Chepter #4

14 2 0
                                    

"Aku ingin jatuh cinta dngn jutaan keajaiban yg aku rasakan saat jatuh cinta."

     Dari seseorang yang pergi. Seharusnya kita belajar untuk mencintai serta memahami lebih baik lagi. Bukan malah membenci, atau bahkan menghakimi cinta yang datang di kemudian hari. Sebab, terkadang cinta lebih kuat dari apa pun jua. Ia bertahan dan tak pernah mau pergi meski pun tidak bisa memiliki, ia tetap ingin ada, bahkan pada orang yang menganggapnya tidak pernah ada.

  "Emang sejak kapan, sih, suka sama Fee?"
  "Entahlah ... Aku juga nggak tau pasti kapan tepatnya perasaan itu datang. Namun yang aku ingat, ada sebuah keanehan dalam perasaan di belasan tahun silam. Dan kalau nggak salah, waktu itu aku masih SMP. Tapi ..."
  "Tapi apa?"
  "Tapi, aku menganggap perasaan itu mungkin hanya sebuah kekagumanku saja. Sampai akhirnya waktu menelan segalanya setelah kepindahanku ke palembang."
  "Berarti, sudah lama banget, ya?!"
  "Begitulah. Dan entah sebuah takdir Tuhan ataukah bukan, tiba-tiba saja kamu datang ke palembang, kan?"
  "Iya, Fee waktu itu kan menemani Ayah berobat yang surat rujukannya ke sana."
  "Nah, pada saat itulah. Entah kenapa rasa itu kembali ada. Hingga aku menyadari akan satu hal"
  "Apa itu?"
  "Bahwa apa yang aku rasakan pada saat itu, saat belasan tahun lalu. Itu benar perasaan cinta, bukan kekaguman semata."
  "Kok bisa, sih, suka sama Fee?
  "Jangan salahkan rasa. Ia tidak pernah tau kepada siapa ia harus bermuara. Ia tidak pernah sadar, kapan harus tiba dan hilang. Ia tidak pernah memilih, di dermaga mana ia harus berlabuh dan di saat seperti apa dirinya harus berlayar jauh. Sebab, cinta tak bisa di prediksikan tentangnya. Anugrah yang tak bisa kita tentukan untuk siapa."
  "Waaah ... Puitis banget, sih!"
  "Biasa aja, kok."

  Entah benar atau tidak yang hatiku saat itu rasa. Hanya saja, aku merasa kurang begitu yakin bahwa rasa itu adalah cinta. Aku terus dan selalu mencoba berusaha membuat Fee --seorang gadis yang memiliki nama lengkap Freya Andarasta itu jatuh cinta kepadaku. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa perasaan yang aku punya bukanlah sebuah permainan. Karena sempat beberapa waktu lalu wanita itu merasa curiga jika aku dan Genta temanku membuat dirinya sebagai taruhan --memperebutkan cintanya.

  "Hai Fee?"

    Aku mencoba menyapanya lewat sebuah chat. Cukup lama diriku menunggu balasan darinya, tetapi tak juga mendapat tanggapan. Bahkan, tak sesekali chat yang kukirimkan padanya tersebut seperti layaknya koran yang hanya sebatas untuk dibaca. Entah itu disengaja olehnya, atau terlupa. Aku tidak ingin bersu'udzon terhadapnya.
    Tidak hanya sekali atau dua kali hal itu kulakukan, aku terus saja berusaha menghubunginya di beberapa sosial media lainnya. Seperti messenger maupun instagram.

  "Hai Fee ... Apa kabarnya?
  "Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri?"
  "Alhamdulillah, baik juga. Masih dilindungi sama Allah SWT."

    Seperti kehabisan kata-kata, percakapanku dengan dirinya hanya beberapa saat saja, hanya beberapa kalimat sapa saja. Baik diriku maupun dirinya tidak lagi merespon balasan selanjutnya. Bahkan berupa basa-basi saja pun tak lagi ada, sampai pada hari-hari berikutnya, aku kembali melakukan hal yang sama.

