twelve

2.6K 524 60
                                    

[Giandra]


Terhitung sejak minggu depan, tanggung jawab yang ku emban pada ACT akan semakin berat. Setelah Papa selesai dengan statement yang menyebutkan bahwa Om Totok telah resmi resign dari ACT, beliau tanpa ragu dan bimbang mengatakan bahwa posisi kosong yang ditinggalkan tersebut akan diisi olehku dan kepemimpinanku digantikan oleh Tristan.

Keputusan ini akan aktif dari minggu depan. Hampir keseluruhan orang yang berhadir rupanya sudah tidak heran. Rupanya jajaran direksi dan investor memang sudah memperhitungkan semuanya dengan matang.

Sekarang, sepertinya keputusan yang ku pilih untuk kembali ke Jakarta dan melepaskan karirku di Jerman memang sudah sangatlah tepat.

Bos bilang, 'Lebih baik menjadi raja di tanah sendiri daripada menjadi babu di tanah orang lain. Meskipun di sana sangat bergengsi dan menggiurkan.'

Dan aku setuju dengan pendapat beliau tersebut.

Lagipula, ada yang sungguh menarik perhatianku saat ini. Aku tidak akan berbohong. Talitha, perempuan itu telah membuatku penasaran setengah mampus. Jika banyak wanita yang menginginkanku lebih dari apapun, Talitha justru berharap agar aku pergi jauh darinya. Sebut saja aku mempunyai selera yang sangat aneh karena menyukai tabiatnya itu. Aku jadi merasa lebih tertantang karena sikapnya padaku.

Hanya satu hal yang sangat disayangkan dari segala keuntungan, yaitu keinginan Mama untuk menjodohkanku dengan Eveline. Pada awalnya, aku memang menganggap niat beliau itu sebagai angin lalu. Akan tetapi, lama-kelamaan aku dongkol juga.

Kamu bayangkan, aku baru selesai meeting dengan jajaran direksiㅡtermasuk Papa sebagai Presdirㅡbeberapa menit yang lalu, bokongku baru saja mendarat ke singgasana, dan kini aku harus berhadapan dengan anak kecil bau kencur busuk yang tak henti-hentinya mengejarku.

Evelyn, gadis berumur awal dua puluhan itu sedang tersenyum manis di ambang pintu ruang kerjaku. Dengan sebuah tas yang sepertinya berisi kotak makanan, dia datang ke kantorku dan membuat kehebohan.

Pantas saja beberapa saat yang lalu aku mendengar suara gaduh dari luar ruanganku. Rupanya dialah biangnya. Aku tidak terkejut. Ini sudah ku prediksi. Suatu hari, Evelyn pasti datang dengan wajah setebal kulit badaknya. Semua selalu berkaitan dengan campur tangan Mama. Pasti beliaulah yang mendorong dan memberikan izin agar artis sinetron dengan segala topeng itu datang mengunjungiku.

"Siang, Mas Gian."

Dia menyapaku dan melangkah memasuki ruanganku. Percayalah, aku masih mendengar suara segelintir orang dari belakang pintu. Tentu saja, bagaimana tidak heboh kalau yang datang adalah seorang selebriti. Apalagi lantai delapan merupakan daerah kekuasaan departemen ME yang hampir semua staffnya adalah laki-laki. Kedatangan perempuan cantik seperti Eve akan membuat gempa dan badai lokal untuk insting mereka.

Aku melirik dan menatapnya sekilas sebelum menghela napas dengan berat. "Ngapain ke sini, Eve?"

"Mau ketemu Mas Gian," jawabnya tanpa ragu. Kerlingan matanya membuatku sedikit terhibur.

"Gue sibuk. Kalau nggak penting, mending lo pulang aja."

Penolakan yang ku lontarkan sedingin mungkin pun tidak digubris. Dia justru duduk di salah satu sofa yang tersedia di depan meja kerjaku sembari memamerkan makanan yang dia bawa.

"Aku sengaja cepat-cepat ke sini buat bawain Mas Gian makan siang lho! Masa langsung disuruh pulang? Ke salon aja belum sempat, padahal aku mau syuting."

LOVATTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang