Semakin hari, hubunganku dengan Rayhan semakin hambar. Entah bagian mana yang salah. Sejak diriku dan Rayhan terikat dalam hubungan pertunangan, rasanya justru jarak dan dinding pembatas diantara kami semakin jelas dan nyata.
Meskipun Rayhan dan aku rutin bertemu setiap minggu, menghabiskan waktu bersama dalam kurun waktu yang lama, bahkan bisa seharian penuh. Tapi tetap, ada waktu aku merasa bahwa Rayhan tak pernah sepenuhnya disini bersamaku. Sebagian dari dirinya menyibukkan dan memikirkan hal lain yang entah apa aku juga tidak tahu.
Oh iya, ini adalah 3 hari setelah perempuan bernama Tania menghubungiku dan memintaku untuk meluangkan waktu agar kita bisa bertemu. Tetapi karena akhir-akhir ini aku sibuk untuk persiapan mengejar materi UAS, aku belum bisa menentukan kapan saat yang tepat untuk bertemu dengan perempuan itu dan sampai detik ini, aku tidak tahu apa yang akan ia bicarakan.
Rayhan juga menghilang sejak tiga hari yang lalu. Ia hanya mengabariku via chat. Itu pun tidak sesering biasanya. Hanya sekali dua kali. Bahkan kemarin dia tak menghubungiku sama sekali.
"Oi, oi," kata Ivan yang baru masuk ke dalam kelas. "Cek grup whatsapp."
Aku dan Oji yang sejak tadi sibuk membicarakan tentang sebuah film drama yang baru diputar di bioskop langsung sama-sama sibuk dengan ponsel kami.
Dan ternyata, apa yang tertulis di grup whatsapp adalah pemberitahuan bahwa dosen yang mengampu mata kuliah pada jam terakhir ini berhalang hadir karena anaknya masuk rumah sakit.
Tak perlu waktu lama, sorak sorai anak-anak kelas langsung menggema diseluruh penjuru ruangan, binder-binder yang tadinya sudah tertata di atas meja langsung dimasukkan ke dalam tas masing-masing karena kami akan bersiap pulang lebih awal.
"Kantin dulu nggak?" tawar Lala seraya menutup tasnya.
Oji mengangguk, "iya dong, La."
"Son," panggil Lala pada Yuda yang masih sibuk bermain Mobile Legends.
"Hah?"
"Kantin."
"Iye, ayo."
Aku membuka aplikasi LINE dan kuputuskan untuk menghubungi perempuan bernama Tania itu.
Aida: Gue lagi free nih, mau ketemu kapan?
"Ai? Mau ke kantin yang mana nih? Kantin Bunda apa kantin sebelah?" tanya Lala.
Aku mengadahkan kepala, menatap lawan bicaraku. "Bentar, bentar kayaknya gue langsung balik deh."
"Mau jalan sama Babang Rayhan, neng?" ledek Oji.
Aku hanya tersenyum. Tidak kujawab. Dan dengan senyuma yang kutunjukkan, aku harap teman-temanku tidak bertanya-tanya lagi.
"Yaudah kita ke kantin dulu ya, Ai."
Aku mengangguk. Entah, akhir-akhir ini aku banyak diam. Tepatnya sejak Ghirez pergi. Ada yang beda. Ada yang mengganjal dan aku tidak tahu apa. Perasaan bersalahku juga tak kunjung hilang sekalipun semua orang beranggapan bahwa apa yang menimpa Ghirez bukanlah kesalahan siapa-siapa.
"Hati-hati ya!" jawabku sambil melambaikan tangan sebelum teman-temanku meninggalkan aku di kelas bersama beberapa mahasiswa lain yang masih sibuk ngobrol.
Tania belum membalas.
Maka kuputuskan untuk ke parkiran untuk mengambil mobil dan pergi meninggalkan lingkungan kampus terlebih dahulu.
Aku berjalan cepat karena terik matahari jam satu siang cukup membuat aku kepanasan. Kuperhatikan langkahku baik-baik untuk mencegah aku tersandung dan mempermalukan diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before We Were Stranger [Completed]
RomanceWe meet for a reason, either you're blessing or a lesson.