Bujuk Rayu

2.9K 156 17
                                    

Pagi ini Ummi meneleponku. Mau datang katanya. Sengaja tak ku berikan teleponnya kepada Mas Ghazi saat Ummi memintanya. Bukan waktu yang tepat mi, kataku.

Tidak lama setelah Mas Ghazi pergi, Ummi datang. Rumah kami memang tidak terlalu jauh, cukup 15 menit dengan perjalanan mobil.

"Assalamu'alaykum Rai.." Ummi mengetuk pintu.
Aku terdiam saat membuka pintu, kulihat Ummi bersama seorang laki-laki.
"Ooh..rupanya ini adalah abi." Batinku. Tidak ada satupun foto abi yang dipajang di rumah, itulah kenapa aku tidak pernah tau bagaimana wajahnya. Jika Mas Ghazi masih mengingat betul wajahnya, berarti laki-laki ini sungguh berarti baginya.

Aku, tidak pernah tau siapa ayah dan ibuku.
Dibesarkan oleh seorang Ummi dan seorang kakak sudah cukup bagiku. Aku sungguh tidak ingin tau siapa mereka yang membuangku. Tidak, sebenarnya aku ingin tau tapi segala kemungkinan alasan yang akan mereka lontarkan membuatku bergidik ngeri.

Sekarang aku adalah seorang ibu, aku tidak pernah bisa menemukan alasan paling masuk akal seorang ibu menitipkan anak di rumah orang lain hanya dengan kantong keresek dan secarik kertas "tolong jaga bayi ini". Di keresek tertutup. Tidakkah itu gila ? Bagaimana jika bayi tidak bisa bernafas?
Saat kamu melahirkan pertama kali dan menjadi ibu, Kamu akan faham bahwa Allah mengilhami sebuah rasa tak biasa. Kamu akan berani mengorbankan segala sesuatunya untuk hidup anakmu. Termasuk mungkin mengorbankan orang lain. Jadi kuputuskan, berhenti ingin tau. Biarlah luka itu tetap terbuka. Pelan-pelan sudah dibasuh sakitnya oleh perhatian Ummi dan Mas Ghazi. Sisanya, aku hanya tidak mau mati karna keracunan benci.
Aku tetap harus berbaik hati pada mereka jika bertemu karna syari'at mengatakan demikian bukan? Aku tidak sanggup. Jadi lebih baik tidak mencari agar tak perlu berbakti. Salahkah? Entah. Yang jelas perih.

"Masuk mi.." ajakku.
"Rai, kenalin ini Abinya Ghazi, Pak Ridwan." Ummi mengenalkan. Aku mengangguk menyapa.

"Nak, boleh Saya lihat anak-anak Ghazi?" Aku terdiam. Aku berfikir apakah Mas Ghazi akan mengizinkan? Belum sempat aku menjawab, Ummi sudah memberi isyarat mengizinkan.

"Hmm..Fayyadh udah berangkat sekolah, Farrah masih bobo Pak.." Ummi mengantar Pak Ridwan mengintip kamar Farrah.
Tidak lama Farrah bangun dan menghampiri kami yang duduk di meja makan.

"Siapa Jiddah?" Tanya Farrah. Aku mengisyaratkan agar Farrah memberi salam pada Pak Ridwan dan mencium tangan beliau.

"Ini kakek Ridwan, kakeknya Farrah" ucap Ummi tampak tersenyum bahagia.

Setelah Sarapan, aku minta izin memandikan Farrah. Ummi dan Pak Ridwan berkunjung cukup lama. Farrah bermain seharian dengan beliau. Aneh kufikir. Tidak biasanya karna Farrah termasuk anak yang pemilih. Dia hanya akan nyaman jika orang tersebut "tulus".

Saat Pak Ridwan bermain dengan Farrah, Ummi mengajakku untuk bicara. Sepertinya serius.

"Rai..Ummi mau minta maaf.." Ummi bicara sangat hati-hati.
"Minta maaf karna sudah menikahkan Kamu dengan Ghazi." Deg. Kenapa Ummi bicara begini?

"Ummi yakin Kamu pasti sudah tau kekurangan Ghazi. Apa nafkah batin Kamu terlalaikan Rai? Demi Allah Ummi sayang sama kamu Rai, Ummi ga mau melihat Kamu terdzalimi. Ummi harus adil walaupun sakit. Jika Ghazi mendzalimi Kamu, Ummi ikhlas Kalian bercerai." Ucap Ummi sambil menangis. Aku? Masih mematung karna kaget.

"Maksud Ummi apa? Kekurangan Mas Ghazi yang mana?" Tanyaku memastikan.

"Rai..apa Kamu bisa bertahan dengan kelainan orientasi seksual Ghazi?" Aku habis kata.

"Ummi..ternyata sudah tau?"

Sambil menangis Ummi menceritakannya kepadaku.

Kedua orang ini..
yang satu tak mengungkit luka dan yang satu menyembuhkan luka. Mana yang lebih sakit? Keduanya. Yang satu harus hidup dengan bayang-bayang luka, was-was tanpa berani bertanya dan yang satu harus menghadapi sakitnya luka setiap hari sampai dia yakin sembuh dari lukanya. Jika saja sejak awal keduanya bercerita. Demi cinta mereka menderita sendirian dengan luka yang sama.

"Rai..ga mau cerai sama Mas Ghazi mi. Kalau Ummi cerita ini beberapa minggu lalu sebelum Rai tau ceritanya dari Mas Ghazi sendiri, mungkin Rai akan membenci Ummi. Tapi Mas Ghazi udah cerita semua sama Rai. Ga ada sedikitpun niatan Rai untuk meninggalkan Mas Ghazi mi. Selama ini dia berusaha terapi, ga putus berdo'a maka Allah bantu dia. Justru..Rai kecewa saat dia mulai sembuh Ummi malah menambah lukanya dengan menghadirkan Pak Ridwan..Maaf mi, tapi Rai faham kondisi Mas Ghazi dan ga sefaham dengan apa yang Ummi lakukan kali ini" Nada bicaraku kecewa.

"Rai..sama halnya Kamu yang mencintai Ghazi tanpa syarat..Ummi mencintai Pak Ridwan tanpa syarat tanpa sebab. Saat dia menyakiti Ummi bertahun-tahun lamanya, sakit itu pasti ada. Tapi cinta Ummi menyembuhkan semuanya..Rai, Ummi tidak pernah menikah lagi karna Ummi masih mencintai Pak Ridwan.." Ummi terdengar pilu.

Cinta. Kenapa rasa ini sering mengubah waras menjadi gila. Tak bisa disamakan antara perasa dan penonton rasa. Tapi bagiku, gila harus dengan alasan yang pantas kenapa Kamu bertahan? Jika gila tanpa alasan maka itu bodoh namanya. Ummi yang mana?

"Apa yang membuat Ummi bertahan untuk Pak Ridwan?" Tanyaku.

"Dia..diguna-guna Rai. Puluhan tahun dia hidup sendiri setelah bercerai dari istri keduanya. Dia kesepian. Sama sepinya dengan hidup yang Ummi jalani." Ummi menjelaskan.

Ya, cukup sering aku mendengar manusia jahat di luar sana menggunakan buhul sihir untuk kepentingan mereka. Sungguh jahat. Aku tidak menyangka akan menemukan hal ini secara langsung.

"Rai..Ummi mohon, bicaralah dengan Ghazi. Ummi tau abinya salah. Tapi semua ini punya alasan Rai. Bertahun-tahun Kita sudah merasakan sakit. Sembuhkanlah luka ini dengan mencoba menerimanya lagi.."

"Katakan pada Ghazi, dia bisa menghubungi Tante Ira jika ingin tau ceritanya lebih lengkap."
Aku masih berfikir.
Tapi melihat sikap Pak Ridwan kepada Farrah, memang berbeda. Terlihat sangat baik dan tulus.
Tiba-tiba dadaku sakit. Setiap manusia diuji. Lelah sudah pasti. Tapi bertahan untuk berpegang pada Allah itulah yang membuat Kita akan lulus dari ujian.
Jangan menyerahkan segala ujian kepada kehebatan diri, karna jari Kita bahkan tak bisa bergerak tanpa Allah yang gerakkan sistem syaraf. Mata Kita tak akan berkedip jika bukan Allah yang menggerakkan kelopak. Kita..tak bisa apa-apa tanpa izin dan bantuan Nya.

"Ummi, apa Ummi sudah menikah lagi dengan Pak Ridwan?" Ummi tampak ragu menjawab.

"Sudah Rai..Ummi belum memberitahu Ghazi karna takut Ghazi tidak menerimanya. Sedangkan Ummi.." belum selesai Ummi bicara, aku bertanya..

"Lalu bagaimana jika Mas Ghazi memang tidak menerima?" Ummi terlihat lesu.

"Tidak adil bagi Ghazi..Ummi akan bercerai dengan Pak Ridwan Rai.."
Aahh..Ummi, dia memang sudah berjuang puluhan tahun untuk bisa berdiri sendiri. Tapi itu tidak membuat kita lupa bahwa dia adalah  wanita, membutuhkan teman hidup. Jika dulu dia sudah sering tersakiti, seperti wajar jika di hari tuanya dia ingin bahagia bersama kekasih hati. Mereka memang terlihat bahagia sekarang.

"Rai akan coba bicara pada Mas Ghazi mi" ujarku menenangkan.

Ummi terlihat sedikit lega. Menjelang sore Ummi dan Pak Ridwan pamit pulang.

Berjeda..

RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang