end

4.7K 558 84
                                    

[Talitha]





Sepertinya aku memang sudah benar-benar gila. Ya, aku sudah tidak waras. Setelah dibodohi oleh Marvin selama dua tahun dan menjadi pacar isengnya lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Bukannya bersedih hati, sekarang aku justru duduk menghirup udara sejuk Lembang di pagi hari. Dari sini, aku dapat menyaksikan hutan pinus yang ditiup lembut oleh angin. Sesekali terdengar nyanyian burung dan disapu kembali oleh gemuruh air terjun Maribaya.

Udara pagi yang sejuk selalu menjadi alasan tiap orang untuk bergulat dengan selimut, namun tidak untukku. Sabtu pagi ini, aku mengeratkan selimut tebal. Dari balkon, aku memaksa membuka mata hanya untuk menyaksikan keindahan di hadapanku.

"A cup of Latte, Miss?"

Suara bariton yang membawaku ke tempat indah ini terdengar dari balik punggung. Otomatis, aku berbalik menghadapnya. Giandra memberikanku senyum manis sembari menyodorkan satu papercup berisi Latte hangat.

"Kamu pengin saya nggak tidur sampai besok, Pak Giandra?" sindirku, namun tetap menerima minumannya.

Giandra mengangkat kedua bahunya. "Mungkin masih ada kisah yang masih pengin kamu ceritain sama aku." Dia membuka penutup dan memamerkan papercup miliknya. "An americano. Double shots of espresso. Siap melek sampai besok pagi. Keluarin semua unek-uneknya. Kalau bosan di luar karena dingin, di kamarku juga boleh. Aku jago bikin hangat."

"Dasar gila," decihku.

Kala Giandra tertawa, aku pun meminum Latte yang dia suguhkan. Dan... PWEH!! Pahit!

"There's no sugar, baby."

Brengsek!

Dia nyengir lebar saat menyadari tatapanku yang nyalang dan siap mendorongnya dari balkon ini agar terjatuh ke aliran air terjun Maribaya.

"Aku sudah pernah bilang kalau Latte itu nggak terlalu pahit, 'kan? Mungkin di sana aku nggak naruh gula, tapi dengan adanya susu, kamu lebih bisa ngerasain sensasi kopi yang samar. Meskipun nggak seoriginal ini," jelas Giandra dan menunjuk gelas kopinya.

Aku tak berkomentar lagi. Hanya menghela napas dan menatap lurus pemandangan indah di depan kami. Gelas dari minuman hangat yang diberikannya bermanfaat agar telapak tanganku tak membeku.

"Begitu pula sebuah hubungan, Ta. Ibarat Latte yang ada di tangan kamu. Di sana ada pahitnya kopi bagaikan cinta yang harus dirasakan bersama. Juga ada susu yang mampu menguatkan untuk melalui berbagai rintangan. Gula? Karamel? Atau yang lainnya? Boleh, nggak ada larangan. Tapi jangan sampai kita lupa sama rasa kopi." Giandra menatapku lekat. "Jangan lupain rasa cintanya."

Ah, sialan kamu, Giandra. Sepertinya aku....

"Kamu lagi ngerayu saya?"

Dia membisu. Dengan tatapan matanya yang jernih dan senyum memukau itu, Giandra seolah-olah berbicara lewat telepati bahwa dia memang sedang merayu dan ingin merebut hatiku.

"Nggak usah membuang waktu buat ngerayu saya, Giandra."

"Why? Already fall for me, hm?"

Hah!!

"Saya heran. Seberapa besar rasa pede kamu itu. Seberapa kecil rasa malu kamu juga."

Giandra menggeleng lalu bicara dengan nada manja, "You have no idea, baby."

Lama-lama wajahku bisa jadi batu. Entah berapa waktu terbuang ku habiskan untuk tersenyum dan tertawa bersama Giandra. Dia berhasil membuatku merasa betah bersamanya terus-menerus. Meskipun mataku sudah terasa berat karena semalaman terjaga dan tubuhku meminta untuk segera mendarat ke pulau empuk dari bulu angsa, entah mengapa saat bersamanya aku menjadi tak rela untuk menyudahi semua ini.

"Dasar playboy."

Giandra berdecak tak setuju. "Jangan playboy, aku nggak pantas dalam kategori a boy. Terlalu banyak yang aku ketahui dan lewati pada umurku sekarang." Belum sempat aku menyahut, dia menambahkan, "Atau kamu perlu bukti? Aku bisa bikin kamu buat malas bergerak dari kasur karena nggak bisa jalan dalam dua hari ke depan. Wanna try that?"

Aku hanya dapat menggumamkan, "Benar-benar nggak waras kamu, Giandra."

"Kalau itu aku setuju, Ta. Dari awal kita ketemu di ACT, rasanya tiap hari aku makin nggak waras. Semua gara-gara kamu."

Oh, God... Apa kabar dengan jantungku? Kesehatannya perlu diperiksa secepatnya.

"Bayangan kamu mengenakan Victoria Secret dan datang ke kamarku sambil bawa cambuk dan siap bikin aku bertekuk lutut--"

Astaga.

"Bisa nggak sih kamu jangan bayangin saya yang kayak begitu?! Otak mesum!!"

Giandra tak dapat bicara lebih banyak lagi karena aku membekap mulutnya agar dia berhenti bicara. Ajaibnya, dia menurut saja. Kini dia diam dan menatapku lurus, membuatku tanpa sadar hanyut ke dalam suasana yang menenangkan ini. Aku dapat merasakan betapa lembut bibir yang ku tutupi dengan tangan kananku itu. Napasku tercekat saat merasakan bibir tersebut bergerak untuk mencium telapak tanganku di sana.

"Mungkin sekarang aku cuma bisa cium tangan kamu. Pelan-pelan, aku pasti bisa dapatkan izin buat cium kamu kayak kemarin."

Giandra menghela napas. Dia lalu melanjutkan, "Kapan hukumanku berakhir, Talitha? Aku nggak bisa. Pengin kamu. Nggak cuma tangan, aku bakal cium kamu sampai kamu lupa apa nama yang tertera di KTP kamu nanti. Just wait."

Ya, dan lebih gilanya, aku menjawabnya dalam hati dengan; I can't wait, Giandra.

"Kamu salah naruh ramuan jampi-jampi ya? Kok malah kamu yang jadi kayak orang mabuk sekarang?" godaku.

Giandra tertawa. "Nggak, aku udah yakin banget udah masukin ramuan alami yang bisa bikin kamu pengin borgol aku dan have fun sama aku sepanjang hari. Nama ramuannya Lovatte."

Hm.

"Lovatte?"

"Yes, love and Latte, baby."

Aku jadi penasaran, dulu Tante Lily ngidam apa saat mengandung putra sulungnya ini. Aku akan menanyakannya besok lusa, di saat jadwal Nyonya Rahardja selalu menculikku untuk belanja mingguan.







fin.

LOVATTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang