Suasana riuh memenuhi ruang kantin sesaat setelah bel dibunyikan.
Disudut kantin Azka and the geng sudah mendudukan bokongnya dengan anteng ditempat biasa mereka, kenapa tempat biasa? Ya memang tempat itu hanya untuk mereka. Tak ada yang berani duduk disana. Kalau ada sama aja mereka cari mati.
"Ka" merasa jengah dengan Azka yang masih saja diam meanatap jus strawberry dengan tangannya yang sesekali mengaduknya dengan sedotan membentuk gerakan memutar.
Andre yang tepat berada disamping Azka menyenggol bahu Azka untuk menarik perhatian Azka. Tapi Azka tataplah Azka. Si batu keras dan dingin. Bahkan telinga pria itu sekan tuli mendadak. Atau memang Azka sengaja menulikan indera pendengarannya.
"Bang Azka yang cute, diem-diem baek sih, hayati kok dikacangin. Dikacangin gak enak tau" Teman-teman Andre lainnya bergidik ngeri ketika melihat Andre menggunakan kembali logat bencong itu.
"Sarap loe ndre"
"
Mata Azka yang sedari tadi menunduk itu kini tengah terpaku. Menatap tajam pemandangan didepannya. Aurell. Gadis yang ia tolak beberapa hari yang lalu. Kini tengah memasuki kantin.
Suara bising yang sedari tadi memekakan telinganya, kini bahkan tak terdengar lagi. Seakan semuanya bisu dalam pendengarannya saja.
Dan lihat itu. Senyum ceria sudah nampak kembali dari bibir manis gadis itu. Bukankah seharusnya Azka tak memperdulikan gadis itu lagi.
Tapi kenapa saat ia melihat gadis itu menangis. Hatinya terasa sakit. Saat melihat gadis itu menjauhinya. Hatinya seakan tak rela dan ingin gadis itu mengejarnya lagi seperti dahulu.
Bahkan yang lebih aneh, saat ini hatinya seperti merasakan. Cemburu. Ah, tidak mungkin kan ia cemburu. Namun bisa diberi nama apalagi yang pantas, saat hatinya merasa tidak senang ketika melihat kenyataan bahwa gadis itu dapat tersenyum dan satu hal yang pasti. Bukan dirinyalah yang menjadi alasan bagi gadis itu untuk tersenyum. Lagi.
Dan.
Kenapa sekarang dadanya serasa terbakar oleh bara api yang tak kasat mata. Kenapa tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. Kenapa rasanya ingin menerjang atau lebih tepatnya membunuh lelaki didepan sana yang sedang tersenyum bersama gadis itu.
Bukankah dia salah. Atau hatinya yang salah. Ray. Kenapa harus Ray. Sahabat yang sudah ia anggap saudaranya sendiri yang kini menjadi penggantinya untuk gadis itu.
Azka mengalihkan pandangannya sesaat setelah pandangannya jatuh pada tautan tangan kedua sejoli didepan pintu kantin yang sedang tertawa bersama itu.
Perempuan emang sama. Kemarin ngemis cintanya. Setelah ditolak, gampang banget move onnya. Munafik. Begitu pikir Azka.
Azka menolehkan kepalanya saat tepukan dibahunya menarik paksa dirinya dari perdebatan sengit yang kini tengah berlangsung antara logika dan nuraninya.
Namun. Seberapa kuat nurani berbicara, si arogant Azka akan lebih memenangkan logikanya. Bukankah hatinya telah mati. Ikut mati bersama sahabat masa kecilnya yang diam-diam ia cintai. Hingga ia menyakiti gadis yang tanpa ia sadari telah mengisi kembali kekosongan dihatinya yang telah lama mati itu.