Ranjangku tak begitu

23.9K 399 17
                                    

"Aku mau cerai." ucapku dingin. Aku bahkan tak merasakan desiran saat mengucapkannya. Kutujukan untuk lelaki yang menikahiku 10 tahun lalu.

"Yang begitu kok dijadiin bahan becandaan sih bun." Dia menjawab dengan senyum simpul sedang aku sudah muak melihatnya, berdekatan apalagi seatap dengannya.

"Baik, akan ku urus ke pengadilan besok." Kutinggalkan dia pergi tapi tangannya berhasil menarik tubuhku yang tak siap. Dipeluknya aku. Entah kapan terakhir kali dia memelukku seerat ini. Aroma keringat bercampur sisa parfum tadi pagi menyeruak ke dalam hidungku. Dulu, aroma ini yang sangat aku cintai. Dulu, aku meminta manja, bersandar centil mengharapkannya. Baru dia lakukan sekarang. Saat aku sudah tak ada rasa, sumpah.

"Mas Ghazi aku ga mau. Cukup!" Suaraku meninggi. Pelukannya semakin erat dan membimbingku ke sana. Ranjang. Tempat yang sudah setahun ini aku benci.
Aku menanti sambil kecewa. Rumah tangga macam apa yang selama setahun tidak pernah saling menjamah? Kami bicara, tertawa bahagia, tapi salah satu ruang dihatiku tak disentuhnya. Aku sengsara.

Ranjang itu apa sih? bukankah tempat melepas lelah dan berbagi ekspresi cinta? Aku mau ranjang seperti itu tapi ranjangku tak begitu.

Sudah setahun kami tidak berhubungan badan layaknya suami istri. Rumah tangga kami tidak terhalang jarak, pola komunikasi baik dan asupan gizi terpenuhi, maka sebagai wanita dewasa di usia awal 30an gairahku masih wajar jika tidak bisa dibilang tinggi.

Malam itu, tubuhku berdekatan dengan Mas Ghazi. Namun tenanglah. Tetap tidak terjadi apa-apa. Dia hanya terus menciumi pipi dan keningku, menangis minta diizinkan tidur sambil memelukku hingga pagi.
“Harusnya tidak apa-apa kan Rai? Toh kamu memang sudah tidak mengharapkannya?” batinku.
Aku mendengus sebal. Apa artinya aku tidak benar-benar mati rasa karna selintas sedih itu masih ada. Episode berulang. Sudah sedekat inipun tetap tak dijamah.

Sejujurnya aku bingung mengapa tangis Mas Ghazi sepedih itu? Bukankah harusnya aku, yang sakit hati. Berulang kali aku meminta nafkah batin, menggoda seperti wanita murahanpun sudah kucoba. Pada akhirnya malam ini aku sadar bahwa perkataanku tadi hanya ancaman dan bentuk protesku yang paling frontal. Aku masih mencintainya, sangat. Memikirkan lelaki lain tak pernah berani ku lakukan.

Argh seandainya Mas Ghazi tahu bagaimana aku berjuang menjaga diri dari para penggoda yang berlomba memberi perhatian manis pada istrinya, sepantasnya dia murka karna cemburu.

***

Fikiranku masih tak tenang. Rasanya seperti menyusuri belantara hutan lebat, penuh sesak meski kadar oksigennya banyak. Sibuk membenarkan diri bahwa hanya aku yang tersakiti dan Mas Ghazi yang  mendzalimi. Keluhanku berhenti ketika ada getar dari gawai Mas Ghazi.

Ku ketuk kombinasi kunci untuk membukanya. Notifikasi SMS. Siapa yang masih pakai sms zaman sekarang? Penasaran, aku buka.

"Ghazi, besok Jangan telat ya. Aku tunggu di ruanganku jam 11. Makan siang besok dilarang nolak dan aku yang bayar. 😊"

Ku baca nama yang tertulis di layar "Sha". Hanya Sha? Lelaki atau perempuan?
Benciku makin menjadi. Baru saja aku ingin beranjak menggeledah tas kerja mencari petunjuk lain, tangan Mas Ghazi menggeliat dan langsung  memelukku lagi. Tak bisa bergerak. Wajahnya dekat sekali. Dia masih tampan seperti biasanya.
Ingin aku mendekat lebih, tapi tidak. Tak akan, sampai dia sendiri yang sadar untuk memberi.

Berjeda..

RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang