[Talitha]
Entah sudah berapa ratus kali aku mencoba untuk menghubungi nomor Marvin namun tetap nihil. Tidak diangkat. Kemarin sore dia berjanji akan menemaniku belanja keperluan dapur, tetapi jangankan datang menemuiku, telponku saja tidak diangkat. Dan itu merupakan salah satu hal yang paling tidak ku sukai di dunia ini, dibiarkan menunggu dan orang yang ku tunggu tak mengangkat telponku. Apalagi jika tidak dapat dihubungi sama sekali. Aku bisa gila.
"Tiaaa..."
Aku memanggil Tiara yang entah sedang melakukan apa di dapur dari ruang tengah.
"Iya, Mbak?"
"Temenin aku belanja sebentar bisa 'kan? Marvin nggak bisa dihubungi soalnya."
"Ya udah, tunggu bentar ya, Mbak. Aku ganti baju dulu."
Tiara melepas celemeknya dan melesat pergi ke kamar untuk mengganti pakaian. Dipikir-pikir, mungkin memang sebaiknya aku tinggal di sini untuk menemani Tiara. Kasihan jika dia harus tinggal sendirian di rumah sebesar ini.
"Yuk, Mbak," tegur Tiara ketika ia sudah selesai mengganti pakaian dan sedikit memoles wajahnya yang manis. Dia memberikan kunci mobil jenis SUV yang biasanya digunakan ibunya untuk bekerja padaku.
"Jangan, aku nggak punya SIM."
Tiara menghela napas. "Bikin dong, Mbak. Mama bilang kan biar Mbak Tata yang bawa mobil ini."
Gadis itu masuk ke mobil dan mengeluarkannya dari garasi. Aku pun menutup, mengunci pagar rumah lalu membuka pintu penumpang dan duduk di samping Tiara. Mobil mulai meluncur pelan ketika aku sudah memasang sabuk pengaman.
"Mbak Tata bikin SIM ya? Please."
Ah, masih membahas soal SIM?
Aku menaikkan besar hembusan pendingin mobil dan mengarahkan udaranya ke rambutku yang masih setengah kering. Sembari mengikat rambut, aku berkata, "Nggak ada waktu buat ngurusnya, Tia."
"Ada, Mbak. Pasti ada. Izin bentar kek," bahas Tiara bersikeras. "Lagian kalau Mbak punya SIM, kan kalau mau pergi kerja atau kemana pun jadi gampang. Nggak perlu naik Transjakarta atau taksi online dan sebagainya. Apalagi kalau Mas Marvin lagi nggak di Jakarta. Bikin cemas tau, Mbak!"
Aduh, pagi-pagi Tiara sudah berubah profesi dari adik sepupu menjadi nenek-nenek. Bisanya cuma ngomel terus.
"Iya, Tia, iyaaa... Nanti Mbak bikin SIM. Nanti ya," jawabku mengalah.
"Dari dulu Mbak selalu bilang, iya-iya mulu! Tapi sampai sekarang nggak jadi-jadi juga, 'kan? Aku capek dibohongin terus, Mbak."
Lho? Kok Tiara jadi merengek seperti ini? Ngobrol dengannya selalu membuatku tertawa. Dia selalu berhasil menghiburku.
"Aku lagi nggak ngelucu, Mbak Tata. Ih!!"
"Hahaha... Kamu ini, baperan banget! Aku yang nggak punya SIM, kok kamu yang repot sih?"
"Habisnya Mbak nyebelin! Disuruh kerja bawa mobil malah milih naik Transjakarta!"
"Nggak pa-pa, Tiara-ku..." Aku mencubit pipi kirinya, lalu berkata, "Naik transportasi umum lebih hemat."
Dia mendengus. "Hemat tapi bikin cemas tau! Heran deh! Nanti kalau kenapa-kenapa gimana?"
"Nggak bakal kenapa-kenapa, Mbak kan nggak ngapa-ngapain."
Tiara makin kesal. Bibirnya makin manyun. Uuhh, lucu sekali!
Kurang dari lima belas menit, mobil yang dikemudikan Tiara memasuki kawasan parkir Pluit Village Mall. Parkiran sudah mulai ramai. Maklum, hari minggu adalah hari dimana banyak keluarga pergi ke pusat perbelanjaan untuk memenuhi kebutuhan dapur dan lainnya. Sama seperti yang aku dan Tiara lakukan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVATTE
RomanceTalitha sangat menyukai Caramel Latte dengan tambahan gula. Manis sekali. Layaknya hubungan gadis bernama kecil Tata itu dengan kekasihnya, Marvin. Akan tetapi, jalinan cinta kasih yang sudah berjalan di tahun kedua itu mulai memudar ketika frekuen...