Rumah Ghirez tidak pernah berubah sejak aku masih SMA. Tempat ini selalu punya cara tersendiri untuk memeluk siapapun yang ada di dalamnya. Selain dekorasi rumah dan lokasinya yang jauh dari hiruk pikuk jalan raya, sikap hangat orang-orang yang ada di rumah Ghirez membuat siapapun teman Ghirez yang berkunjung akan merasa bahwa ini juga rumah mereka.
Ini sudah sore rupanya, dan aku tidak ingat sudah berapa lama aku ketiduran di ruangan berbentuk persegi yang dulu menjadi kamar Ghirez semasa ia tidur. Aku mendudukkan diriku, apalagi setelah melongok kearah jendela dan melihat gerimis mulai mengguyur. Padahal siang tadi sangat terik.
Aku mendengar suara pintu di terbuka bersamaan dengan seorang perempuan berusia 50 tahun muncul di sana dengan segelas teh hangat. Ibu Ghirez tersenyum menatapku.
"Baru bangun, Ai?" katanya ramah. Ia lalu menghampiriku dan duduk di sebelah kanan.
Aku membalas senyumnya. "Maaf ya, Tante. Malah ketiduran di sini."
"Ah nggak apa-apa," sahutnya lembut. Beliau lalu menyerahkan teh yang dibuatnya kearahku. "Minum dulu teh nya, biar perutnya hangat."
"Makasih ya, tante."
Aku menerima segelas teh itu. Rasa hangat langsung memenuhi telapak tanganku yang menggenggam benda yang terbuat dari kaca itu. Rasa hangat itu lalu menjalari melalui bibir, lidah, tenggorokan sampai akhirnya bermuara di lambung.
Hangat sekali.
"Rumah sepi semenjak Ghirez nggak ada," kata orang yang saat ini duduk di sampingku.
Aku menoleh, dadaku rasanya tertohok. Teringat pertama kali aku dan Ghirez berkenalan di hari pertama memastikan diri menjadi anak SMA di sekolah yang sama. Memori begitu cepat berlarian di otakku sampai pada hari dimana terakhir kali Ghirez memegang tanganku dan menyatakan perasaannya, lalu bergerak cepat hingga kenangan saat aku melihat Ghirez berjuang bangun dari koma nya.
"Seandainya hari itu Aida nggak ngizinin dia langsung pulang, mungkin nggak akan kayak gini, Tante." Aku menunduk. Beban yang kupikul rasanya berat sekali. Rasa bersalah. Rasa kecewa. Dan nahas nya aku sekaligus kehilangan kepercayaan.
Pada makhluk bernama laki-laki.
"Ghirez sayang sekali sama kamu," Aku diam, merasakan tangan Ibu Ghirez merangkul bahuku. "Ghirez selalu cerita semua sama tante, soal kamu. Malah, dia jarang menceritakan pacarnya sendiri.
Waktu dia dengar kamu akan dilamar, Ghirez bilang ke tante kalau kamu nggak bisa terus sama pacarmu."
Aku menyipitkan mata. "Maksudnya?"
Ibu Ghirez menghela napas panjang, lalu ia menatapku iba. "Tante tau siapa anak tante. Tante kenal betul Ghirez seperti apa. Dan tante rasa kamu pun begitu.
Awalnya, tante nasihati Ghirez waktu dia bilang pacar kamu nggak baik. Dan tante bilang, bukan begitu caranya kalau mau memenangkan hati perempuan. Nggak perlu menjelek-jelekkan.
Sampai hari itu, Ghirez banyak cerita soal pacar kamu sama tante."
Aku menahan napas, tidak sabar menunggu kelanjutan cerita ini. Dan satu lagi yang membuatku marah adalah aku ternyata tidak mengenal sahabatku sebaik yang aku kira.
"Ghirez cerita apa, tante?"
Ibu Ghirez tersenyum simpul, tapi aku tahu dibalik senyuman itu beliau sedang menahan tangisan agar tak tumpah didepanku. "Kamu tau kan, Ghirez sangat suka naik gunung. Dan Ghirez ikut himpunan mahasiswa pecinta alam. Sama seperti pacar kamu."
"Iya, Aida tau."
"Ghirez tau banyak soal pacar kamu dan banyak perempuan. Dan Ghirez nggak berani bilang yang sebetulnya sama kamu karena dia tau kamu sangat sayang sama pacar kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Before We Were Stranger [Completed]
RomanceWe meet for a reason, either you're blessing or a lesson.