Chepter #3

15 2 0
                                    

Waktu adalah teman sejati yang tak pernah mau diajak kompromi

Sunyi adalah aku.
Hanya harapan yang tak merasakannya
Dan tak pernah mati.

  Waktu di mana embun terasa lebih tebal menetes turun, di telapak dedaun yang menadah berkerumun. Saat di mana fajar masih terlalu dini menyapa suar dan memberi kabar pada semesta yang bergetar oleh doa-doa mereka yang tak sabar. Ketika inilah musafir sepertiku menyulam sajak, melontarkan sesak dada mendesak lewat tarian jemari atas tinta yang berontak. Menyatakannya dengan nada-nada serak. Bahwa, di mana pun kita berpijak, akan selalu ada beban masalah berserak.
  Ketika dunia seolah-olah tiada ketertarikan padaku. Kesunyian mengajarkan aku. Bahwasanya hidup bukan hanya tentang menampilkan kemampuan, kehebatan, dan apa-apa yang kamu rasa sebagai suatu kebanggaan dari hidupmu. Bilamana dunia tidak mengacuhkanmu. Maka, hatimu sangat berpotensi besar membuat dirimu terkesan sombong dan angkuh.
  Dan, untuk kesekian kalinya aku nyatakan. Atas nama kesia-siaan, aku tak lagi akan percaya tentang segala yang ditarikan kelembutan lidah. Mempesonakan kata-kata. Hingga hati membuncah dipenuhi gugah, namun berujung kecewa. Pada akhirnya, aku harus kembali menabrakkan doa-doa yang percuma dari puing-puing hati yang sudah patah-mematah.

-- Tiada kesenangan bagi seorang hamba semasa hidup di dunia. Segalanya menjadi ujian keimanan dan taqwa.
Bahkan anak dan istrinya.

  "Fer, lo merasa bosan nggak sih dengan yang selama ini kita lakuin? Dengan semua kenakalan-kenakalan kita yang selalu saja membuat kita seakan-akan merasa bangga melakukannya?"
  "Nggak usah lo tanya lagi, Ar. Pakai banget, malah."
  "Lucu, ya! Gue merasa, kita ini adalah makhluk ciptaan Allah yang paling lucu di dunia. Makhluk ciptaan tetapi mencoba menipu dan membohongi penciptanya sendiri, seolah-olah semua tipu muslihat yang sedang kita lakukan itu bisa untuk menipu pemilik puji di atas muka bumi. Sedang di dalam bumi ini saja semesta bertasbih memuji Asma-Nya."
  "Ahh, lo ngomong pakai bahasa yang ketinggian, Ka, puyeng gue!"
  "Simpelnya gini, lho. Kita terus aja meksiat, seakan-akan nggak ada yang lihat. Padahal kita menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya Saksi. Dan itu adalah hal yang seharusnya paling kita takuti."
  "Bahasa lo terlalu langit, Ka. Perumpamaan yang lo ucapin, dalamnya melebihi kerak bumi."
  "Haha ... Alay lo, tuh, yang selangit!"
  "Habisnya, pakai kalimat-kalimat yang umum aja lagi. Kan bisa!"
  "Namanya juga baper"
  "Woy, Arka ... Kalau baper jangan di situasi kayak gini dong, brow!"
  "Lah, emang kenapa? Tunggu, tunggu ... Bentar deh. Kalau nggak salah, bukannya dulu lo yang pernah bilang kalau; --libatkan Tuhan dalam hal dan keadaan apa pun."
  "Ahh ... Udah ah! Nih, giliran lo lagi, nih!"
  "Iya, iya. Sini ... Sini!"

  Hal terlucu yang paling membuatku bingung dalam kehidupan ini, yang mana sering terjadi dan kualami adalah; aku pernah bermaksiat --taubat. Bermaksiat --kemudian kembali lagi bertaubat. Hingga sampai pada akhirnya, aku menemukan sebuah cara bagaimana diriku dapat berhenti untuk bermaksiat. Namun, entah kenapa diriku masih saja terjerembab di dalam lumpur kemaksiatan tersebut. Lucu --teramat lucu. Sampai-sampai perasaanku begitu terasa sendu dengan hati yang memilu, lalu membuat air mataku jatuh.

Ada yang lebih tenang mendekap bayang
Bersama harapan yang usang
Pada sesuatu yang telah lama hilang.

  Dari setiap lembar-lembar harapan, aku dedikasikan pada tulisan. Loyalitas atas kehidupan. Bertumpu dari keputusan yang kutetapkan.

--Jalan hidup adalah tanya.
Apakah masih cukup panjang?
Yang pasti ...
Setiap rentang usia yang dipegang
terbentang aral dan rintang
yang tidak memiliki masa tenggang.
Hingga tiba waktu perjanjian dengan-NYA itu datang, lalu mengatakan; sudah waktunya untukmu pulang.

*Kenangan mengalir
  bagai safir mencair
  Keheningan laut ...
  Tidak ada bumi di bawah
  Tidak ada langit di atas.
Gemerisik ranting dan dedaunan mengatakan;
"Hanya kau yang ada di sini"
  Hanya aku ... Nafas dan detak jantungku
  Begitu dalam ... Begitu sendiri
  Dan aku,
  Hanya aku ...,
  Sekarang aku percaya
  "Aku hidup."

Sang MusafirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang