Rasaku bernama apa

1.4K 90 11
                                    


"Assalamu'alaykum..Rai? Sayang.." sayup-sayup kudengar suara Mas Ghazi memanggil. Apa ini mimpi? Pulang dari acara camping staminaku drop. Flu berat. Kepalaku pusing seharian ini. Alhamdulillah setelah minum obat agaknya membaik. Aku meregangkan tubuh sebelum benar-benar bangun dan memastikan apakah itu Mas Ghazi atau bukan.

Pintu kamarku terbuka. Ada sosok itu di pintu. Kekasih hatiku.

"Mas, udah pulang? Maaf ya aku flu berat jd daritadi tidur aja. Anak-anak aku titip di Ummi dulu Mas." Ada raut tidak senang di wajah Mas Ghazi saat aku mengatakannya.

"Ohh dititip. Ya udah kamu istirahat aja. Mas shalat dzuhur dulu abis itu jemput anak-anak."

"Mas udah makan siang?"

"Belum. Nanti aja gampang." Aku canggung dengan sikap Mas Ghazi. Bagaimana cara mencairkannya ya, fikirku.

Selagi Mas Ghazi bersiap shalat, aku hangatkan masakan pagi tadi. Ummi menitipkan Ayam bumbu rujak saat aku mengantarkan anak-anak. Ini masakan kenangan Mas Ghazi. Aku harus mencari waktu yang tepat untuk membicarakan Pak Ridwan dengan Mas Ghazi agar keadaan membaik.

Selesai shalat Mas Ghazi menghampiriku di meja makan.
"Kamu ngapain masak segala, katanya lagi sakit?"

"Ini cuma ngangetin masakan pagi kok Mas. Makan yuk.."

Kami berbincang santai tanpa membahas hal-hal yang tidak menyenangkan.

"Kemarin Syahril ikut camping?" Tiba-tiba Mas Ghazi bertanya.

"Eh? Mm..iya ikut. Kenapa Mas?" Aku berusaha menutupi kekagetanku dengan bertanya kembali.

"Ngga ga apa-apa. Mas cuma kefikiran aja. Rai..Mas kurang nyaman Kamu sering ketemu Syahril. Apa sebaiknya Farrah pindah sekolah aja?" Mas Ghazi memegang lembut tanganku.

"Mas cemburu?" Godaku.

"Bolehkan?" Dia bertanya.

"Sangat boleh." Balasku dengan senyum paling manis. Dalam hati aku bersorak bahagia karna suamiku semakin "normal" saja. Aku fikir kedatangan Pak Ridwan akan berpengaruh buruk dalam hubungan kami, ternyata Alhamdulillah tidak.

"Rai, jemput anak-anaknya sore aja deh. Mas istirahat dulu ya." Mas Ghazi menyelesaikan makan siangnya dan izin masuk ke kamar.

Aku sebenarnya bingung harus melakukan apa. Niat hati ingin melayani seluruh kebutuhan suami seperti sahabiyah melayani suaminya sebelum memberitakan hal menyedihkan tentang kematian anak mereka. Tapi aku takut justru mengganggu waktu istirahat Mas Ghazi.

"Rai..kamu lagi ngapain sih? Lama banget di dapurnya." Mas Ghazi muncul dari pintu kamar.

"Eh iya mas udah kok." Bergegas ku susul Mas Ghazi ke kamar.

"Sini Rai istirahat sama Mas aja." Kulihat Mas Ghazi sudah rebahan di ranjang.
Aku ikut merebahkan diri di sebelahnya.

"Kamu udah shalat dzuhur Rai?" Tanya Mas Ghazi.

"Udah kok Mas tadi."

"Masih pusing ya?" Tangan Mas Ghazi mengusap lembut rambutku mulai memijat keningku.

"Ngga mas, udah enakan."

"Anak-anak lagi ga ada Rai."

"Iya kan lagi dititip di Ummi Mas."
Tiba-tiba Mas Ghazi mendengus sebal.

"Mas kenapa? Aku salah ngomong ya?"

"Ngga. Udah istirahat aja. Itu ada oleh-oleh Mas simpan di kamar mandi." Jawab Mas Ghazi berbalik memunggungiku.

Aku bingung kenapa oleh-oleh disimpan di kamar mandi. Aku segera ke kamar mandi melihat oleh-oleh Mas Ghazi.

"Ahh cantik banget.." kemudian aku merutuki kebodohanku. Pasti karna sakit, otakku jadi tak bekerja sebagaimana harusnya.

Aku segera mandi, memakai hadiah dari suamiku. Sebuah baju tidur cantik berwarna hitam. Memakai wewangian dan berdandan sedikit.

Saat aku keluar dari kamar mandi, Mas Ghazi masih memunggungiku. Tidak boleh patah semangat, aku langsung menghampirinya, memeluknya dari belakang. Dia berbalik badan,

"Lagi sakit jadi mikirnya lama ya" dia mengusap rambutku dan mengecup keningku.
Kubalas dengan permintaan maaf dan melayaninya sepenuh hati.

***

Mas Ghazi tertidur sebentar setelah kami berhubungan. Aku membangunkannya sebelum masuk waktu shalat ashar.

"Sayang, bangun yuk..sebentar lagi masuk ashar." Dengan kecupan singkat di pipinya.

Setelah selesai mandi dan shalat ashar di masjid, aku ajak Mas Ghazi minum teh bersama.

"Rai, nanti pas sampe rumah Ummi kamu aja yang turun ya.." tidak kusangka Mas Ghazi membuka pembicaraan ini lebih dulu.

"Mas..tempo hari Ummi kesini..kalo aku cerita, apa Mas mau dengerin?"
Mas Ghazi menghela nafas dan diam. Sepertinya dia siap mendengarkan.

"Mas, tau ngga apa yang membuat aku tetap bertahan disamping Mas Ghazi setelah semua masalah yang Kita lewati?"

"Rai.."

"Karna aku cuma punya cinta buat Mas Ghazi. Aku lihat masalah Kita secara menyeluruh. Apa penyebabnya, bagaimana Mas Ghazi menghadapinya dan sekeras apa Mas berusaha untuk sembuh. Semua aku lihat. Aku ga akan bertahan jika Mas Ghazi tetap memaklumi kelainan Mas dan justru memilih terjerumus lebih jauh. Aku cuma mencintai satu laki-laki, berubah membencinya membutuhkan waktu dan kesiapan. Sedangkan hatiku ga pernah siap membenci Mas Ghazi.
Aku hanya setahun berjuang. Itu saja sudah berat.." Aku tercekat menahan air mata.

"Apa maksud Kamu bicara seperti ini Rai?" Wajah Mas Ghazi menegang tanda menolak mendengarkan.

"Ummi mas..Ummi. Puluhan tahun beliau hanya mencintai satu laki-laki yaitu Pak Ridwan. Kita sebagai penonton mungkin merasa bahwa Ummi aneh, bodoh, tapi itulah wanita. Dia mampu bertahan ada atau tanpa alasan. Alhamdulillah aku dan Ummi punya alasan.
Ummi sudah lama berjuang sendirian. Tidakkah pantas jika Kita mengizinkan Ummi bahagia di hari tuanya?"

"Apa alasan Ummi bertahan dengan dia itu pantas Rai?! Mas ga melarang Ummi bahagia asal bukan dengan dia!"

"Bagaimana bisa jika bahagia Ummi memang hanya dengan Pak ridwan?! Mas selalu bertanya kan, bagaimana bisa Abi berubah hanya dalam semalam? Bagaimana bisa Abi yang penyayang pergi meninggalkan Kalian? Semua seperti tidak masuk akal. Iya, karna Pak Ridwan mengalami masalah pelik yang ga semua laki-laki bisa mengambil keputusan benar di dalamnya. Beliau difitnah memperkosa wanita yang menjadi istrinya dulu dan terancam dikeluarkan dari tempat kerjanya kalau ga mau bertanggung jawab. Saat itu yang ada di fikiran beliau hanya bagaimana agar tetap memiliki penghasilan untuk Ummi dan Mas Ghazi. Beliau terpaksa menikah dan meniriti semua perintah wanita itu sampai akhirnya Allah menolong beliau untuk lepas darinya. Kesalahan beliau hanya satu, beliau terlalu malu untuk kembali lebih cepat ke keluarga kita."

"Stop. Mas ga mau dengar lagi. Mas ga tau Rai..rasanya belum siap mencerna semua alasan itu." Kulihat dia menarik rambutnya sendiri dengan kedua tangannya. Aku bangkit dari duduk dan memeluknya di pinggangku.

"Ga apa-apa karna aku juga butuh waktu mencerna semua masalah yang Kita hadapi belakangan ini. Kalau Mas Ghazi belum siap, ga apa-apa aku aja yang jemput anak-anak, Mas masih kecapean pasti. Istirahatlah Mas.."
Mas Ghazi tidak menolak. Dia memang lelah. Tidak mudah menghadapi masalah ini.

Aku pamit menjemput anak-anak di rumah Ummi.

***

Aku sampai di rumah Ummi bersamaan dengan ambulance sampai. Aku kaget. Ada apa ini? Siapa yang sakit?

"Ummi, Ummi.." aku berlari ke dalam rumah.

"Raaaii, tolong Raaii.." Ummi memanggilku.

Berjeda..

RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang