Chepter #10

9 1 0
                                    

"Kau masih saja seperti itu. Berpura tak tahu perasaanku; acuh. Dan masih menaruh harap pada seseorang yang membuat air matamu mengucur jatuh."

"Aku ingin jadi pelangi
Datangnya hanya sekejap
Tapi, cukup membuat semua hati terpaku.
Gugah melihatnya begitu indah.
Walau sekejap cuma."

      Salah satu hal yang menyedihkan dalam hidup; ketika kamu mulai kecewa. Dan kamu tetap menjaga hati hanya untuk menjaga perasaannya.
Ketika mencintainya, kita selalu berpikir, hanya ada satu alasan untuk meninggalkan dirinya. Yaitu, ketika umurmu tinggal satu detik lagi. Bahkan, setelah kecewa, tak sedikit orang-orang menyalahkan cinta, sampai ada yang mendendam dan tak mau atau trauma untuk kembali jatuh cinta.

      Jika cinta mematahkan hatimu. Tak pantas kamu membenci cinta. Bencilah dirimu sendiri karena terlalu menggantungkan harapan pada cinta itu. Sebenarnya, patah hati itu perihal yang lucu. Mungkin, kamu sendiri pun bingung di mana letak kelucuannya tersebut. Bila kau ingin tahu, tunggu sampai kamu bahagia dengan yang baru. Nanti kamu juga akan tertawa dan malu.

Langit ... Bisakah kau turunkan untukku hujan dan petir?
Sebab, aku ingin menangis tanpa terlihat.
Dan ingin menjerit tanpa terdengar.

Sebuah pinta yang kekanak-kanakan ketika hati ini memelihara luka berbungkuskan kecewa.

       Perjalanan pun di mulai fajar itu, seusai dua rakaat di jum'at pagi, pedal gas sudah di bawah telapak kaki kak Wira, dengan penumpang enam orang dan dua anak-anak di dalamnya Daihatsu Xenia berwarna merah maroon itu berpacu dengan bermulakan basmallah. Jarak tempuh yang memakan waktu lebih kurang dua belas jam itu kami nikmati setiap sudut dan tepi demi tepi. Bahkan, tidak sesekali dari kami mengatakan hal yang tiba-tiba saja menjadi sebuah rencana persinggahan ketika pulang.

       Perbukitan berselimut belantara rimbunan daun yang menjulang, perkelokan hingga lekuk jalan selanjutnya menjadi kenikmatan tersendiri bagi para pengendara, hingga menanti-nantikan medan curam yang selama ini membuat kami penasaran karena hanya mendengar namanya saja, tetapi tak pernah melintasinya. Dan inilah kali pertama takdir membawa kami untuk melihat dengan mata kepala akan lintas tercuram antara Palembang-Bengkulu. Jalan yang hanya memiliki lebar yang hanya bisa dilewati dua mobil berukuran Dump Truck itu memiliki sisi dengan jurang yang cukup dalam, sedang sisi sebelahnya sebuah tebing dari kaki gunung. Orang-orang menamakan medan itu dengan nama liku sembilan. Dengan sebuah alasan tentunya. Namun entahlah, apapun alasannya diriku tak cukup peduli akan story asal muasalnya.

       Hampir dua belas jam perjalanan, pelupuk retinaku menyaksikan dengan begitu jelasnya sebuah ufuk mata angin yang perlahan-lahan menarik senja untuk turun. Jingga yang merona, menjadi pemandangan terindah sepanjang perjalananku. Dengan jarak ketinggian satu persekian kaki di atas permukaan laut, aku menyaksikan sunset di hari terbaik di antara semua hari; jum'at.

       Bila mengingat sebuah hari, kembali aku teringatkan tentang seorang gadis. Gadis dengan sepasang lesung pipi yang menghias sepasang pipinya, ya, siapa lagi kalau bukan Freya atau gadis yang kerap kusapa dengan nama Fee.
Beberapa hari yang lalu dirinya sempat mengatakan bahwa akan berangkat pada hari jum'at, meski belum dipastikannya pada saat itu akan berangkat pukul berapa. Diriku yang saat itu tengah dalam perjalanan dan dengan sengaja tidak memberitahukan akan keberangkatan kami, lagipula semenjak perbincangan terakhir saat itu, baik diriku maupun dirinya tidak ada yang saling memulai untuk saling menghubungi.
Aku menjalani hari-hariku layaknya seperti sewaktu dulu lagi. Ketika di mana belum bertemu kembali dengan dirinya --entah bagi dirinya.

       Kilometer demi kilometer telah menjadi barisan masa lalu, pengemudi kami pun telah silih berganti, terkadang kak Wira; terkadang Doffa. Sementara senja, tak lagi menjadi hiasan taman langit yang menaungi cakrawala. Senja telah menyelam di ufuk barat pelosok bumi, yang terlihat ketika kepalaku tengadah hanya taburan kerlip bintang yang menyandingi sang wulan yang tak utuh.

       Mobil yang kami bawa pun terhenti pada sebuah perempatan jalan. Sengaja dihentikan oleh Doffa pada sisi kiri jalan.
Kukira hanya sekadar singgah melepas lelah, namun ternyata Doffa sedang menunggu temannya yang sudah cukup lama tinggal di sana. Tanpa aku sadari, atau tanpa bertanya-tanya. Ternyata perjalanan kami saat itu hampir sampai pada tujuan, kami sudah menapakkan kaki di Bumi Raflesia tersebut. Sebuah kota yang memiliki bunga dengan nama latin Rafflesia Arnoldii sebagai tanaman khasnya dan sebuah objek wisata air dengan pantai panjang tersebut.

   "Alhamdulillah ... Selamat datang di bumi raflesia" ucapku. Sambil mengencangkan seluruh bagian bahu agar membuatnya kembali merasa rileks setelah keluar dari kotak kap berukuran tak lebih dari satu meter itu --bagian jatah tempat dudukku.

Sang MusafirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang