Chepter #8

4 2 0
                                    

"Pada sebuah buku yang berbicara akan masa depan. Aku melihat wajahmu yang menjelma pagi yang terbit di setiap halaman --bersama asaku."

Ketika awan hitam ditenun di langit
Ketika bayangan kesedihan berkedip
Ketika air mata
menemukan jalannya menuju mata
Ketika ketakutan menjaga
kesendirian dalam hidup
Aku mencoba menghibur hatiku.

"Apa yang kau tangisi?" --aku bertanya
Ini hanyalah.
Apa yang ditanamkan dalam hidup
Keheningan ini ...
Telah diserahkan sepenuhnya
kepada waktu

Kisah semua orang memiliki kesedihan
Kisah setiap orang
memiliki secercah sinar.
Tidak perlu air di matamu
Setiap waktu
Bisa menjadi kehidupan baru

Kenapa kau tidak membiarkan mereka melepaskanmu?
"Hati ... Kenapa kau menangis?"

   Tanpa menunggu sebuah pesan balasan dari Doffa, aku beranjak dari rumah kakak iparku itu, segera memacu motor dengan perasaan yang entah rasa apa; pun aku tak tahu, perasaan itulah yang diriku bawa sebagai teman perjalanan pulang.
     Setelah sampai dan memasukkan motor ke dalam rumah, aku melangkah ke kamarku dan kembali mengenggam barang kecil yang aku bawa selalu, memeriksa apakah ada pemberitahuan berupa balasan dari Doffa.

   "D, lo nggak jadi, ya, berangkat ke Bengkulunya pakai motor?" sebuah kalimat yang kukirimkan pada Doffa ketika masih di rumahnya kak Wira. Pesan balasan dari Doffa itu aku baca sesaat setelah sampai di rumah, pesan itu kurasa masuk saat diriku masih dalam perjalanan pulang.

   "Nggak tau juga, nih, Ka. Mbak Nida ngajakin pakai mobil. Katanya, dia nggak berani nyetir di perjalanan jauh. Kalau gue, sih, jujur aja lebih ingin pakai motor, soalnya kan, budged gue terbatas, lo tau sendiri, gue baru seminggu yang lalu balik dari jawa"
   "Trus ... Gimana? Ya, kalau lo pakai mobil, nggak mungkin pakai motor sendirian, mau ikut di mobil, diajakin juga nggak"
   "Gue masih belum pasti juga, Ka. Istri gue maksa mau ikut, dan nggak mungkin juga pakai motor kalau sama mereka, kasihan anak gue"
   "Ya, iya lah. Masa lo tega lihat anak lo menderita di atas motor, kan, nggak mungkin"
   "Nah, itu dia yang jadi masalahnya"
   "Ya udahlah"

     Pernyataan yang secara tidak langsung menjadi keputusan itu nyaris membawaku ke titik emosi jika saja hati ini tidak berusaha mengatakan kalau ini adalah keputusan dari Allah.
     Tak ingin merasa baper (bawa perasaan) gagalnya ekspektasi itu, aku berusaha menyibukkan diri dalam berbagai kesibukan, mulai dari menulis puisi-puisi dan mempostingnya pada sebuah grup di akun facebook hingga sampai menyuarakan sesak di dadaku dalam sebuah aplikasi karaoke yang aku unduh malam itu.

     Tuhan menggagalkan rencana yang kita punya bukan karena DIA tidak menyukai kita. Malah sebaliknya, Tuhan menguji keteguhan dan pendirian kit lewat kesabaran yang terus menerus diberikannya kepada manusia. Dalam perihal beban maupun permasalahan. Tuhan tidak meminta kita untuk menyelesaikannya. Tuhan hanya ingin melihat kesabaran kita dan seberapa besar kesungguhan kita berdoa, bersimpuh memohon kepada-Nya.
     Sekelumit waktu saja. Rasa kecewa yang kupendam saat itu berubah menjadi kejutan yang menghampiriku. Kurasa, bila seandainya saat itu diriku tak mampu melewati ujian itu dengan sabarku. Entahlah! mungkin sampai detik ini tak akan ada yang berubah, tak bisa aku bertemu dengannya.
     Sayup-sayup terdengar di telingaku, suara Ayah memanggilku dengan nada yang sedikit berteriak. Sigap aku melangkah keluar kamar dan menghampiri seruan itu di teras rumah. Sedikit mengejutkan dengan langkahku yang seketika terhenti di depan pintu saat melihat kak Wira dan Doffa tengah berada di samping Ayah. Belumlah kutemukan untuk tempatku duduk, tanpa basa-basi pun Ayah mengatakan maksud kedatangan mereka.

   "Kamu mau ikut pergi ke Bengkulu, nggak, Ka? Kak Wiramu sama Doffa nawarin, nih"

     Dengan perlahan aku melangkah seraya mencari tempat yang cukup nyaman untukku duduk sambil bersenggama bersama mereka, seakan menampakkan wajah yang terlihat sedang berpikir meski berpura, seolah menjaga image, lah --kata orang-orang. Walau kenyataannya diriku sangat ingin pergi dan satu hal yang membuatku begitu ingin adalah hanya karena keberadaannya yang juga hendak ke sana.

   "Emang mobilnya masih muat?"

      Tak lagi Ayah yang mengambil alih bicara, Ayah hanya sekadar pembuka topik agar pembicaraan tersebut terasa lebih serius untuk ditanggapi, penjelasan selanjutnya kak Wira dan Doffa-lah yang merincikan detilnya

   "Muat, lah. Yang pergi, kan, cuma kita-kita aja" Doffa menyambut pertanyaanku, isyarat tanda setuju yang tak langsung diucapkannya. Tak lagi memperpanjang bicaranya, kak Wira pula yang kini menjadi juru bicara

   "Palingan, yang pergi, kan, cuma berapa orang" sembari dalam hati membayangkan dan menghitung siapa-siapa yang akan berada dalam mobil tersebut.

       Sampai pada akhirnya aku menyetujui dan menjadi vonis final dalam rencana keberangkatan itu.

   "Ya, udah, kamu siap-siaplah. Ntar subuh kita langsung berangkat, kisaran sehabis sholat subuh, lah"
   "Langsung berangkat?!"
   "Iya lah! Tunggu apa lagi? Lusa aja sudah mulai acaranya! Kapan lagi kita mau istirahatnya klo nggak ntar subuh berangkatnya"
  "Iya, deh. Ntar aku nyusul aja! Kumpul di rumahnya Mbak Nida, kan?"
   "Iya"
   "Jangan ketiduran ...! Ntar ketiduran pula. Secara! Kalau kamu udah tidur, udah kayak kebo' aja, susah banguninnya"

   "Bwahahaha ..." Serentak tawa itu tumpah dari mulut kami semua, sedang Ayah hanya tersenyum simpul renyah. Malam itu, riuhnya suara tawa menjadi semaraknya suasana di depan rumah.

Sang MusafirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang