Sempurna yang tak bahagia

15K 311 2
                                    

Aroma mentega yang pertama kali menghampiri penciumanku saat tubuhku menggeliat hendak bangun dari ranjang. Mataku rasanya malas terbuka, masih mengantuk. Semalam dibuat pulas karna kelelahan aktivitas di ranjang. 

Bukan, bukan karna hak ku sebagai istri sudah terpenuhi, tapi karna menggerutu kesal dan penasaran dengan isi sms di gawai Mas Ghazi.

Bisikan lembut itu membuatku merinding.

"Sayang, bangun yuk sarapan dulu." Pasti aku sempat terlelap lagi sampai tidak menyadari kapan Mas Ghazi masuk ke dalam kamar.  Tangan kekarnya mengusap lembut rambutku. Ahh Mas Ghazi selalu memperlakukanku seperti anak kecil meski Kita sudah puluhan tahun tinggal bersama dan 10 tahun menikah. 

Puluhan tahun tinggal bersama?

Benar.

Ketahuilah, meski pahit tapi aku harus menerima kenyataan bahwa aku adalah seorang bayi terbungkus plastik yang dititipkan di depan rumah Ummi Mas Ghazi. 

Ummi hanya tinggal berdua dengan Mas Ghazi yang berusia lima tahun. Suatu malam Ummi mendengar tangis bayi dekat sekali. Naluri keibuan menuntun Ummi mencari sumber suara yang mempertemukan aku dengan mereka. Kata Ummi, memutuskan untuk merawatku adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah Ummi lakukan. Aku melengkapi kehidupan mereka.

Namun, aku tidak menyusu pada Ummi sehingga aku dan Mas Ghazi tetap bukan mahram.

Pemahaman agama tentang batasan interaksi dan auratpun ketat Ummi ajarkan sejak kecil.

Syukurlah aku tidak perlu memakai jilbab di rumah sepanjang hari karna Mas Ghazi mengenyam pendidikan SMP dan SMA di sebuah pesantren di Jawa Timur. Hanya saat liburan sekolah saja aku bisa berinteraksi secara langsung dengannya. Bahagia, hanya itu yang terkenang di kepalaku setiap kali bertemu Mas Ghazi. Seperti mendapatkan sosok ayah, kakak, sahabat dalam satu tubuh berwujud dia. Dengan kecerdasannya, Mas Ghazi berhasil melanjutkan studi di sebuah perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Hanya 5 tahun dia mendapatkan gelar sarjana dan magister tanpa jeda. Tiba waktunya kami berganti shift jaga. Jika selama ini Ummi tinggal bersamaku, giliran Mas Ghazi menjaga Ummi saat aku harus kuliah di Bandung.

Bagiku, Ummi tak pernah  terganti. Bukan tidak sakit hatiku saat usia 12 tahun, hari pertama aku haid Ummi memberi tahu bahwa aku bukan anak kandung ummi, jadi kalau ada Mas Ghazi sebisa mungkin aku harus berkerudung. Aku menangis sesegukan. Betapa aku menyayangi Ummi tapi kenapa takdir tak menulis bahwa wanita hebat ini adalah ibuku? Bagaimana kalau aku anak haram?

"Raihanah, seandainya kamu anak dari hubungan terlarang, nasabmu terputus dari ayahmu dan darahmu bersih. Tidak ada dosa turunan di dalam islam. Maka Kamu bisa memilih arah takdirmu sendiri. Mau menjadi wanita shalihah atau nakal? Tapi Ummi akan kecewa jika kamu memilih menghancurkan hidupmu hanya karna kamu bukan lahir dari rahim Ummi. Karna Demi Allah Ummi membesarkanmu dan Ghazi dengan uang halal, dengan tangan Ummi sendiri bukan pembantu. Tidak ada andil orang tuamu sedikitpun seandainya mereka memang ahli maksiat yang pantas membuatmu menjadi ahli maksiat juga." Penjelasan Ummi seperti air dingin yang meredam api kekecewaanku. 

Semua yang beliau katakan benar. Mengapa aku harus menghancurkan hidupku sendiri hanya karna manusia yang bahkan tidak memedulikanku? bukankah hanya membuatku rugi dua kali?

Aqidah memang seringkali lebih kuat dari ikatan darah, di balik suramnya asal-usulku, masih ada yang harus aku syukuri sepenuh hati bahwa Allah menakdirkanku diasuh oleh wanita shalihah seperti ummi.

Ummi sendiri sebenarnya masih punya keluarga. Ada ayah beliau yang tinggal di Solo, hanya sesekali main ke Jakarta. Paman angkatku kakak laki-laki Ummi, Pakde Ahmad tinggal di Melbourne menjalankan restoran Indonesia di sana jadi kami jarang bertemu jika beliau pulang ke tanah air.

Praktis setelah suami Ummi pergi tanpa kabar, kami hanya menjalankan keseharian di Jakarta bertiga.

***

Aku membuka mata, persis di hadapanku Mas Ghazi dengan senyum hangatnya. Kehangatan yang membuat rumah tanggaku semakin dingin. Ia bersikap seolah semua baik-baik saja.

Kulihat cahaya terang matahari dari balik tirai kamar.

"Astaghfirullah! Mas kok ga bangunin aku shalat subuh sih? Aku kesiangan ni!" Mataku terbelalak panik dan bergegas bangun tapi tangan Mas Ghazi dengan cepat mendudukanku lagi.

"Kamu lagi haid kan dik? Makanya mas ga bangunin, biar Kamu istirahat aja" ujarnya halus.

"Hah? Haid? Mas tau darimana? Orang aku ngga.." ocehanku berhenti setelah melihat sprei. Aku memang merasa agak basah dan benar saja darah haid menembus di tempat tidur.

"Kamu bersih-bersih dulu sana, nanti mas yang cuci spreinya. Ini mas udah buatin kopi dan roti, kamu sarapan setelah selesai bersih-bersih badan ya, sarapan anak-anak juga udah siap kok." aku manut. Lelaki ini adalah kakak, teman curhat sekaligus suamiku. Seandainya rumah tangga cukup tanpa hubungan biologis, aku pastikan bahwa rumah tangga kami sangat bahagia. 

Usiaku menginjak 30 tahun , usia dimana hasrat terhadap hubungan seks masih cukup tinggi. Sedangkan suamiku adalah lelaki tampan, jabatan manajer di sebuah perusahaan alat berat di Indonesia membuatnya mapan secara finansial, apalagi dia adalah sosok suami baik penyayang keluarga. Siapa yang tidak tergoda untuk berdampingan dengannya?

Aku  bukan tidak berusaha agar hubungan suami istri kami berjalan baik. Segala cara terutama setahun terakhir sudah aku coba agar dia tergoda. Biarlah seperti pelacur menggoda manja calon pelanggan, toh dia suamiku yang halal. Namun selalu terhenti di bagian kecup pipi dan berpelukan saja. Aku yang awalnya menerima alasan lelah kerja, sedang tidak enak badan, ketiduran, lama-lama jadi jengkel juga. Seperti tidak ada ujungnya, apa aku harus mengambil langkah serius bercerai darinya?

***

Segera setelah selesai membilas darah haid, aku menghampiri anak-anak di meja makan.

"Bun, udah sarapan belom? Ayah buatin roti bakar, enaak." Ucap sulungku Fayyadh sambil memainkan legonya. Usianya baru 7 tahun tapi hasil karya legonya sudah tidak terhitung. Cukup mahir jika belum bisa disebut lihai. Kecerdasan Mas Ghazi menurun padanya.

"Iya, tadi bunda udah dibawain roti sama ayah. Sekarang ayahnya mana kak?” tanyaku.

“Lagi temenin adik pupup bun” jawab Fayyadh.

Segera kususul Mas Ghazi ke kamar mandi.

"Sini yah biar bunda yang bersihin pup Farrah."

"Ga apa-apa bun, udah selesai kok." Aku jadi tak enak hati. Lelaki ini serba bisa. 

Dulu sahabat-sahabatku selalu bilang bahwa Mas Ghazi ini paket lengkap, semua bisa dilakukan kecuali melahirkan dan menyusui. Memang. Tapi dibalik kesempurnaan sosoknya kenapa aku tidak bahagia ya?

Berjeda..

RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang