Sepanjang perjalanan menuju rumah baik Cilla maupun Giga masih terus bercerita tentang Gatta. Bahkan sampai sekarang—saat mereka(ditambah Gefta) sudah di dalam rumah menikmati makan malam.
Ada saja yang Cilla, Gefta, dan Giga bahas. Terlebih si wanita. Ia terlihat paling bersemangat saat menceritakan masa lalunya dengan Gatta. Apalagi membahas sikap pria itu. Ia tidak segan menjelek-jelekan nama Gattara di hadapan kedua putranya.
Hal itu membuat Pande muak. Demi apapun yang ada di dunia ini tidak bisakah mereka berhenti atau paling tidak membahas hal lain? Kenapa harus Gatta?
"Kenapa nggak dihabisin, Mas?" tanya Cilla begitu tahu Pande menyudahi aktivitas makan.
"Kurang bumbu atau keasinan? Atau nggak enak?" lanjutnya bertanya.
"Aku udah kenyang," dusta si pria.
Pande segera beranjak menuju tempat sampah. Hatinya teriris ketika membuang makanan tak berdosa itu ke plastik sampah. Bagaimana bisa ia membuang makanan di saat orang lain membutuhkan makan?
Bukan hanya Pande yang sedih atas perilakunya. Tapi juga tiga orang yang ada di ruangan ini. Cilla, Gefta, dan Giga serentak menatap Pande dengan sorot mata kecewa.
"Y-yah? Bukannya Ayah pernah bilang kalau buang makanan bukanlah hal yang baik—"
"Ayah akan menebusnya dengan berpuasa besok," potong Pande cepat.
Pranande Lalu Rajasa adalah orang baik. Benar-benar baik di mata Cilla, Gefta, Giga, dan semua orang yang mengenalnya. Pria itu selalu mengajarkan kebaikan. Bahkan sebagian orang—salah duanya Gefta dan Giga— menjadikannya sebagai panutan.
Pande pantas dijadikan sosok panutan karena kebijaksaaannya dalam mengatasi masalah. Pria itu tak pernah marah, mencaci, atau memaki sekalipun orang-orang disekitarnya membuat kesalahan dan mengecewakannya. Pande adalah sosok sempurna untuk ukuran manusia.
Lalu sekarang pria itu berhasil membuat orang sekitarnya kecewa.
Tak menghiraukan tiga pasang mata sedang menatapnya setelah mencuci piring dan gelas kotor Pande langsung mengundurkan diri. Menyadari ada yang tidak beres Cilla memutuskan menyusul pria itu.
"Kamu kenapa?" tanya Cilla begitu mereka sudah menjauh dari jangkauan anak-anak.
Tadinya Pande ingin mempertahankan sikap acuhnya pada Cilla. Ia ingin mengabaikan wanita itu untuk sebentar saja. Tapi tidak bisa rupanya.
Pande menoleh—membalas tatapan si wanita. "Enggak papa," jawabnya asal.
"Di kamus cewek kata 'tidak papa' atau 'enggak papa' itu berlaku sebaliknya. Tidak papa sama dengan kenapa-napa," jelas Cilla tersenyum menggoda.
"Sayangnya di kamus cowok nggak ada kebalikan. Aku bilang nggak papa ya berarti nggak papa," jawab Pande meraih wajah Cilla. "Emangnya aku kenapa?"
"Kamu berbeda?"
Pande menyungingkan senyum. Senyum yang dibuat-buat bukan senyum dari hati. Kentara sekali.
"Sok tahu!" katanya menjawil hidung Cilla.
"Mulut kamu bisa bilang nggak papa, tapi sorot mata kamu nggak bisa menutupi kebenarannya."
Telak. Pande kalah.
Pria itu kembali tersenyum. Senyum miris kali ini. "Aku emang nggak pandai dan nggak bisa bohongin kamu."
"Mau cerita?" tawar Cilla.
Beberapa detik sampai berganti menit tidak ada jawaban. Mungkin Pande belum siap bercita. Jadi baiklah ia tidak akan memaksa.
"Oke kalau kamu masih belum siap."