   "Apa sampai sekarang, sedikit pun kamu nggak punya rasa yang sama kayak aku, Fee?"
   "Ada, kok"
   "Beneran? Serius?" Seakan tak percaya kegembiraan itu mendadak hadir dalam hariku sesaat setelah mendengar pengakuan dari Fee.
   "Iya, nggak percaya?
   "Bukannya gitu, sih. Cuma merasa bingung aja. Kira-kira perihal apa yang bisa membuat hatimu itu luluh. Kan, kemarin aku sempat bilang ke kamu kalau kerasnya hatimu itu kayak batu. Makanya aku cuma ingin tau, hal apa yang membuatnya luluh"
   "Itu sih, namanya nggak percaya"
   "Aku percaya, kok. Aku cuma ingin bilang, kalau jarak ata pun rentang usia antara kita jangan kamu jadikan pertimbangan untuk membangun hubungan antara kita"
   "Iya, cuma ... Banyak orang yang bilang hal itu sering jadi pemicu perselisihan dalam hubungan"
   "Bukankah hal seperti itu wajar dalam sebuah hubungan?"
   "Nggak tau juga, lah!"

     Sayangnya. Setelah pernyataan darinya yang sempat membuat semangatku berjuang jadi optimis, tidak membuat perubahan apapun di antara diriku dan gadis itu. Seharusnya komunikasi antara diriku dan Fee selanjutnya bertambah hangat atau mungkin mesra. Tetapi, tidak pada kenyataannya.
     Setelah percakapan melalui chat lalu berakhir di waktu itu. Aku tidak terlalu sering menghubunginya seperti saat-saat sebelumnya, demikian pula dengan dirinya. Kalau saja bukan sebuah hal yang ingin dipertanyakannya, mungkin saja komunikasi di antara kami tak lagi hadir menyapa

   "Assalammualaikum ... Lagi ngapain, Arka?"
   "Lagi di jalan, nih"
   "Emang, mau ke mana?"
   "Mau ngantar pesanan buat Rumah Makan" aku tak begitu fokus menanggapi pesan yang dikirimkan gadis itu, sebab saat itu diriku sedang menyetir mobil. Untuk menjaga kondisi mobil tetap stabil, aku tidak terlalu mementingkan ponsel yang ada di dashboard mobil.
   "Perginya sama siapa?"
   "Sendirian"
   "Kalau gitu, ntar Fee chat lagi aja, ya. Bahaya kalau nyetir mobil sambil main handphone!"
   "Iya, deh. Ntar aku kabarin ya, kalau udah pulang ke rumah?"

--Siang mengatup,
bersama embus bayu bertiup.
Senja telah hadir,
meski hanya sekadar mampir.

     Senja menjadi penutup rasa lelah, tetetsan air tertumpah membasahi raga tersebab daya yang terkuras untuk bekerja, ditambah lagi sengatan teriknya sang surya yang cukup membuat tubuh ini menjadi gerah dan basah karena keringat. Sehingga tubuh ini tampak seperti habis mandi.
     Tetapi, isyarat senja adalah kepulangan ---akhiri kerja, membuat diriku kembali mengingat sebuah janji siang tadi. Tak lagi menunggu sehabis mandi atau mengistirahatkan diri, aku segera merogoh saku celana dan mengambil sebuah barang kecil dari dalamnya. Saat menatap layar ponselku, semua tampak seperti biasa, tak ada satu pun notifikasi yang masuk. Pikirku, dirinya mungkin sengaja menunggu diriku yang lebih dulu memberi kabar kepadanya. Dengan lentiknya jemariku menilik sebuah aplikasi yang sudah sangat lumrah digunakan orang-orang.

   "Hai, Fee. Lagi apa?"

     Cukup lama diriku menunggu balasan darinya sampai-sampai memberiku jeda untuk mandi dan menyelesaikan tiga rakaat dulu. Mungkin dirinya pun seperti itu. Aku mencoba tidak berprasangka agar hatiku merasa tenang membayangkan apa yang saat ini dirinya kerjakan hingga chat dariku begitu lama dia balas. Beberapa saat setelah adzan isya, terdengar lirih suara pemberitahuan masuk dari ponselku

   "Nggak lagi ngapa-ngapain"
   "Kok, chatnya baru dibalas? Dengan sedikit penasaran yang nyaris memenuhi isi dadaku, aku mencoba mendengar sebuah penjelasan darinya.
   "Maaf. Tadi Fee nggak tau kalau ada chat masuk, soalnya handphone Fee cuma di setting profile getar aja"

     Tidak ingin membuat mood berubah menjadi tidak enak, diriku berusaha untuk menerima penjelasan dan tidak memperdebatkannya.

   "Oh, iya deh. Ngomong-ngomong, jadi ya, berangkat ke Bengkulu?"
   "Iya, InsyaAllah besok berangkat"
   "Naik apa?"
   "Naik mobil lah"
   "Iya, maksudku, naik travel atau mobil pribadi, atau apa, gitu ..."
   "Oh ... Kayaknya naik travel, deh. Arka, gimana? Jadi pergi, nggak?"
   "Aku juga belum tau, nih. Belum dapat kepastian dari Doffanya. Tapi, ntar aku coba tanya Doffa lagi deh"
   "Ayok, lah, ikut!"

     Terkesan seperti seseorang yang memelas mengharapkan sesuatu lirih itu terasakan buatku. Sejujurnya, aku pun begitu ingin untuk pergi ke acara itu, terlebih ketika diriku mengetahui bahwa dirinya pun akan hadir di sana. Akan tetapi, harapanku untuk pergi itu mendadak saja tak berjalan dengan lancar.

   "Iya, InsyaAllah ya"

     Awalnya, beberapa hari sebelum pesta itu berlangsung. Aku dan Doffa sudah merencanakan untuk berangkat, di mana saat itu kami lebih memilih berangkat dengan motor saja, layaknya sedang touring. Terlebih, dengan memakai motor, kami merasa akan lebih menghemat budged yang ada.
     Sebelum kami menetapkan keputusan, aku pun belum menyampaikan perihal ini kepada Ayah. Namun, aku harus menelan ludahku dengan semangat yang semula membuncah berubah menjadi kecewa tepat di malam itu pula. Malam di mana besok wanita itu akan berangkat ke Bengkulu.
     Karena dirasa tidak ada yang ingin mewakili keluarga, kakak iparku tengah berkemas menyusun pakaiannya dalam sebuah tas. Dengan secara kebetulan atau tidak malam itu pun aku sedang berada di rumahnya hingga aku dapat menyaksikan dirinya berkemas. Tanpa menyatakan kekecewaan yang aku rasa; layaknya tidak terjadi apa-apa, aku berusaha melupakan rencanaku dan Doffa untuk pergi.

   "Mau berangkat, ya, kak?"
   "Iya, kayaknya nggak ada yang berencana mau pergi. Jadi, ya, biar kakak aja lah yang berangkat, kebetulan Nida juga mau pergi pakai mobilnya. Paling patungan aja buat minyak di perjalanan"

     Nida adalah kakak perempuan Doffa yang tinggalnya tidak terlalu jauh dengan rumah kak Wira, sehingga, mungkin saja kak Wira sebelumnya sudah berkompromi dengannya.

   "Sebenarnya, sih. Aku sama Dofaa udah berencana pergi pakai motor ke sana"
   "Ya, nggak usah lagi, lah ... Lagian, kan, kakak juga mau pergi, nih, se-nggaknya dari keluarga kita udah ada yang datang"

     Entah apa yang saat itu rasakan, seperti sedang mengendarai sebuah kendaraan dengan kecepatan penuh dari ketinggian dan tiba-tiba meluncur menuruni jalan, gejolak itu membuat diriku kecewa dan lemas di sekujur badan. Rencana bersama Doffa yang sudah tersusun dan kurasa akan mengasyikkan itu harus kandas mengecewakan.

   "Iya, udah deh" aku berpura baik-baik saja mengucapkan kalimat itu, padahal ada beban yang saat itu aku tahan.

     Sembari bercerita dengan kak Wira, jari jemariku pun ikut serta menari-nari di atas layar ponselku dengan lincah, menilik abjad hingga membentuk kalimat-kalimat lalu segera kulayangkan ke nomor handphonenya Doffa.

     -- selalu persiapkan diri
        untuk kemungkinan terburuk.
        Sebab, sebaik-baik sebuah rencana
        yang kamu tata. Ketika Tuhan
        bilang 'Tidak' dan itu terbaik
        di Menurut-Nya. Kamu bisa apa?!

Sang MusafirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang