[Bagian 4]

2.1K 399 26
                                    

Aku masih berkutat dengan laptop yang layarnya menyala untuk mengerjakan tugas makalah yang harus kumpul lusa. Hujan sudah mulai mereda. Tinggal tersisa gerimis dan genangan air di beberapa bagian jalan di depan rumahku.

Tadi, seusai mengantarku pulang, Haikal langsung berpamitan pada mama tanpa mampir terlebih dahulu. Dan memang itulah yang aku harapkan. Sementara Rayhan, tidak membalas pesanku lagi setelah ia memutuskan sambungan telepon.

Maka dapat kusimpulkan, pacarku itu sedang cemburu.

Ah, tapi Rayhan memang begini jika sedang marah padaku. Yang harus aku lakukan hanya minta maaf dan menunggu sampai ia akhirnya rindu. Siklus 'berantem' antara aku dan Rayhan memang hanya seperti itu.

Mungkin besok pagi, Rayhan sudah mengirimkan pesan-pesan singkatnya yang membuatku ceria seperti biasanya. Atau lebih baik jika nanti sebelum tidur.

"Aida," Suara mama membuat aku mengadahkan kepala dan membuka kacamata yang sengaja kupakai untuk menghindari paparan radiasi dari layar laptop. "Ada Rayhan tuh."

Wajahku berubah ceria ketika mama berkata bahwa Rayhan datang ke rumah. Ini masih pukul tujuh malam. Dan Rayhan pasti baru selesai dari kelas sorenya.

Dengan semangat dan perasaan hati yang mulai membaik, aku bangkit berdiri, membiarkan laptopku begitu saja lengkap dengan lembar-lembar kertas bahan materi yang tak sempat kubereskan.

Aku berlari ke arah ruang tamu tempat di mana Rayhan sudah menunggu. Bibirku langsung melengkung sempurna begitu melihat laki-laki dengan kemeja hitam polos dan celana jeans itu duduk di sofa rumah.

"Hey," sapaku gembira. Ku hampiri Rayhan dan kuposisikan diriku duduk di sebelahnya. Rayhan tersenyum tipis. Ia menggamit tanganku sejak tadi sesaat sebelum aku mendudukan diri. Kami berdua sama-sama diam, sampai aku mengerucutkan bibirku sedikit. "Maaf..."

Rayhan diam saja. Tetapi ia tidak melepaskan genggaman tangan kami.

"Marah ya?"

"Iya." Rayhan menatapku. Dia berkata iya tetapi raut wajahnya tidak menunjukkan bahwa ia marah. Sama sekali tidak. Dan melihat raut wajahnya sebegitu tenang, aku menjadi khawatir karena Rayhan tidak pernah begini sebelumnya.

Mataku menyipit, lalu kuraih tangan lelaki itu yang satunya.

"Beneran marah?"

Rayhan kemudian terkekeh. "Enggak lah, apaan sih?"

"Serius, Han."

"Nggak marah."

"Terus kenapa tadi bilang iya?"

Rayhan melepaskan tangan kanannya yang masih kugenggam lalu ia menarik hidungku kuat-kuat sampai aku merasa sedikit perih. "Biar kamu panik, lah! Dasar peseeeek lu."

"Lepas!" Kupukul tangannya sekali. Kemudian ia melepaskan tangannya dari hidungku. "Supaya apa ya si bapak begitu?"

"Biar lo panik. Terus ngerayu-ngerayu gue."

"Najong."

"Kok najong, sih?"

"Lagian lo nya." Rayhan lalu berhenti tertawa walau bibirnya masih melengkung. Kemudian ia meraih tanganku lagi.

"Tadi kok bisa sama Haikal?"

"Hujan. Kamu kuliah sore. Terus mama aku chat minta jemput gak dibales-bales sampai mau magrib."

Before We Were Stranger [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang