Hari ini bisa dikatakan sebagai hari paling membahagiakan bagi Giga. Bagaimana tidak kalau tadi pagi sampai sore ini ia habiskan dengan orang seasyik Gatta. Tidak hanya Gatta, tapi juga Gefta.
Tadi tepat pukul dua belas siang Gatta menelfon Gefta; menyuruhnya pulang. Awalnya remaja itu menolak, tapi ayahnya 'mengancam' akan memberitahu Cilla tentang absennya dia di sekolah. Gertakan itu berhasil membawa Gefta pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan pulang remaja itu berpikir darimana Gatta tahu kalau ia bolos sekolah. Jawabannya didapatkan ketika Gefta sampai di rumah. Ia menemukan sosok Giga di ruang tamu. Adiknya lah yang membeberkan semua.
Kendati demikian tak membuat emosinya meluap. Bukannya memarahi Giga Gefta malah berlari untuk memeluk tubuh adiknya erat. Kejadian itu tak hanya mengejutkan, tapi juga membingungkan.
Gefta merasa tak bisa lagi terus-terusan menjauhi adiknya. Ia tidak kuat menjalankan peran sebagai mana harusnya. Tepat di siang ini Gefta menyerah. Rasa rindunya pada Giga tak bisa dibendungnya.
"Ngapain lo ke sini?!" secepat kilat Gefta berubah. Ia melepas pelukan.
Giga tak tersinggung sama sekali. Ia tahu jika perubahan Gefta semata-mata untuk mentupi kerinduannya. Giga hapal kalau masnya memiliki gengsi tinggi. Kakaknya itu tidak pernah mengungkapkan perasaanya secara langsung. Sebagai gantinya Gefta melontarkan pertanyaan sarkas seperti tadi.
"Lah Mas Ge ngapain peluk aku?" ucap Giga balik nanya.
Satu jitakan kasar mendarat di kepala Giga. Gefta kembali memeluk adiknya. Giga hanya bisa diam sementara Gefta merasakan satu persatu penyesalan yang datang.
"Jadi kamu ya yang ngasih tahu Bapak kalau Mas bolos sekolah?" tanya Gefta kembali melepas pelukannya.
"Aku dikasih tahu Miss Indi," jawab Giga.
"Anak-Ibu sama-sama ember," kata Gefta memutar kedua bola
Kemudian hening. Semakin terasa sepi ketika Gatta memilih mengudurkan diri. Pria itu izin beli lauk untuk makan siang. Padahal mah cuma alasan. Gatta tahu ada yang mau Gefta bicarakan dengan adiknya. Untuk itu ia pergi.
"Gi," panggil Gefta.
"Hm?"
Gefta duduk di sebelah adiknya. "Mas minta maaf atas sikap kekanakan Mas selama ini," ucapnya sembari menoleh.
Theodore Gigansa Rajaya-harusnya marah karena sikap semena-mena Gefta. Harusnya Giga yang mencampakan Gefta bukan malah sebaliknya. Tapi, tidak. Semarah apapun ia pada kakaknya ada satu hal yang bisa membuatnya menyingkirkan jauh-jauh rasa kesalnya. Mereka tidak akan bisa marahan dalam jangka waktu yang lama.
"Aku mau maafin, tapi ada syaratnya!"
"Apapun selama Mas bisa kenapa enggak?"
Giga menoleh. Menatap Gefta dengan satu alis terangkat dan anggukan singkat. "Bantuin aku susun lego baru!"
Menyusun lego baru?
Gefta tersenyum. Itu yang paling ia rindukan selama berjauhan dengan adiknya.
"Kamu punya yang baru emangnya?"
Giga mengangguk mantap. "Ayah-Bunda beliin!"jawabnya.
Mendengar kata Ayah-Bunda membuat Gefta tersenyum. Bagaimana kabar kedua orangtuanya? Apa mereka baik-baik saja?
Selama tiga minggu ini selain menjauhi Giga Gefta juga menjauh dari Cilla-Pande. Mereka hanya bertukar kabar lewat pesan tanpa pernah bertemu. Si bunda sering meminta bertemu, tapi Gefta tidak mengiyakannya.