  "Hai ... Lagi ngapain?"
  "Nggak lagi ngapa-ngapain, cuma tiduran aja"
  "Aku ganggu waktunya, nggak? Maaf, ya?"
  "Nggak ganggu, kok"
  "Sudah makan?
  "Sudah ... Tadi makan sate"
  "Hmmm ... Baru pulang, ya?"
  "Kok tau, sih?"
  "Ya iya lah, kan, tadi kamu bilangnya makan sate! Nggak mungkin, kan, kalau di rumah lauknya sate?!"
  "Ya. Kan, bisa aja belinya di depan rumah, atau semacamnya, mungkin."
  "Hehe ... Iya deh. Kenapa nggak makan nasi? Ntar sakit mag, lho."
  "Nanti aja lah, soalnya sekarang masih kenyang. Kamu sendiri, sudah makan?"
  "Belum!"
  "Lho, kok belum? Kenapa?! Nanti sakit, lho!"
  "Bentar lagi deh, lagi nggak ada selera, nih"
  "Kok nggak selera?"
  "Nggak tau juga, nih. Mungkin sedang nggak nafsu aja. Ntar juga pasti makan kalau sudah merasa lapar. Hehe ..."
  "Iya deh, kalau gitu."

    Sebuah kalimat yang terkesan ingin mengakhiri percakapan, seperti itu lah kalimat terakhir dalam chat yang tak lagi kutemukan kelanjutannya untuk sebuah balasan. Selang beberapa jam, malam itu aku kembali mengirimkan sebuah chat kepada gadis itu. Namun kali ini bukan sebentuk pesan, apa lagi sebuah sapa. Kali ini aku mencoba mengirimkan sebuah photo dirinya yang sempat aku copy-pastekan dari salah satu sosial media miliknya, lalu kuedit dengan mengisi syair-syair sederhana di tampilan photo miliknya tersebut.
Dan aku terus menghitung hari
Akan lebih sempurna jika itu denganmu.
Jika tidak ...
Aku akan menarik napas tiga kali, lalu berkata;
   'apa pun tentang kehilangan
   Aku merasa biasa saja.
   Kecuali --kehilangan kepercayaan
   diriku untuk tetap ingin denganmu'.
  Tidak terlalu lama, chat yang kukirimkan kepadanya mendapatkan respon darinya.

  "Lagi apa?"
  "Nggak lagi apa-apa, cuma buat kata-kata aja, nih. Kalau kamu?
  "Sama. Aku lagi duduk-duduk aja."
  "Nggak keluar, ya?"
  "Kemana?"
  "Ya ... Ke mana aja. Hangout, mungkin?!"
  "Nggak, ini di rumah aja, kok."
  "Tumben!"
  "Kok tumben, sih?"
  "Habis, biasanya kan, kamu paling nggak betah kalau di rumah"
  "Ini, kan, udah malam. Mana dibolehin juga lah sama ortu keluar malam-malam!"
  "Iya juga, ya! Boleh tanya sesuatu, nggak?"
  "Apa tuh?"
  "Hmmm ... Kangen nggak, sih, sama aku? Haha" dengan mencoba dengan perasaan yang pe-de gila aku memulai sebuah keseriusan yang kubuat sebagai canda.
  "Kasih tau, nggak, yaaa?!"
  "Nggak maksa juga, sih. Kalau dikangenin. Ya, syukur. Tapi kalau nggak, ya, kangenin, dong! Wkwkwk ..."
  "Kangen, kok!"

    Mulanya, pernyataan darinya tersebut sempat membuat diriku gede rasa. Tetapi, beberapa kali kata-kata itu kubaca dengan berulang-ulang, aku mendapati sebuah gambaran dalam kepalaku, sebuah ekspresi dirinya ketika menuliskan kalimat tersebut.
    Kalimat itu terkesan tidak memiliki nyawa sama sekali, terasa begitu flet, dingin, dan datar saat membacanya. Semua terasakan tak ada memiliki makna di dalamnya. Menurut apa yang digambarkan oleh otakku, kalimat itu dinyatakannya hanya sebagai sekadar saja, agar diriku tidak berkecil hati atau mungkin juga dirinya yang merasa tidak enak hati bila harus berterus terang dengan kejujuran hatinya. Tapi ... Entahlah! Hanya Allah sajalah yang mengetahui kebenarannya.

  -- Sederhana saja!
      Jika kamu simpan lebih banyak itu
      keraguan dari pada kepercayaan.
      Jangan pernah mencoba untuk
      menjalani suatu hubungan.
      Karena, mau bagaimana pun juga,
      hubungan itu tidak akan bertahan.

Sang MusafirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang