Di basemen gedung perusahaan, mereka turun. Tentunya dengan Lucas yang memimpin diikuti dengan semua anak buahnya. Termasuk Mark dan pemuda bule itu.
Kali ini, Mark berada satu lift dengan Tuannya. Sementara para bodyguard berpisah atas perintah pria Wong itu. Hanya menyisakan dirinya, Mark, serta si pemuda bule.
Mark berdiri dibelakang, ia memperhatikan saat pemuda bule itu menekan angka 30 dari lift. Yang mana lantai tertinggi di gedung ini.
Ia juga menjelaskan beberapa hal mengenai kesepakatan atau perkembangan bisnis milik tuannya secara sekilas. Tak lupa ia menanyakan beberapa keputusan penting yang harus diambil dalam menandatangani kontrak dengan rekan bisnis baru yang akan mereka miliki dalam waktu dekat.
Sementara Lucas masih menampilkan ekspresi datar, setiap balasannya singkat dan tanpa ekspresi. Ia hanya akan menunjukkan reaksi jijik apabila ada kontrak ataupun laporan dari pemuda bule tadi yang menurutnya tidak ia inginkan.
Lima belas menit kemudian, lift berbunyi dan terbuka di lantai tujuan. Mereka keluar dengan Mark yang setia dibelakang rombongan.
Saat akan mencapai ruang kerja milik Lucas, pria itu berbalik dan menatapnya dengan tatapan datar. "Selama aku bekerja kau bisa diam di sofa itu, dan kau bebas berkeliaran di gedung ini." ujarnya sambil menunjuk ke sebuah sofa yang terletak tak jauh dari pintu ruangannya. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu keluar dari gedung, paham?"
Mark mengangguk kecil dan membungkukkan badannya dengan hormat, "baik, tuan. Saya mengerti."
Lucas mengangguk puas lalu meninggalkannya di depan ruangan. Begitu pula pemuda bule tadi, ia ikut masuk bersama Lucas.
Mark akhirnya berjalan menuju sofa yang tadi ditunjuk oleh majikannya, melihat-lihat sekeliling sambil berdecak kagum dalam hati. Tak lupa menaksir berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk mendekorasi tempat itu.
Itu seperti ruang tunggu biasa untuk tamu yang hendak bertemu dengan pimpinan sebuah perusahaan, tak jauh dari sana ada meja resepsionis dengan seorang perempuan duduk dibaliknya.
Sementara bagian ini dihias dengan sederhana, namun juga mewah dalam waktu yang sama. Mulai dari meja dari kayu Ebony yang ada dihadapan sofa, hingga lukisan yang terpajang di dinding. Semuanya berbau uang.
Bahkan Mark mengenali salah satu lukisan yang dipajang adalah lukisan yang dilelang seharga satu miliar dolar.
Gaji nya sebagai dokter dimasa lalu menjerit saat tertampar oleh kekayaan majikannya di kehidupan ini.
Ia memutuskan untuk pura-pura tidak tahu harga furniture yang ada dan memilih untuk mendekati rak buku, membaca mungkin tidak terlalu buruk. Jadi ia mengambil buku secara acak dan duduk di sofa sambil tenggelam dalam untaian kalimat dari buku yang ia ambil.
Entah berapa lama waktu berlalu, Mark tidak tahu. Ia terlalu hanyut dalam bacaannya. Hingga kemudian suara ribut dari sekelompok orang memecah konsentrasinya, dan ia menoleh untuk melihat keributan itu.
Sekelompok orang yang terdiri dari empat orang pria dan satu wanita datang. Salah satu diantara mereka tampak berantakan —sebenarnya mereka semua terlihat seperti itu. Namun, pria itu tampak lebih berantakan. Dengan pakaian penuh darah dan wajah pucat serta ringisan menahan sakit, ia benar-benar mengkhawatirkan.
Jiwa seorang dokter yang masih ada dalam dirinya berteriak untuk menolong pria itu, namun ia ragu-ragu. Ia takut bahwa campur tangannya akan membuat efek domino yang aneh seperti saat ia terbangun dalam tubuh ini.
Tapi saat mendengar bentakan wanita dari kelompok itu yang terdengar kesal dan khawatir, ia melemparkan semua rasa takut dan ragu-ragunya. Menyelamatkan nyawa adalah prioritas meskipun ia bukan lagi seorang dokter.
Mark bangkit, menutup bukunya dan menyimpannya di atas meja dengan pelan. Lalu mendekati kelompok yang panik itu yang tengah berusaha memperkecil pendarahan pada anggota mereka.
Resepsionis yang sedari tadi duduk juga ikut dalam kerumunan itu dan berusaha untuk membantu meskipun wajahnya tampak muram.
"Brengsek! Apakah tidak ada dokter yang bebas sekarang?! Renjun akan sekarat sialan!" Umpat wanita dalam kelompok itu sambil melempar gulungan tisu penuh darah ditangannya.
"Permisi..?" Ujarnya dengan hati-hati.
Seketika perhatian mereka teralih, tatapan tajam mereka tampak mengintimidasi, dan Mark merasa kecil saat ditatap seperti itu.
"Jika kalian tidak keberatan aku bisa membantu. Aku tahu bagaimana menangani luka-luka itu, jadi-"
"Iya! Tentu saja! Tolong, kami akan dengan senang hati menerima bantuan dalam bentuk apapun asalkan rekan kami tidak mati!" Salah satu pria itu memotong ucapannya.
"Oh! Umm... Kalau begitu bisakah kalian menidurkannya di sofa itu? Dan tolong bawakan kotak P3K yang kalian miliki atau semacam itu." Pintanya.
Mereka segera berpencar dan melakukan permintaan Mark, pria yang terluka itu dibaringkan di sofa yang tadi Mark tempati dan setelahnya mundur untuk membiarkan Mark menangani sisanya.
Wanita yang tadi mengumpat datang sambil membawa sebuah kotak besar berwarna putih dan meletakkannya diatas meja. "Aku tidak tahu apakah ini akan membantumu atau tidak." Ujarnya.
Mark menggumamkan terima kasih dan fokus pada pasien dihadapannya.
Ia mulai memeriksa keadaannya, membuka kancing kemeja pria yang setengah sadar itu dan mencari luka lain di tubuhnya.
Selesai pemindaian kasar, ia mengenakan sarung tangan latex lalu mengambil kain kasa dan disinfektan untuk membersihkan darah dan kotoran yang menempel pada luka.
Sepanjang ia merawat luka pria itu, kelompok tadi bersama resepsionis wanita itu memperhatikannya dengan serius. Beberapa kali mereka terkejut dan kagum saat melihatnya dengan terampil saat mengeluarkan peluru, menjahit luka atau membalut luka itu sendiri.
Hingga akhirnya Mark selesai melakukanya, dan menghela napas panjang sambil meletakkan kembali peralatan bedah di tempatnya semula.
"Aku tidak tahu apakah organ dalamnya terluka atau tidak, akan lebih baik jika teman kalian bisa melakukan pemeriksaan menyeluruh dengan pihak rumah sakit." ujar Mark, "dan terima kasih sudah menahan sakit dari operasi kecil ini, karena tidak ada anastesi yang tersedia kau pasti tersiksa dengan rasa sakitnya." Tambah Mark.
Pria yang ditolongnya tersenyum lemah, ia tak bisa menjawab secara vokal karena tenaganya terkuras banyak. Entah itu saat bertarung maupun saat menahan sakit.
Mark kembali menatap kerumunan itu dan tersenyum, "lukanya sudah selesai diobati, rekan kalian butuh istirahat untuk saat ini. Kalian bisa membawanya ke ruangan yang lebih sesuai. Dan jangan lakukan aktivitas berat yang akan membuat jahitan lukanya terbuka."
Hening sejenak sebelum kemudian mereka berseru heboh hingga membuat Mark kaget sendiri. Ia tidak mengerti apa yang kemudian mereka katakan karena mereka berbicara dalam bahasa Mandarin yang bercampur dialek suatu daerah.
Diam-diam ia menangis karena tidak mengerti perkataan mereka, tapi di permukaan ia hanya tersenyum dan mengangguk sesekali.
Dan tepat pada saat itu suara bariton Lucas terdengar, "kenapa kalian semua ribut disini?"
To be Continued
Siapa yang lupa alurnya??? Saya ✋
KAMU SEDANG MEMBACA
[Rewrite] My Second Life
FanfictionKarena aspal yang licin, mobil yang Mark kendarai menjadi tak terkendali hingga tergelincir dan menabrak pembatas di jembatan yang membuat dirinya tewas terjebak di dalam mobil yang tenggelam. Tapi bukannya alam akhirat yang ia temukan, malah sebua...