[ Talitha ]
Sabtu sore yang sangat menguras tenaga. Kalau saja Marvin tidak pergi ke Amerika minggu ini, mungkin sekarang ia akan mengajakku untuk liburan dua hari satu malam ke Lembang. Rencana dadakan itu terpaksa harus dibatalkan. Lagi dan lagi. Aku tidak kecewa atau marah padanya. Sudah terbiasa dengan hal-hal yang dapat dianggap menjengkelkan seperti ini.
Rencana hanya tinggal wacana saja. Toh, aku tidak bisa melarang Marvin karena kepergiannya tersebut memang sangat diperlukan. Sebagai kekasih dari seorang entrepreneur muda dengan segudang usaha seperti Marvin, tentu aku harus mendukungnya, bukan? Anggap saja sebagai latihan untuk menjadi seorang istri yang baik di masa depan. Dan aku harus mendapat predikat itu.
Sekali lagi, aku hanya bisa mengeluh dalam bisu. Memanyunkan bibir sembari menghela napas. Aku sudah dua kali bolak-balik dari Kemang ke Pluit karena permintaan Om Jarot. Aku terpaksa memboyong isi lemariku ke rumahnya untuk tinggal di sana dan menemani Mutiara dalam batas waktu yang tidak dapat ditentukan. Padahal aku baru saja memperpanjang masa sewa kostku untuk tiga bulan ke depan.
Hmm... To be very honest, aku masih merasa kurang nyaman untuk kembali lagi ke rumah Om Jarot. Karena sebelumnya aku sempat numpang makan dan tidur semasa kuliah di sana. Tidak terlalu lama, hanya tiga semester di awal perkuliahan. Selebihnya aku lebih memilih untuk tinggal di kost. Sebenarnya tidak ada masalah apapun antara aku dan keluarga Om Jarot. Tante Nani dan Tiara sangat baik dan hangat padaku. Aku sudah dianggap seperti anak dan kakak kandung mereka sendiri. Tak ada yang salah dan mengganggu hubungan darah dan keluarga kami. Aku memilih untuk mencari tempat tinggal baru semuanya murni karena keinginanku agar lebih mandiri. Itu saja.
"Jadi kamu sekarang tinggal di rumah Om Jarot lagi?"
Sembari menyelonjorkan kaki, aku menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Marvin. Aku sedang terhubung lewat telepon dengannya.
"Iya, untuk sementara sih begitu. Aku juga nggak tahu sampai kapan. Mungkin sampai Tia benar-benar lulus kuliah."
"Memangnya Tia sudah semester berapa?"
Aku mengingat-ingat percakapanku dengan adik sepupuku itu sejenak. Ah, baru beberapa jam yang lalu aku mengobrol dengannya, sekarang aku sudah mulai lupa. Bagaimana dengan obrolan sepuluh tahun yang lalu? Sepertinya aku perlu mengasah otak lagi agar daya ingatku lebih baik.
"Umm... Tujuh? Atau delapan? Aku lupa. Yang jelas, sekarang dia sudah mulai nyusun skripsinya."
"Mungkin kamu perlu jagain Tia sampai dia selesai kuliah," sindir Marvin sambil tertawa ringan.
Aku terkekeh. "Atau mungkin sampai dia nikah nanti?"
"Hahaha. Memangnya kamu orang tuanya?"
Aku ikut tertawa. "Bukan, aku babysitter."
"Ngapain kamu jadi babysitternya Tiara? Mending kamu siap-siap jadi babysitter anak kita nanti."
Ah, siapa yang tidak akan senang dan tersipu malu karenanya? Marvin memang selalu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.
"Nggak mau," balasku menggoda Marvin.
"Kenapa?"
"Aku maunya jadi seorang ibu, bukan pengasuh bayi, Marvin."
Dan lelaki itu tertawa lepas di seberang sana. Membuatku ikut mengulaskan sebuah senyuman. Aku selalu merasakan kebahagiaan jika mendengar gelak tawa Marvin. Bagiku suara lelaki itu benar-benar mampu membuatku terpacu untuk merasa lebih senang dan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVATTE
RomanceTalitha sangat menyukai Caramel Latte dengan tambahan gula. Manis sekali. Layaknya hubungan gadis bernama kecil Tata itu dengan kekasihnya, Marvin. Akan tetapi, jalinan cinta kasih yang sudah berjalan di tahun kedua itu mulai memudar ketika frekuen...