Chepter #9

13 1 0
                                    

Sesekali, tanyakanlah pada hati sendiri; "Bagaimana jika ini adalah hari terakhirku melihat matahari?"

"Dahulu ...

Kau dan aku adalah dua orang asing.
Setelah jembatan pertemuan,
kita menjadi sedekat urat nadi
Dan mungkin nanti,
Kita akan sedekat urat syaraf
--karena aku, terlalu gila menyinta."

I'm just smart to say
But, i'm not smart to speak
"Aku hanya pintar berkata-kata.
Tetapi, aku tak pandai bersuara"

      Wahai bidadari duniawi. Tunggu aku yang sedang mencari rezeki untuk menjadikanmu pilihan hati. Melamar dan siap untuk menikahi.
*Klise memang ...
  Tapi terkadang, kau hanya butuh membiarkan segalanya mengalir apa adanya. Biar takdir membawamu pada bahagia, atau ---kau hanya perlu membawa takdir mencipta kebahagiaannya sendiri.
      Satu demi satu segalanya kupersiapkan, mengingat-ingat apa-apa saja yang akan kubutuhkan selama kepergian. Ironisnya, otakku tak tak luput bayang-bayang kemaksiatan, tak ada tersemat dalam rencana, langkah beberapa jam ke depan sudah menjadi ekspektasiku, bagai kilat menelusup ke dalam jiwa, menembusi kisi-kisi rongga di balik dada dan begitu sempurna berlayar di pembuluh-pembuluh darah.
      Aku memanglah orang bodoh dan tidak berguna, teman. Tapi, karena kebodohan inilah aku tidak ingin kalian menjadi sepertiku. Semilir sepoi sang bayu, kuhirup dalam hikayat qodratku. Anak manusia terlahir atas ikrar. Hamba; semata di sisi Tuhan-Nya.

Aku seorang pendosa
Diwarnai lalai, salah, dan kemaksiatan dunia
Ampunan kukejar-kejar segenap daya
Terpuruk ... Tertatih
Menggapai Ridho-Nya.
*Ke mana lagi
kan kudapati Ampunan-Nya
Umpama taubat-Mu itu
bukanlah untuk pendosa sepertiku?

      Setelah memesan ojek yang kupesan lewat sebuah aplikasi online yang kubuka dari gadgedku. Kembali diriku menjumpai Ayah sambil bersalam sebagai permintaan izin dan doa kepergian malam itu, tanpa perlu berlama-lama, driver yang sudah tiba di depan rumah segera memacu motornya, mengantarku ke sebuah tujuan, tetapi bukan ke tempat di mana kesepakatan tadi kami rencanakan.
      Buku memang diam. Namun ia berbicara dengan caranya sendiri. Yang diam tak selalu bodoh, tak selalu tidak tahu apa pun, yang tak selalu tidak bisa apa-apa, pun tak selalu seperti apa yang orang-orang pikirkan.
      Tok ... Tok ... Tok. Tiga kali ketukan jemariku di pintu itu sambil memanggil pemilik rumah

   "Assalammualaikum ..."

      Tak beberapa lama, setelah kuserukan namaku dari luar, selang beberapa menit saja seseorang telah membuka pintu. Pelan-pelan langkahku berjalan menuju lantai atas rumah itu, aku berusaha menapakkan kaki penuh perasaan, sebab anak tangga yang mengantar menuju lantai atas itu hanya terbuat dari papan. Tidak ingin mengusik pemilik rumah, kupastikan derap langkahku tidak nyaring dan membangunkan mereka.
      Pukul 23. 47. Kulirik jam tangan di lengan kiriku yang menampilkan angka digital yang menghias layar kecilnya

   "Whatsup, Bro?!" Sebuah sapa diiring senyum ramah tertuju kepadaku. Seorang teman semasa sekolah yang sampai saat ini masih sering bermain bersamaku, "weeiiiy, weeiiiy. Tunggu ... Tunggu. Jangan bilang, lo, diusir dari rumah?!"
   "Sialan, lo! Lo kira bokap gue sesadis itu apa?"
   "Haha ... Teruuus, kenapa lo pakai bawa-bawa tas segala?!"
   "Gue mau berangkat"
   "Ke mana? Ikut dong, gue, bro!"
   "Gue aja diajakin! Masa' gue malah ngajak orang pula"
   "Ahh, semedit (pelit), lo!"
   "Hahaha"
   "By the way, lo mau belanja, kan?"
   "Iya Fer, buat di jalan"
   "Edaaan ... Nekat gila, lo! Ntar kenapa-kenapa pula lagi, di jalan"
   "Jangan juga lo doain, lah!"
   "Gokiiil ... Sumpah! Lo, temen gue paling nekat!"
   "Udah, buruan bungkusin?! Keburu tengah malam juga, nih"
   "Emang, lo mau yang paket berapaan?"
   "150 ribu aja, bro! Ntar di Bengkulu kehabisan modal pula, lagi"
   "Ya udah, santai dulu sedikit, sini"

      Sambil mengemas lalu memindahkan ke sebuah plastik kecil, Ferdy sibuk mengajakku bercerita agar sikapku tidak terlalu kaku dan tegang. Sebenarnya, mengemas barang haram itu tidaklah memakan waktu lama. Suatu ketika aku sempat melihat serta memperhatikan Ferdy dengan cermat mengisi plastik-plaatik kecil yang masih kosong. Tetapi kali ini, sepertinya dirinya memang sengaja melakukannya dengan lambat.

   "Kita pakai dulu, ya?" Ujar Ferdy mengajak. Sambil menyodorkan jarinya yang memegang pipet berisi barang haram yang mirip dengan garam tersebut ke sebuah kaca kecil yang sedikit lebih besar dari pipet itu. Lalu segera berdiri dan mengambil sebuah botol kecil yang sudah terangkai pipet pada tutup botolnya. Kemaksiatan sang pendosa pun berlangsung dan berlanjut.
Semula yang hanya berupa niatan dalam hati, kini tak lagi sebatas niat lagi. Perbuatan yang terjadi kala itu seolah-olah seakan perihal yang biasa. Padahal, ketika itu kami memikul resiko yang sangat besar di mana telah tercatat dalam hukum mau pun undang-undang, terlebih dalam syariat agama. Namun tetap saja kami bersikap biasa saja.

"Ketika hati telah benar-benar kotor
Dosa kecil dianggap tak mengapa
Dan dosa besar kecil adanya.
Serupa jelaga hitam di sebuah benda putih, atau seperti bintik hitam dan jerawat di wajah.
Semua dosa
Dianggap cukup mudah terampuni.

Berkali-kali telah kutemui sebentuk pengingat, di mana hidup butuh penasehat saat hati menggenggam amanat. Kehidupan ini sangatlah singkat, teladani dengan akal sehat. Tulis dan isilah buku amalmu dengan cerita-cerita yang melahirkan syafaat dalam dunia serta akhirat. Sebab, di sanalah segala derap tidak sesaat. Akhiri maksiat!

"Aku pun pernah bermaksiat
Semakin hari kian meningkat
Hingga akhirnya aku tak kuat
Lalu aku pun bertaubat
Sebab ...
Aku juga menginginkan surga
Dan ke sana dengan selamat."

-- Karena kita adalah pendosa
Berusahalah Istighfar setiap saat
Jangan lupa!

Sang MusafirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang