Aurell melirik sekilas layar handphone diatas mejanya yang sedari tadi bergetar. Seperti tak mengenal lelah, si penelfon diseberang sana tidak henti-hentinya terus menelfon.Aurell hanya bisa meringis dengan kedua tangannya memegangi perutnya, meremas kuat perut yang masih terlapisi oleh seragam putih abu-abu itu hingga seragamnya sedikit menjadi lecek.
Sakit diperutnya begitu menyiksa hingga rasanya Aurell ingin menangis. Jangankan untuk berjalan pulang, bahkan untuk menggapai handphonenya yang berjarak tak begitu jauh dari jangkauannya saja Aurell harus bekerja keras menahan sakit diperutnya yang seakan diremas-remas.
Padahal kini kelas telah sepi, hanya menyisakan dirinya seorang yang masih terduduk ditempat duduknya.
"Azka.. sakit" air mata yang sedari tadi ditahannya pun kini lolos seketika. Aurell memejamkan kedua matanya, berharap orang yang dipanggilnya dapat merasakan panggilan hatinya.
Sedangkan didepan pintu gerbang sekolah seorang pria tampan bak model yang sedang menyandarkan tubuhnya pada lamborgini hitamnya dengan kedua tangan bersedekap didepan dada dan posisi kakinya yang berdiri dengan posisi disilangkan.
Beberapa kali tangannya bergerak membenarkan posisi kaca mata hitam yang bertenger dihidung mancungnya. Ia sendiri heran mengapa tangannya tiba-tiba tidak bisa diam seperti itu.
Apa hanya karena kacamatanya yang melorot dari posisi seharusnya?. Ahh sepertinya tidak. Hidung mancungnya tidak mungkin mendadak pesek. Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Khawatir? Mungkin.
Tubuhnya hampir saja terjengkang saat satu kakinya yang ia gunakan sebagai pusat tumpuan berat badannya kini hampir oleng karena tersengat rasa pegal.
"Gadis kecil dimana kamu, hobi sekali membuatku khawatir" Azka menegakkan tubuhnya. Tangannya kembali merogoh saku jaketnya. Matanya kembali menyiratkan rasa khawatir yang begitu kentara saat melihat layar ponselnya masih sama. Tidak ada balasan dari puluhan pesan yang ia kirimkan kepada gadisnya. Jangankan dibalas. Dibaca saja tidak.
Azka menggeram kesal. Ingin rasanya membanting benda pipih keluaran terbaru itu untuk melampiaskan emosinya. Sebenarnya dimana Aurell, kenapa belum muncul juga, padahal sekolah sudah terlihat sepi.
Azka ragu untuk masuk kedalam area sekolah, siapa yang tahu mungkin saja nanti gadisnya itu akan marah pada dirinya dan mendiamkannya. Well, Aurell memang seperti itu kan. Aneh. Tapi Azka merasa dirinyalah yang lebih aneh. Mengapa bisa ia jatuh dalam pesona gadis kecil memyebalkan yang dulu sangat ia benci.
Itu karma Azka. Sebagian hatinya meneriaki.
Ya. Mungkin karma atau lebih baik ia menganggapnya hikmah atau Anugerah. Itu terdengar jauh lebih baik.
"Rell kamu dimana sayang"
"Jangan-jangan dia mau kabur lagi dari gue. Ah, Azka bego" Azka mengacak rambutnya frustasi, membuat rambutnya sedikit berantakan dan terlihat lebih. Tampan.
Azka kemudian berlari kedalam area sekolah. Kedua mata elangnya menelusuri setiap sudut sekolah. Memastikan dimana keberadaan Aurell.
Perduli setan kalo nanti Aurell marah, yang terpenting saat ini ia bisa melihat Aurell dengan matanya dan memastikan gadis itu tidak akan kabur dari dirinya dan pernikahan mereka yang akan berlangsung tiga hari lagi.
Azka mengayunkan kedua kaki jenjangnya ke menuju area dalam sekolah, ia memelankan langkahnya ketika telinganya menangkap sebuah suara. Sepertu suara.. tangisan.
"Kok gue merinding ya, jangan-jangan" Azka memegang tengkuknya saat merasakan bulu kuduknya berdiri.
"Tapi gue harus cari Aurell, lagian kemana sih tuh anak jangan-jangan lagi selingkuh, awas ajah kalau benar gue tidurin beneran tuh anak"