Satu-satunya suara yang bisa aku dengar di ruangan ini hanyalah detak jarum jam yang terus bergerak ke kanan. Lampu di kamarku tidak kunyalakan. Aku diam di atas tempat tidur. Rasa sakit yang aku rasakan begitu jelas. Telingaku rasanya begitu penuh sampai aku tak bisa mendengar apapun lagi. Aku bisu. Aku tuli. Aku sendirian.
Mata lebamku sengaja kusembunyikan. Kukurung diriku di dalam kamar. Membiarkan mama dan papa saling bertanya di luar ruangan ini. Ponselku sudah tak urus lagi. Aku rasanya tidak mau dan tidak perlu tahu lagi apapun tentang laki-laki bernama Rayhan itu.
Aku tidak tahu harus bercerita pada siapa. Dan mulai dari mana? Aku tidak sampai hati karena pasti akan menyakiti hati orang tua ku juga. Maka aku memilih bungkam, sampai aku siap menemui Rayhan.
"Gue kenal sama Rayhan waktu kita nggak sengaja ketemu waktu gue camping di Sikunir," kata Tania siang tadi. Saat itu kami berdua sudah tidak menangis walaupun hatiku rasanya sakit sekali, tapi kurasa aku perlu tahu bagaimana awal mulanya sampai mereka bisa sejauh itu.
Aku ingat betul satu tahun yang lalu, Rayhan mengantarku ke rumah sehabis pulang kuliah dan mampir makan kwetiaw langganan kami di salah satu tikungan jalan ibu kota. Saat itu gerimis mulai turun. Dan Rayhan mampir sebentar di rumah sampai hujan berhenti. Saat itu, Rayhan mengatakan ia ingin pergi ke daerah Wonosobo. Ingin berkemah di kaki Gunung Sikunir katanya. Dan saat itu, aku tak bisa melarang karena aku tahu betul itu adalah salah satu hobi Rayhan.
"Gue nggak tau udah berapa kali gue sama Rayhan ngelakuin itu, tapi–" Ada jeda. "Gue yakin ini anak dia karena gue udah selama satu tahun cuma berhubungan sama dia."
Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar kurasa untuk hubungan yang dijalin secara diam-diam. Dan dengan bodohnya aku percaya begitu saja. Seolah hubunganku begitu sempurna.
"He love you so much. I know– but.."
Aku langsung tersenyum pahit saat Tania mengatakan kalimat itu tadi. Kalau iya Rayhan mencintaiku, lalu untuk apa?
Rayhan bahkan tak pernah melakukan hal yang tidak-tidak saat denganku. Hal terjauh yang pernah kita lakukan selama enam tahun hanya sebatas ciuman di bibir. Sudah. Ia begitu menjagaku seperti aku adalah harta paling berharga yang harus dilindungi dan dijaga.
Tapi kenapa Rayhan begitu jahat pada Tania? Menggunakan perempuan itu hanya untuk sebatas teman tidurnya? Tanpa status dan kejelasan hubungan?
Kekecewaanku begitu memuncak. Aku marah, tapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku tidak bisa memaki-maki Tania, menamparnya, meneriakinya jalang, dan menyuruh ia menggugurkan kandungnnya agar Rayhan tetap bisa bersamaku.
Tidak bisa semudah itu.
Aku tidak mungkin menyalahkan Tania sepenuhnya. Karena Rayhan pun turut bersalah di sini.
Cinta dan kecewa rasanya selalu berdampingan, rasa sesakku semakin jadi saat kulihat Rayhan berusaha meneleponku berkali-kali sejak aku mengabaikan semua pesannya siang tadi. Tangisku pecah, isakku terdengar memekakkan telingaku sendiri.
Ingin bunuh diri rasanya.
Laki-laki yang sejak lama menemani, pria yang selama ini menjadi orang yang kau kira paling kau kenali lebih dari dirimu sendiri, nyatanya tak lebih dari benalu berduri yang menjeratmu dan semakin digenggam akan semakin melukai hati.
***
Tidak ada yang bisa kulakukan selain terdiam. Mengingat sejak hari pertama aku bertemu Rayhan di sebuah emperan toko depan sekolah, rasanya manis sekali, aku dan Rayhan rasanya adalah kisah cinta nonfiksi terbaik yang pernah aku rasakan, sampai hari dimana kulihat ia memasangkan cincin yang saat ini melingkari jari manisku sebagai tanda ikatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before We Were Stranger [Completed]
RomanceWe meet for a reason, either you're blessing or a lesson.