two

3.5K 568 47
                                    

[Talitha]





Mobil SUV hitam metalik milik Marvin terlihat dari ujung jalan. Kali ini aku dapat bernapas lega. Akhirnya, sang pangeran bermobil hitam pun datang.

Tiinn!!

Senyumku ikut merekah saat Marvin menurunkan kaca jendela mobil bagian kiri dan memamerkan senyumnya yang menawan. Aku segera mendekati mobil itu dan meninggalkan kostku yang mulai sepi ditinggalkan penghuninya.

"Lho, kamu nggak bawa bekal?" tanya Marvin ketika aku menaiki mobilnya dan memasang sabuk pengaman.

Aku menggeleng sebagai jawaban. Lalu tersenyum untuk mempermanis percakapan ini.

"Tadi malam Luna minta aku buat nggak bawa bekal. Soalnya dia baru dapat arisan gitu. Jadi hari ini rencananya mau makan di luar," jelasku.

Mobil pun meluncur. Membelah jalan raya Kemang menuju Jalan Sudirman dimana gedung kantorku bekerja berada. Mobil bergerak dengan kecepatan sedang Dan biasanya aku akan tiba di kantor paling cepat dua puluh menit. Itu pun jika tak terkena heavy traffic.

"Marvin."

Pria tampan yang sibuk mengemudi di sampingku itu bergumam. Menjawab panggilanku.

"Kenapa, Sayang?"

Duh, entah mengapa aku selalu deg-degan jika mendengar Marvin menyebutku dengan kata itu. Sejak awal mengenalnya, bahkan hingga sekarang. Rasa itu belum berubah.

"Itu... Kamu sebenarnya mau pergi kemana lagi sih? Perasaan kamu baru balik dari Makassar dua hari yang lalu dan sekarang kamu mau pergi lagi."

Marvin tertawa kecil. "Tumben kamu nanya."

Ah, benar. Aku memang jarang bertanya tentang pekerjaan Marvin. Kemana dia pergi dan untuk urusan apa. Menurutku, aku tidak perlu mengetahui sampai sedetail itu. Cukup Marvin menghubungiku dan memberikan kabar saja. Itu sudah dapat mewakili semuanya.

Aneh? Tentu saja tidak.

Bagiku, sebagai seorang kekasih, kamu tidak harus mengetahui apa saja yang dia lakukan secara terperinci. Biarlah pacarmu menjalani aktivitasnya dan beri dia ruang untuk dirinya sendiri. Berikan dia kebebasan. Karena menjalan sebuah hubungan romantis bukan berarti harus saling melapor. Hey, kalian sedang merajut tali kasih yang dibalut dengan kepercayaan. Bukan sedang melaksanakan tugas dan pada akhirnya harus membuat laporan pada atasan. Dan aku memang sudah terbiasa memberikan kebebasan itu.

"Hehehe. Kenapa? Aku nggak boleh tahu ya?"

Marvin terkekeh lalu menggeleng pelan.

"Nggak. Bukannya gitu. Kadang aku pikir kamu nggak terlalu peduli. Soalnya kamu juga nggak pernah nanya apapun."

Hm, sepertinya basa-basiku kali ini kurang tepat. Mungkin Marvin tidak terlalu suka dengan topik ini. Harus kamu ketahui, aku dan Marvin memang menjalani hubungan sudah hampir dua tahun, tetapi kami masih belum terlalu mengenal satu sama lain. Mengapa? Karena mantan seniorku itu sering sekali meninggalkanku dan Jakarta. Kencan yang kami lakukan terkadang hanya melewati Skype atau sekedar telepon. Rasanya seperti sedang dalam long distance relationship saja.

"Ya udah, maaf... Aku nggak nanya-nanya lagi deh."

"Eh, kenapa begitu?" Marvin tertawa kecil. Matanya menyipit. "Ngambek ya?"

Aku menggeleng dan tersenyum simpul. "Nggak kok."

"Kalau nggak, kenapa tadi minta maaf? Kamu kan nggak salah."

Aku menghela napas. "Takutnya kamu nggak suka kalau aku banyak tanya macam wartawan atau agen CIA."

Mendengar jawaban asalku, Marvin tertawa lebih keras.

LOVATTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang