[ Giandra ]
Tarik napas, Gi. Lalu keluarkan perlahan. Ulangi lagi. Kali ini lebih dalam dan lebih rileks.
Tunggu, aku bukan sedang menghipnotis diri sendiri dan melepaskan kesadaranku. Ini merupakan kebiasaanku jika bertemu dengan Mama dan mendengarkan omelannya. Entah mengapa, Mama selalu begitu tiap kali bertemu denganku. Memperlakukanku seperti bocah berumur lima tahun yang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan, tak bisa lepas dari ketiak orang tua, dan tak mampu melakukan semuanya sendiri.
Oh, God... Aku sudah besar, Ma! Tahun ini aku menginjak umur dua puluh tujuh dan sudah tak pantas untuk diberi perhatian berlebihan seperti ini!
Lagipula, aku baru saja kembali dari Jerman. Setelah hampir tiga tahun meniti karir di sana dan bisa dikatakan lumayan sukses, aku harus kembali ke Indonesia. Ini bukanlah hal yang buruk. Aku sedang menginjakkan kaki ke jenjang yang lebih tinggi.
Bayangkan saja, di head office, aku hanyalah salah satu engineer yang kerjaannya hanya menggambar desain bangunan-bangunan dan berada di depan komputer setiap hari. Membosankan sekali. Dan sekarang berbeda.
I'm stepping to another level.
Jabatan yang ditawarkan padaku adalah Kepala Departement Marketing dan Engineering which is akan menjadi pintu gerbang untuk kesuksesan karirku dan akan sangat merugikan jika ku tolak. Perlu diberi highlight, ini bukan karena pengaruh Papa di ACT Indonesia sebagai presiden direktur. Ini merupakan jerih payahku. Aku merajutnya dari nol hingga mendapatkan posisi ini. Walaupun sulit untukku meninggalkan Berlin dan kehidupan tentramku di sana. Ditambah lagi, aku harus berpisah dengan beberapa pacarkuㅡya, aku memang punya banyakㅡdan itu sangat disayangkan.
Wa-wa-wait! Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu. Aku harus menghentikan Mama yang terus-terusan menyerangku tanpa henti.
Sejak aku kembali menginjakkan kaki di tanah air tercinta kemarin, Mama tak bosan-bosan mencekikku dengan kecerewetannya. Terutama tentang perjalanan asmaraku yang dia anggap tak sehat. Sejak aku melepaskan diri dari jeratan orang tua dan lebih memilih merantau di benua seberang, Mama selalu saja menceramahiku dengan berbagai wejangan. Seolah-olah aku adalah anak perempuan. Ia memintaku untuk tidak mempunyi hubungan romantis dengan perempuan-perempuan bule. Dan permintaan beliau tersebut benar-benar berat untukku.
Kamu pikirkan saja, bagaimana bisa aku menolak godaan perempuan-perempuan cantik berdarah Eropa di sana? It's impossible for me to resist their beauty, right?
Beliau juga selalu memintaku untuk membatasi pergaulanku. For fuck sakes, I can't do that! Bagaimana bisa aku menolak ketika mereka menarikku ke dance floor dengan godaan yang... Ah, lupakan! Semua orang tahu itu.
Dan apa alasan Mama dengan segala larangannya untukku?
"Mama nggak mau punya menantu bule!"
Oh, come on, Mom! Semua perempuan itu sama. Aku tak ingin membedakan ras. Mereka sama cantiknya.
Namun, kini, dengan kembalinya aku ke Jakarta, Mama dan segala keinginannya akan mulai menguasai diriku lagi.
Oh, man... Tak bisakah Mama untuk mengurus Gianna yang tentunya lebih membutuhkan perhatian seorang ibu dibandingkan diriku yang sudah terlampau sangat dewasa ini? Berbeda dengan adik perempuanku yang sebentar lagi akan mendapat gelar dokternya itu. Tentu harus diberi wejangan ekstra!
"Kamu tuh gimana sih? Mama sudah bilang, kalo udah sampai, jangan lupa kasih tahu Eve!"
Ck! Suara Mama terdengar lagi setelah beliau menarik selimut tebalku.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVATTE
RomanceTalitha sangat menyukai Caramel Latte dengan tambahan gula. Manis sekali. Layaknya hubungan gadis bernama kecil Tata itu dengan kekasihnya, Marvin. Akan tetapi, jalinan cinta kasih yang sudah berjalan di tahun kedua itu mulai memudar ketika frekuen...