SM - 8

15 3 0
                                    

Brukk....

Buku yang Saras bawa berjatuhan di lantai akibat bertabrakan dengan seseorang.

"Kalo jalan pake kaki dong! Jalan pake sikut, ya nabrakin orang gini nih jadinya." Saras berceloteh tanpa melihat siapa yang menabraknya. Dia tak peduli. Tapi si penabrak nyatanya hanya diam ditempat tanpa membantu Saras. Itu tambah membuatnya semakin kesal saja.

"Sorry." Enak bener cuma omong gitu? Sesaat, Saras menyadari suara berat itu terdengar familiar di telinganya. Ya, entah kenapa tiba-tiba bulu kuduknya jadi merinding. Eh, emang ini orang jin apa setan? Ngapain merinding segala.

"Hm." Jawab Saras singkat. Kemudian setelah dia berdiri berhadapan dengan orang itu, matanya langsung melotot. "Huh...lo lagi?"

Saras menatap masam wajah Arga. Arga sendiri memandang dengan ekspresi datarnya. Bagaimana bisa si cewek judes nan nyinyir bersama cowok dingin nan irit bicara? Entahlah.

"Pantesan nggak bantuin. Eh...orang ini toh." Cibir Saras.

"Lo punya tangan sendiri 'kan? Ya gunain lah." Balas Arga sambil berlalu melewati Saras seenaknya. Dengan cepat Saras mencekal lengan Arga.

"Lo bisa nggak menghargai orang dikit aja? Gue masih inget, lo seenak jidat buang pemberian dari penggemar berat lo. Padahal mereka tuh antusias banget ngasihnya."

"Terus masalahnya?"

"Paling enggak lo 'kan bisa nyimpen atau kalau nggak suka ya kasih sama yang lebih membutuhkan."

"Tapi....." Arga berseringai, lalu memajukan wajahnya ke wajah Saras. "Sayangnya gue sama sekali nggak butuh. Semua itu nggak ada gunanya buat gue. Kalau pun gue mau sesuatu, gue bakal beli atau nyari sendiri. Bukan dari pemberian orang lain." Tegasnya.

"Heh, mentang-mentang lo kaya, semua pasti bakal lo dapetin gitu?" Saras menggeleng-gelengkan kepalanya. Kalimat yang terucap dari mulut Arga terdengar begitu sadis baginya. "Gue heran sama cewek-cewek itu? Kok bisa suka sama cowok muka datar plus rese kayak lo? Elah, bego bener."

"Lo sirik gitu?"

"Gue? Ngapain sirik sama orang macem elo yang gak ada bedanya sama patung macan yang di deketnya trotoar?" Ucap Saras sarkastik.

"Gue kakak kelas lo!"

"Eh, sekalipun gue adek kelas harusnya lo sebagai cowok gentle juga menghargai orang gitu. Sikap cool seorang Arga yang dipuja-puja cewek malah bikin gue enek asli. Lo sama Ferly emang sok kecakepan, bedanya dia lebih ramah dan peduli sama ora..."

"Jangan bandingin gue sama orang lain!" Potong Arga cepat.

"Kenapa? Nggak suka lo?" Sekarang gantian Arga yang mencekal lengan Saras. Dirinya menatap dingin Saras. Yang ditatap tidak takut, malah membalas dengan kilatan kemarahan yang sama.

"Lo.....hobi nyolot sama orang ya?" Saras diam. Dia tak bisa berkutik ketika Arga mulai mendekatkan diri ke tubuhnya. Punggung Saras terbentur dinding dibelakangnya, dia tak punya akses lagi untuk kabur karena kanan dan kirinya ada rak-rak buku.

"Kenapa tegang? Kamu takut?" Bisik Arga sangat pelan di dekat telinga Saras. Hembusan nafasnya yang berat begitu terdengar, membuat Saras merinding dan mati kutu. "Saraswati...."

Saat Arga semakin mendekat ke wajahnya, refleks dia menampar pipi Arga keras. "Sar..akhh..!" Arga mengelus pipinya yang memerah itu. "Lo bener-bener ya..."

"Apanya? Gue 'kan punya tangan sendiri, makanya gue pakelah!"

"Lo persis troll ternyata. Galak iya, sangar iya, kejem iya, kasar iya, killer iya."

"Mau gue kayak apa itu mah gak penting ples bukan urusan lo!" Saras mendorong pelan tubuh Arga dari hadapannya. Dia menghentak-hentakkan kakinya karena Arga tidak mau memberi jalan keluar. Bahkan buku-buku yang akan dia pinjam itu sudah bersiap untuk melayang di kepala Arga.

"Iya iya, gue minggir." Saras masih saja sempat menyikut perut Arga saat lewat. Yang dilewati hanya menarik salah satu sudut bibirnya setelah punggung gadis judes itu mulai terlihat samar-samar.

*********

"Maaf, Dek. Kakak nggak berma..."

"Udahlah. Nggak perlu dibahas, aku capek." Potong Arga cepat. Dia segera melangkah menjauhi kakaknya yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Kakinya menuju ke arah jendela, mengingat satu jam yang lalu setelah pulang sekolah hujan turun cukup deras. Semilir angin yang sejuk masih setia memenuhi hawa ruangan itu ketika jendelanya dibuka.

"Kakak mau bicara sebentar sama kamu. Tolong dengerin dulu." Arga menoleh. Dia memasang wajah datar tanpa ekspresi. Semenjak kepulangan Akash kemarin, dia sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun kepadanya. Rasa kecewa dan sakit masih memenuhi hati Arga.

"Aku mau istirahat, besok aja."

"Tapi, Dek seben...." Arga mendorong paksa tubuh Akash dari pintu kamarnya. Kemudian dia mengunci pintu agar tak ada yang bisa masuk lagi. Dia sangat malas diganggu untuk saat ini.

"Gimana, Kash?"

"Hm, Arga bener-bener kecewa, Pa. Harusnya dua tahun lalu, Akash pulang dan nggak batalin penerbangan itu." Akash memandangi pintu kamar berwarna silver disebelahnya. Sejenak, dengan tatapan merasa bersalah. "Sayang, nasi sudah menjadi bubur."

"Semua akan membaik. Tak perlu khawatir, kamu tahu persis seperti apa Arga itu." Gibran—dia memberi tepukan pelan dipunggung putra sulungnya itu.

"Iya, Pa. Selalu kucoba." Mereka kemudian menuju ke ruang tamu. Disana terlihat Victoria dan Abel yang bersenda gurau.

"Sayang, kamu sudah bicara sama Arga?"

"Belum, Ma." Akash menjawab lirih. Victoria menyuruhnya duduk bersama sang suami.

"Nggak papa. Biarkan dia sendiri dulu ya, Kash."

"Iya."

"Kamu jadi ditempatkan di rumah sakit mana, Kash?" Tanya Victoria.

Akash itu sekarang sudah mendapatkan gelar sebagai seorang dokter. Terbilang singkat mungkin jika dibandingkan usianya yang masih 21 tahun. Entah bagaimana prosesnya dengan berbekal gelar S-1, dia langsung menjadi dokter saat kembali ke Indonesia. Saat SMP dan SMA, Akash mampu menempuh dalam waktu 4 tahun saja. Bahkan kuliahnya mampu dia selesaikan dalam 3,5 tahun. Arga pun tak kalah jeniusnya. Tapi dia lebih memilih menjalani masa sekolah pada umumnya, walaupun berkali-kali ditawari masuk kelas akselerasi. Target Arga yang sebenarnya malah terdengar gila. Dia ingin menyelesaikan S2 jurusan Manajemen Bisnis dengan waktu 4 tahun. Sungguh gila. Mereka memang jeniusnya kebangetan.

"Rumah Sakit Kusuma Jaya."

"Loh kalo gak salah, bukannya itu dekat SMA nya Arga, Sayang?" Akash mengangguk pelan.

Abel yang berada disebelah Victoria memandangi wajah kakak tirinya itu dengan seksama. Kemudian dia menangkupkan kedua tangannya ke pipi Akash. Sontak Akash terkejut karena perlakuannya.

"Kak Akash sedih ya? Nanti biar Abel yang marahin kak Arga. Pokoknya sampe kapok." Akash tersenyum lebar.

Memang sejak Abel lahir ke dunia, sampai dia berumur lima tahun, dia tak pernah ada bersamanya. Hanya sekedar lewat video call, Victoria sering mengatakan kalau Akash juga kakaknya. Mereka dekat dari sebuah layar tapi dia sama sekali tak menyangka akan sedekat ini dengan adik manisnya itu. Direngkuhnya tubuh mungil tersebut ke dalam dekapan Akash, dielus-eluslah rambut sebahu Abel yang beraroma strawberry itu.

"Iya, makasih Abel cantik. Kamu tumbuh cepat sekali ternyata ya."

"Iya dong, Abel 'kan sering makan eskrim matcha jadi cepet gede."

"Bel, mana ada teori kayak gitu? Masak iya gede karena sering makan eskrim." Kata Gibran.

"Loh kata kak Arga gitu kok, Pa. Makin banyak makan eskrim, Abel tambah besar jadinya." Ungkapnya polos.

"Arga minta dijewer ya kupingnya," Keempat orang itu tertawa bersama meskipun tadi sempat adanya ketegangan mengenai Arga.

_________

a.n :

Tapi tetep semangat ikutin cerita ini yaa
Thanks all

Stay MagicalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang