Kelas Pak Agung baru selesai tiga menit yang lalu. Romi, selaku ketua kelas langsung mengambil alih seisi kelas. Meminta sedikit waktu kepada teman-teman sekelasnya supaya ia dapat memberikan kabar duka yang datang dari Ghirez.
Berita soal kecelakaan yang dialami pria itu langsung tersebar diseantero kampus. Terutama di fakultas ilmu pemerintahan tempatku menempa diri dan menuntut ilmu pengetahuan.
"Jadi, berhubung ada musibah yang lagi menimpa temen kita, gue mau sedikit meminta kalian buat menyisihkan uang jajan kalian buat disumbangin ke Ghirez yang katanya, sampai saat ini belum sadar dari kemarin sore." Romi memegang mic yang beberapa belas menit lalu dipakai Pak Agung untuk memaparkan materi perkuliahan.
Beberapa orang yang ada di kelas langsung mengeluarkan dompet mereka dari dalam tas, beberapa juga langsung merogoh sakunya untuk mencari sisa uang kembalian sehabis makan siang tadi.
"Nanti siang gue mau jenguk Ghirez." Romi kembali bicara. "Bareng sama Aida, Lala, Yuda, Oji, sama Ivan. Kalo ada yang mau ikut, boleh langsung join aja abis ini."
Aku menghela napas, ku ketuk-ketukkan pena yang sengaja tak ikut serta kumasukkan ke dalam tas seraya menunggu Romi selesai memberi pengumuman dan meminta uang sumbangan tanda bela sungkawa kepada teman-teman yang lain.
"Lo jadinya gimana, Ai?" Suara Ivan dari arah kanan membuatku menoleh cepat. "Ikut mobil gue atau gimana?"
"Ngg–" Aku terdiam. "Bareng Rayhan aja deh kayaknya. Gue mau beli sesuatu dulu soalnya," sambungku.
Ivan mengangguk. "Yaudah nanti berarti langsung ketemu di rumah sakit aja."
"Iya," ku anggukkan kepalaku. Kemudian aku melirik ponselku yang sejak tadi ada di dalam genggaman tangan kanan. "Gue duluan ya?"
"Udah di jemput Rayhan?" tanya Oji yang sejak tadi diam memerhatikan diriku yang seharian terlihat tidak fokus pada seluruh jam kuliah yang kutempuh hari ini.
Aku menggeleng. "Belom sih, tapi udah otw."
"Oh yaudah," katanya.
"Lo nggak jadi bareng kita-kita?" tanya Lala begitu melihat aku mulai bersiap meninggalkan bangku yang kududuki.
"Enggak deh kayaknya," kataku lemas. "Gue bareng Rayhan soalnya."
"Yaudah," Lala mengangguk. "Ketemu di sana ya."
"Okay." Aku mengacungkan ibu jari sembari bangkit berdiri. "Gue duluan ya. Nanti ketemu di sana," kataku begitu kulihat Romi memandangku seolah meminta penjelasan kemana aku akan pergi.
"Lo nggak ke Ghirez, Ai?" tanyanya saat aku berlalu melewatinya.
"Nanti gue nyusul." Kutepuk pundak kirinya sekilas. "Gue bareng sama Rayhan soalnya."
"Oh yaudah, ati-ati yoo!"
"Oke, dadaah."
***
Aku memutuskan menunggu Rayhan datang di depan warung gado-gado depan gedung kampus. Sesekali kulirik jam tangan warna silver di tangan sebelah kiri. Masih pukul dua siang. Dan Rayhan tak kunjung datang.
"Lah? Aida?" Suara cowok dari arah belakang membuat aku menoleh ke sumber suara. Dan pandanganku lansgung terarah pada Haikal yang baru keluar dari warung gado-gado. "Sendirian?"
"Eh," Aku tersenyum. "Iya. Lo makan di sini, kak?"
"Iya," Haikal mengangguk. "Tuh, sama Ibnu." Dagunya lalu menunjuk Ibnu yang masih menyelesaikan pembayaran dengan penjual gado-gado. Sesekali Ibnu melirik dan tersenyum begitu menyadari kehadiranku. "Lo udah pulang apa gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Before We Were Stranger [Completed]
RomantizmWe meet for a reason, either you're blessing or a lesson.