Lima menit lalu Gefta menumpahkan semua emosi, rasa kesal, bahkan ketakutannya melalui pukulan yang dilayangkan ke seluruh tubuh Giga. Bertubi-tubi, tanpa henti. Bahkan teriakan bunda yang memintanya berhenti tak digubrisnya.
Gefta kalap. Andai saja tak ada Gatta mungkin Giga akan berakhir di rumah sakit. Kakaknya benar-benar tak memberi izin untuknya bernapas. Pukulan demi pukulan menghujani setiap bagian tubuh dan wajahnya.
Si sulung berhasil dikendalikan. Saat ini ia sedang di kamarnya ditemani Gatta. Gefta sedang menangisi kebodohannya. Sementara remaja yang tadi dihakimi sedang terbaring lemah di atas ranjang kamar Cilla. Giga menahan perih saat ibundanya mengobati beberapa luka yang ada di tubuh terutama bagian wajah.
"Tahan. Ini yang terakhir," ucap si Bunda.
"Esh," untuk yang kesekian kali ringisan kecil itu terlontar dari mulut Giga.
Cilla ikut merasakan perih ketika menempelkan kain yang sudah dibasahi air dingin ke wajah Giga. Penuh dengan kehati-hatian ia membersihkan darah yang mulai mengering. Rasanya lebih menyakitkan ketika melihat putranya seperti ini.
Nanti usai mengobati luka-luka Giga ingatkan Cilla menghampiri Gefta. Ia akan membalas perlakuan semena-mena sulung pada Giga. Cilla tidak akan segan balik menampar dan siap menceramahi Gefta selama berjam-jam. Awas saja!
"Selesai," ucap Cilla tersenyum manis, tapi sorot matanya sedih.
Kemudian wanita itu membereskan baskom berisi air, kotak P3K, serta tetek bengeknya. Dirasa rapi Cilla meletakan barang-barang itu di atas nakas. Ia tidak berniat mengembalikan barang-barang ke tempat semula karena ingin menemani Giga. Cilla akan menenangkan si bungsu sampai remaja itu tertidur.
Cilla membaringkan tubuh di sebelah Giga. Remaja itu langsung memeluk si Bunda.
"Maaf sudah membuat Bunda khawatir. Maaf sudah membuat Bunda menangis," ucap Giga penuh sesal.
Sebelum kejadian ini Giga tidak pernah membuat Cilla marah atau menangis. Ia dan Gefta selalu jadi anak manis. Mereka tidak pernah berulah apalagi sampai membuat ibunya kerepotan. Mereka tidak pernah membuat wanita itu khawatir berlebih. Kemudian hari ini Giga melakukannya. Ia melalukan kenakalan yang membuat bundanya meneteskan air mata.
Tuhan, ampuni Giga.
"Maafin Giga ya, Bunda. Maafin Giga udah nakal hari ini," ucap remaja itu tak ada henti-hentinya.
Cilla menggeleng. Tangannya mengelus rambut anaknya penuh cinta. "Bukan Giga yang salah. Bukan Giga yang seharusnya meminta maaf. Melainkan Bunda," ucapnya disela tangis.
"Maafin Bunda, Gi. Maaf sudah egois. Maaf sudah mengabaikan Giga."
"Tadi Giga cuma kesepian aja, Bun. Karena tahu Bunda bakalan pulang malam Giga pergi ke keramaian. Giga keliling Jakarta," ucap Giga mendongkakan wajahnya, menatap si bunda.
"Maaf sudah bikin Bunda khawatir. Giga janji nggak akan pergi sebelum Bunda kasih izin," lanjutnya.
Bukan kesalahan Giga. Apa yang terjadi hari ini adalah kesalahan Cilla. Anaknya tidak akan keluar kalau ia tak merasa kesepian. Harusnya Cilla tahu kalau Giga tidak bisa dibiarkan sendiri. Apalagi dalam jangka waktu lama. Remaja itu benci sepi. Remaja itu pasti ketakutan tadi.
"Bunda janji nggak akan ninggalin atau membiarkan kamu sendirian lagi. Bunda akan temenin Giga kalau Mas Gefta nggak ada."
"Aku mau ditemenin Bunda sekarang aja. Bunda peluk Giga kayak gini sampai pagi ya?" katanya.
Cilla mengangguk sembari membalas pelukan anaknya.
Dan kenapa pelukannya terasa berbeda? Terasa lebih hangat dan menenangkan.