[Bagian 2]

3.1K 460 33
                                    

Ku buka kembali lembaran catatan yang kutorehkan di dalam binder bersampul merah marun yang kudapat dari Mama saat pertama kali masuk kuliah. Suasana kantin sudah mulai ramai oleh para mahasiswa yang juga ingin mengisi perut mereka. Aku masih enggan memesan makanan. Sehingga yang saat ini ada di mejaku hanya segelas es jeruk dengan sedotan warna hijau cerah.

"Aida!" Suara Oji membuat aku menolehkan kepala. Mengabaikan catatan-catatan pada binder yang mungkin hanya akulah yang dapat memahami bagaimana alurnya.

Kulihat cewek bertubuh bantet namun tidak terlalu gemuk itu mempercepat langkah kearah mejaku. Tentu saja dengan Lala di sisinya yang sejak tadi sibuk melempar gelak tawa dengan teman-temannya yang berasal dari kelas lain. Lala memang yang paling ceria. Setidaknya di antara kami bertiga.

"Anjir lo, Ai!" Lala seperti biasa, langsung melontarkan maki tanpa tedeng aling-aling. "Asal lo tau aja, jam nya Pak Budi berasa lama banget udah kayak umroh gue. Lo malah enak-enakan disini."

"Goblok, La!" balas Oji seraya terkekeh dan menoyor kepala Lala tanpa perlu permisi.

Yap. Tadi aku terlambat lima menit masuk ke kelas. Dan seperti biasa, Pak Budi yang super disiplin tidak mengizinkan mahasiswanya yang terlambat untuk mengikuti kelas pagi ini.

"Ya mau gimana," Aku mengangkat bahu pasrah. "Kayak gatau aja, bapak lo kan anti telat telat club."

"Hooh," Oji mengangguk cepat. "Waktu itu Ghirez telat semenit doang diusir dari kelas."

"Kampret emang."

"Au noh bapak nya si Lala."

"Pale lu." Lala terkekeh sebentar sebelum memanjangkan lehernya ke arah jejeran lemari kaca milik bunda kantin yang berisi berbagai menu makanan. "Mesen makan dulu dah gue. Lo sekalian nggak, Ji?" tawar perempuan yang tubuhnya paling gemuk diantara kami bertiga.

Oji terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan akan memesan apa. "Gue nasi goreng ati ampela ya, Bull."

Bull adalah nama pemberian dari Ivan sejak hari pertama masuk kuliah untuk Lala yang sampai hari ini tidak ada yang paham apa maksudnya.

"Lo apa, Ai?" Kali ini, Lala menatapku.

Kepalaku menggeleng. "Ga laper gue."

Setelah mendengar jawabanku, Lala langsung mengacungkan ibu jari dan berlalu untuk segera memesan menu makan siang untuk dirinya dan Oji. Sementara Ivan, Yuda, dan Ghirez sudah bisa dipastikan memilih beristirahat di kantin sebelah.

Aku dan Oji sedang membicarakan seorang anak kelas bernama Firman saat tiba-tiba ponsel yang ada dalam genggaman tangan kiriku tiba-tiba menyala layarnya.

Sebuah panggilan masuk.

"Rayhan, Ai?" tebak Oji begitu melihat seseorang berusaha meneleponku.

Aku menggeleng sekilas sebagai jawaban "bukan" seraya menggeser layar kearah kanan untuk mengangkat telepon.

"Hallo?" sapaku pada seseorang di ujung telepon. "Iyaaaaaa abis istirahat gue langsung ke ruangan BEM... Oke siap... Iyaaa... Oke kak... Hah? Iya ini lagi mau makan... Oke... Udah dulu ya kak. Byeee."

Setelah aku memutuskan sambungan telepon, aku kembali meletakkan ponselku di samping binder yang belum sempat kumasukkan ke dalam tas.

"Siapa, Ai?" tanya Lala yang baru bergabung kembali bersamaku dan Oji.

"Biasa," sahutku singkat. "Kak Haikal."

"Yang BEM itu?" tanya Oji. Lalu kujawab dengan anggukan. "Lo ada urusan BEM lagi, Ai?"

Before We Were Stranger [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang