Rayhan tidak bicara apapun saat aku menahannya di ambang pintu rumah. Seusai kulepas pelukanku dan Ghirez, aku berlari, mengejar apa yang memang sejak awal sudah kupilih. Kutarik kemeja warna hitam yang dipakai Rayhan sampai langkah kaki panjangnya terhenti. Dan disitulah suara isak tangisku pecah.
Aku memohon, aku meminta Rayhan agar ia tak pergi. Tadinya kukira ini akan jadi sebuah adegan seperti difilm-film dengan Rayhan yang pergi dari rumah disusul dengan hujan gerimis yang membasahi ibu kota. Tapi ternyata tidak.
Rayhan membalikkan badannya, ia meraih tanganku yang masih mencengkram kemejanya, lalu ia menarikku ke dalam pelukan supaya aku tidak menangis.
Tangisku tumpah. Aku menangis sejadinya. Aku tak tahu mengapa aku menjadi semelankolis ini? Apa karena perasaan Ghirez yang baru ku ketahui? Atau karena aku rindu Rayhanku yang lama? Atau apa?
"Aku sama Ghirez nggak kayak gitu–" Aku berusaha menjelaskan dengan susah payah. Aku takut sekali. Aku takut Rayhan marah. Aku takut ia kecewa memiliki pacar sepertiku. Aku takut ia pergi. Dan di sisi lain, aku takut Ghirez semakin sakit. Aku takut Ghirez akan berbeda setelah ini dan aku tidak mau.
"Iya, iya," kata Rayhan cepat, kedua tangannya yang tadi melingkari tubuhku dalam-dalam kini beralih menangkup wajahku lalu menyeka air mataku berkali-kali.
"Aku sama Ghirez nggak–"
"Iya aku tau, Aida..." Suara Rayhan masih sama. Lembut sekali. Seperti ia tidak memiliki emosi jika bicara padaku. Sama sekali. "Ssstt, aku tau, aku tau. Udah," sambungnya menenangkan.
Setelah aku bisa sedikit mengatur pernapasan, Rayhan kembali membawa kepalaku merebah ke tubuhnya sehingga pipiku menempel dengan dadanya.
Aku bisa melihat Ghirez mematung di tempat. Aku tidak bisa lagi menerka seperti apa perasaan sahabatku itu saat ini, saat kenyataannya aku masih tetap memilih Rayhan setelah tahu bahwa harus ada perasaan yang dipertanggung jawabkan.
Kulihat matanya menatap kami dengan pandangan kalah. Lalu ia bangkit berdiri. Perlahan berjalan mendekatiku yang masih melingkari tubuh Rayhan dengan dekapan.
"Sorry, Han." Ghirez menggaruk pangkal hidungnya tiga kali seraya menundukkan kepala.
Mata Rayhan menatapnya tajam. Aku tahu Rayhan sangat sangat marah karena kemungkinan ia mendengar segala pengakuan Ghirez tadi. Dan yang terpenting, karena selama ini Rayhan menganggapnya teman.
"Gue balik, Ai, Han." Ghirez bersuara lagi. Kali ini mataku dan matanya bertemu. Hanya sekilas karena Ghirez harus segera menundukkan kepala seraya melangkahkan kakinya pergi dari rumah.
Rayhan berdeham. Lalu suaranya bisa kudengar dengan jelas. "Hati-hati, Rez!"
***
Seusai Ghirez meninggalkan rumah, Rayhan hanya berkata bahwa ia tidak marah. Hanya saja ia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Dan setelah itu sudah, ia pulang. Meninggalkan tanda tanya besar di dalam kepala.
Rayhan berubah. Ia bukan lagi orang yang beberapa tahun lalu menghajar seorang alumni sekolah karena orang itu menggodaku. Ia bukan lagi pria yang cemburu saat ada lelaki lain yang mengirimkan pesan singkat mesra untukku dan meneleponku disela-sela kegiatan. Rayhan bukan lagi orang itu.
Dan aku merasa kehilangan.
Atau mungkin seharusnya tidak?
Iya, aku tahu. Setiap orang terus berevolusi. Kita berubah kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Kita berubah menjadi sosok dan pribadi yang semakin dewasa setiap detiknya. Itulah sebabnya saat kau menengok foto-foto dirimu di masa lalu, kau akan tertawa. Menertawakan betapa buruknya dirimu di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before We Were Stranger [Completed]
Lãng mạnWe meet for a reason, either you're blessing or a lesson.